Saturday, May 31, 2008

Sekedar kebetulankah?

Minggu, 25 Mei 2008

Bila anda memang benar-benar menghendaki sesuatu dan mengerahkan segala daya upaya untuk mencapainya, niscaya seluruh alam pun akan mendukung anda. Itu kurang lebih pernyataan sang penulis besar Paulo Coelho. Dukungan yang kita peroleh dapat berupa banyak hal. Kesamaan pandangan, dukungan atas apa yang kita yakini, ataupun pengalaman yang mirip. Dukungan bisa berupa pertemuan dengan orang lain yang kebetulan memiliki serangkaian gagasan yang sama. Dukungan pun juga bisa berupa perjumpaan dengan pengalaman melalui berbagai macam komunikasi. Apa yang saya alami dua hari ini menjadi gambaran nyata. Di hari Sabtu, saya mengungkapkan keprihatinan dengan hilangnya sosok yang berkarakter kuat dalam sejumlah orang bereputasi baik. Sehari sesudahnya, saya menjumpai tulisan yang menegaskan pandangan saya … apakah ini sekedar kebetulan? Ataukah memang Coelho benar dalam hal ini? Apa yang saya pikirkan dan yakini mendapat dukungan dari analisis yang menjadi keprihatinan orang lain yang sama sekali tidak saya kenal. Harian Kompas membuat kami bertemu. Dampaknya nyata, saya semakin melihat kebenaran Paulo Coelho … pikirkan hal positif terus-menerus, dan hal-hal lain yang positif akan mendukung pemikiran positif tersebut … awal untuk mengubah dunia, setidaknya dunia dalam dunia mikro kita lebih dulu!

Hari Studi Bersama

“Rupanya, makin besar skala kebocoran UN dari waktu ke waktu. Bagaimana menangani persoalan ini?” Pertanyaan tersebut diajukan dalam acara studi bersama mengenai dua standar pendidikan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Sang penampil tampak kesulitan menjawab pertanyaan itu. Dengan ragu-ragu dia menjawab, “Barangkali perlu diciptakan mekanisme yang lebih baik. pengawas independen dari Perguruan Tinggi sudah dilibatkan. Beberapa dosen dari kita pun juga sudah dilibatkan. Tapi saya juga tetap bingung. Entah benar atau tidak informasi yang saya dengar ini. Kunci jawaban pun sebenarnya dibocorkan dari Dinas Pendidikan sendiri. Kalau itu yang memang terjadi, bagaimana kita bisa menghindari kebocoran itu?”

Dengan agak nakal saya pun menyahut, “Apakah ada yang salah dengan pembocoran/pelanggaran itu?” Sang penampil pun hanya tersenyum. Tidak melanjutkan tanggapan yang saya lontarkan.

Harus saya aku, bahwa pada titik ini saya tiba-tiba terjebak untuk ‘melabeli’ sang penampil sebagai sosok yang tidak berani mengambil resiko dengan mengemukakan posisinya secara jelas. jawaban-jawaban yang disampaikan memang bagus dan benar-benar menunjukkan bahwa penampil orang yang berkompetensi dengan bidang yang ditampilkannya. Bahkan, dua orang penampil itu pun telah memiliki reputasi nasional karena telah tergabung dalam berbagai komisi untuk program pendidikan. Pengalaman dan pemahaman tentang beragam persoalan memang tidak bisa lagi dipersoalkan. Namun, yang menurut saya tetap hilang adalah sikap yang jelas dan tegas: keberanian dalam mengambil sikap terhadap suatu isu yang sangat krusial.

Begitu sampai di rumah saya pun seperti biasanya mengangkat isu tersebut dalam diskusi kecil dengan sang istri. “Begitu banyak orang yang pintar, tetapi kok tampaknya tidak berani tampil transparan secara gamblang tentang sikap politik tertentu yang dia pilih. Mereka tidak mau (atau tidak berani) menampilkan orisinalitas mereka. Kenapa justru ketika ada suatu isu kritis, mereka malah menjawab dengan bahasa yang “sangat standar”? Saya yakin itu bukan karena mereka tidak memiliki analisis mendalam terhadap bidang kajian tertentu. Apakah memang tidak ada sikap tertentu yang layak untuk diperlihatkan?

Kembali ke pertemuan studi bersama itu, pada penghujung acara itu saya mengungkapkan dengan tegas. “Berbagai pelanggaran yang terjadi secara moral tidak salah. Mengapa? Mereka melakukannya atas nama hati nurani. Secara hukum, justru Wapres Jusuf Kalla dan Mendiknas Bambang Sudibyo lah yang keliru. UUSPN sendiri mengamanatkan bahwa ujian untuk mengukur keberhasilan studi adalah hak istimewa guru. Dua tokoh publik itu malah beramai-ramai melanggar UU dengan mengeluarkan PP No. 19 yang selama ini dipakai untuk mengesahkan kebijakan menggunakan UU sebagai penentu kelulusan. Sesuai dengan UU, sebenarnya UN tidak layak dipakai untuk penentu kelulusan, tetapi hanya sebagai alat PEMETAAN. Dalam hal ini, para pelanggar UN dinilai sebagai kriminal yang layak diproses secara hukum. Di sini lah terjadi carut marut persoalan. Sebenarnya, justru dua tokoh ini lah yang mesti diproses secara hukum lebih dulu, wong mereka jelas-jelas menggunakan kekuasaan untuk menggolkan peraturan yang menabrak UUSPN. Para pelanggar yang memfasilitasi kecurangan UN tidak akan melakukan pelanggaran kalau tidak ada kebijakan Wapres dan Mendiknas yang benar-benar melanggar UU tersebut. Kebijakan memakai UN sebagai “alat manjur” untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang sangat kompleks telah memunculkan beragam inkonsistensi, dan para pelanggar yang benar-benar sadar melakukan pelanggaran (dengan membocorkan kunci jawaban UN) adalah para pejuang hati nurani. Tapi di sinilah kekuasaan hegemonistis negara menampakkan taringnya. Mereka tidak membutakan diri dari realitas bahwa mereka sendirilah yang menyulut api. Mereka menyalahkan asap yang membuat mata pedih, tetapi gagal melihat bahwa sebenarnya dalam diri merekalah persoalan itu berakar.

Kesimpulan yang mau saya ajukan sederhana saja. Para pelanggar tersebut mempresentasikan civil disobedience yang sebenarnya sah-sah saja. Mereka sudah selayaknya memperjuangkan kebenaran sesuai hati nurani mereka.”

Hari studi bersama tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu, 24 Mei 2008. Hari berikutnya, kritikan saya terhadap sejumlah tokoh bereputasi baik seakan mendapatkan dukungan. Julius Pour (wartawan dan penulis biografi) membuat resensi buku American Generalship (Jangan sekedar tebar pesona, Kompas, 25/5/08). Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa kecerdasan dan kemampuan analisis setajam apapun tidak menjadi jaminan akan keberhasilan dalam kepemimpinan perang. Berbagai unsur, seperti kecerdasan, keterampilan, kemampuan analisis, kecakapan wicara, dan serentetan reputasi di masa lalu, akan sia-sia saja tanpa dilandasi dengan sebuah karakter yang kuat.

No comments: