Saturday, July 12, 2008

2. Start small, think big. Don’t overplan and overmanage

Guideline # 02

Perubahan yang kompleks (dan mengelola beragam inovasi di sekolah benar-benar menggambarkan kompleksitas macam ini) berarti berhadapan dengan paradoks. Di satu sisi, semakin besar kompleksitas, semakin besar pula kebutuhan untuk menangani implementasi rencana; di lain pihak, semakin besar detail perencanaan implementasi, semakin kompeks proses perubahan tersebut. Harus dicatat bahwa perencanaan yang terlalu berlebihan (overplanning) dan pengelolaan yang terlalu berlebihan (overmanaging) harus dihindari. Sesudah dicapai kesepakatan mengenai tujuan dan prioritas, penting untuk dipahami bahwa kita jangan terjebak ke dalam studi kebutuhan (needs assessment) secara detail, atau diskusi tujuan lagi. Mencoba untuk memahami kompleksitas terlebih dahulu, tanpa segera membuat langkah konkret tertentu justru melahirkan keruwetan daripada kejelasan itu sendiri. Para manager efektif memiliki kapasitas untuk menghentikan diskusi berkepanjangan yang cenderung menghalangi tindakan nyata.

Bukti-bukti baik dalam bidang bisnis dan pendidikan menunjukkan bahwa para pemimpin yang efektif memiliki “bias atau kecondongan untuk segera bertindak.” Mereka memiliki intuisi dan arah yang mendorong mereka melakukan sesuatu, dan mengawali suatu tindakan secepat mungkin, sambil mengumpulkan contoh-contoh berskala kecil, mengadaptasi, memurnikan, memperbaiki kualitas, memperluas, membentuk kembali seiring dengan bergulirnya proses perubahan itu sendiri. Strategi ini bisa diringkas menjadi “mulailah dari yang kecil: berpikirlah mengenai hal-hal besar,” atau dengan kata lain: cara untuk menjalankan perencanaan dengan lebih baik dilakukan melalui tindakan nyata daripada berhenti pada perencanaan semata. Kepemilikan adalah sesuatu yang dikembangkan melalui proses, bukannya muncul di awal. Dalam pengertian ini, inovasi bukanlah hal-hal yang “akan diimplementasikan,” tetapi justru merupakan katalis, titik pijak atau kendaraan untuk meneliti dan menilai sekolah dan untuk mendorong perbaikan. “Siap, tembak, tuju” merupakan metafora yang lebih tepat untuk menangkap dinamika reformasi nonlinier macam ini (Fullan, 1993).

Untuk menangani perubahan-perubahan yang kompleks, bentuk perencanaan dan pengelolaan yang lebih ketat justru akan merugikan karena dua alasan. Pertama, perencanaan dan pengelolaan yang ketat terebut menempatkan kepala sekolah pada posisi yang tergantung, sekalipun bukan itu tujuannya. Kedua, perencanaan dan pengelolaan macam itu justru menghalangi tumbuhnya otonomi di pihak-pihak lain yang terkait. Pengendalian bersama dalam implementasi perencanaan pada tingkat sekolah merupakan hal esensial.

Thursday, July 10, 2008

Ten Guidelines

Introduction

Proses pengembangan keterampilan dan kompetensi kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari berbagai upaya yang dilandasi dengan kesungguhan hati, konsistensi, dan kesediaan untuk berubah diri. Mulai hari ini, saya akan mencoba membagikan apa yang oleh Fullan (1997) diidentifikasi sebagai tuntunan utama dalam pengembangan pengetahuan, prinsip-prinsip dasar, dan juga semangat untuk kepemimpinan ini. Hari-hari berikutnya akan diikuti dengan tuntunan-tuntunan yang lain. Sumber acuan: Fullan, M. (1997). What's worth fighting for in the principalship, New York: Teacher College Press.

Guideline # 01

Hindari pernyataan "Jika saja ..."

Dalam hampir semua kasus, pernyataan “jika saja” menunjukkan kecenderungan untuk selalu menyalahkan, mencari kambing hitam, dan menghalangi perkembangan dari masing-masing anggota. “Jika saja” para penilik sekolah adalah orang-orang yang mampu memimpin dengan baik; “jika saja” pihak Yayasan berani mengalokasikan lebih banyak sumber dana untuk pengembangan profesionalisme guru; “jika saja” Departemen Pendidikan menghentikan kebiasaan mengeluarkan berbagai macam kebijakan yang sering tidak masuk akal; dan lain-lainnya. Begitu banyak perubahan yang kita kehendaki di sekitar kita, menurut Block, merupakan cerminan atas ketergantungan dan justru menyuburkan perasaan tidak mampu. Block meringkas gagasan ini sebagai berikut, “menunggu petunjuk pelaksanaan yang jelas sebelum melakukan suatu hal adalah hal yang berlawanan dengan semangat kewirausahaan (entrepreneurial spirit)” (hlm. 16). Cara lain untuk mengatakannya adalah sebagai berikut, “Hal penting apa yang saya bisa lakukan terhadap diri saya dan orang-orang di sekitar saya?” Saran utama pertama adalah menekankan pentingnya bergerak secara konkrit ke arah otonomi. Dalam konteks ini, apa yang layak diperjuangkan dalam dunia kita adalah pertempuran dalam diri kita (internal) bukannya pertempuran dengan pihak-pihak lain di luar diri kita.



Friday, July 4, 2008

Character acquisition


How are good behaviors acquired? This is certainly a neverending question across generations. Trying to answer this question, I tried to look back on the way my parents reared me. I remember that my family had a series of DOs and DON’Ts. Even in my thirties now, I still remember them very well, since any failure to comply with the rules set up by my father would certainly end up with some kinds of punishment. Raised in a hilly, rural, remote area (with no electricity and phone lines), my siblings and I were quickly introduced to survival skills since our early age. We were trained to do many physical activities, such as bringing water home using jugs (about half a kilometer away from home), gathering woods to cook our meals, handwashing our cloths, cleaning our house, tending and harvesting clover, gathering grass for our goats, and other household chores. When the evening came, we swarmed around an oil-lamp to study. It was always in the livingroom. My father was so strict that nobody of us could slip away from this study period, no matter how tired and sleepy we were.

For my father, there was no need for extended explanations. He just instructed us to do something, and no question was allowed (let alone questioning!). His words were short and disobedience meant harsh punishment. As an elementary school teacher, he lived a simple and disciplined life: getting to his work earlier than any other teacher, avoiding too much talking with other teachers in the teachers room and getting back to his own classroom when the break had ended, and finishing the class exactly when the bell rang. After lunch, he would spend the whole afternoon in the farm, tending the clover trees, vanilla vines, casava and coconut trees. No much talking, just actions! In a sense, I thought that we were so fortunate to have a communicative mother. She was great at explaining the reasons behind our father’s instructions. Sometimes, she would tell stories to accompany our sleep. Thus, we were certainly brought up in balance. Our father taught us the hard work, our mother taught us the reasoning skills that laid behind the hard work.

When one generation has gone, the next generation replaces. The problems of child-rearing constantly appear to challenge young parents like me. Today’s challenges are certainly more various and require a strong foundation to appropriately respond to. With all facilities available in our modern life, we are tempted to neglect physical hardship! Cell-phones, TV, entertainment, and the Internet are powerful tools to make our life comfortable. But they are like a double-edged sword that can easily distract our attention to the very nature of how a character is shaped.

Human beings are subject to do things the way they experienced something before. Teachers teach the way they were taught. Parents bring up their kids the way they were brought up as a child. And I am like other people. I rear my son the way I was reared by my parents. Anyway, modifications apply. Instead of merely instructing, I discuss the reasons why I ask my kid to do something. I still keep giving real examples: handwashing our cloth, mopping the floor, and doing other household chores. My wife will read him a series of story books.

Skeptics might question whether my approach to developing a character in my son would certainly bring positive and durable results in the future. However, my parents were great at teaching us to see more potentials in many things that we did, rather than any drawbacks that might appear. Thus, I believe that involving our kids to acquire the habit and attitude of positive thinking, hard work, and perseverance since their early age will eventually establish a strong foundation for their character development. It is the strong character that allows them to take the right things when a dilemma appears. I do believe that children need real examples, as Kristen Pelster, assistant principal at Ridgewood Middle School, says: “Kids can’t learn respect and responsibility by someone putting those words on paper or on a wall. Character education is not a program. It is a way of life.”

Wednesday, July 2, 2008

Finding something new from the beaten path


Here we go … the first class appeared to be challenging. Yes, it’s certainly challenging. To some extent, I felt that I got more advantages compared to my colleagues. I earned my masters degree at a US institution earlier. Seven years ago, I took Language, Literacy, and Cultural Studies at Boston University. Now, I’m taking a masters degree in School Leadership. At this point, English is certainly no longer a barrier for me.

In addition to that, the issues on learning theories (such as Piaget, Erikson, Vygotsky and others) are not necessarily brand new to me. Thus, supposedly, it’s much easier for me to enjoy the class: to take a full advantage of familiarity to the issues. But is it really the case for me? I guess the class is challenging not because I know pretty well the path we are going to go through. The class of Psyc. Ed (CIEP 415) is challenging more because my previous knowledge prevents me from enjoying it. My ego keeps telling me: well, the materials are relatively easy, so why do you take too much energy to work hard enough? Sure, I feel now the challenge is real: how could I enjoy something common! It’s like a beaten path for me!

I know too well that I would certainly lose interest to work more fully and get engaged in the class. It is easier to feel less challenged. It is easier to feel I’m already good at many things. But I know too well that I must be critical to my own ego.

When I reflected on this issue, I realize that being happy or unhappy is a matter of choice. Very often, we are in a position that we really don’t like. Unwelcoming outlook from many people around us, misconceptions and prejudice that other people impose on us … those are unhappy situations. Nobody is happy with such a condition. There are sometimes too many things that do not make us happy! But, I also learn that successful people are generally able to change the unfortunate conditions into potentials. How could they do it? Certainly, it is determined more by the way they see the world! It’s their paradigm.

I learn that one of the characteristics of successful leadership is a consitency in perceiving human life as dynamic and changing all the time. Many things come and go, others are enchanting and others are just discouraging. What matters most is certainly the way we respond to unhappy situations. Once we decide to be fluid and flexible in dealing with any kinds of things that happen around us, the more ready we are to anticipate uncertainties.

Having this in my mind, I hope that I can make up my mind: to be more positive and able to translate whatever I find in classes into my future work! I did it! At least, I started to do it: this evening, I spent very little time (less than two minutes) to ask Fr. Mintara about the possible uses of today’s class. As usual, I got surprised with brilliant ideas he had in his mind. He proposed the idea of using the gameframe that we used in Dr. Boyle’s class to initiate a conversation with our trainees. I certainly used some part of his idea and made up my mind too.

My plan is to introduce the opposing concepts of leadership: pyramidal vs. flat model. The strategy is simple: make groups of three or four and ask the groups to accomplish a simple task. I will ask them to choose which leadership model they prefer and put the labels on each box (principal, parents, teachers, students, and other stakeholders). Have them talk about their choice and ask them to defend it.

I suppose that the trainers (i.e. the ISEDP trainers) are to master the X and Y Theories by Douglas McGregor (1960) and the revised version by Thomas Sergiovanni (1992). With these theories in mind, the trainers are well-informed and establish their perspectives on a strong conceptual foundation. Do I need to explain in this blog? I think it’s too early to discuss it here. My point is: I’m trying to negotiate my unhappy feelings with the real challenges in future that I could identify. I want to make myself driven not just by my impulsive feeling, but by goals!

Summer di Chicago yang menggairahkan

Memasuki penghujung bulan Juni ini, kembali ke menjejakkan kaki di Chicago, kota penuh gairah musim panas. Kata gairah barangkali tepat. Udara hangat, yang tentu saja masih relatif dingin bagi kulit tropis kami, telah mengundang kegairahan luar biasa di kota ini. Di sana-sini terlihat orang berlalu lalang dengan pakaian minim (bukan seadanya tentu saja). Seksi, cantik … dan … indah (kalau mau melihatnya demikian tentu saja).

Tahun lalu, kami tinggal di Rockhurst Hall, suatu kompleks apartemen yang tidak bisa dikatakan indah. Namun demikian, ketidakindahan tempat tinggal apartemen itu masih terkompensasi dengan beberapa hal lain. Jalan sepuluh menit dari sana, kami sudah sampai di Simpson Hall yang menyediakan berbagai makanan. Belok ke sebelah kanan, kami sudah berdiri di bibir Danau Michigan biru yang tak terlihat batas seberangnya. Bila bosan makan di Simpson Hall, naik bis 147 selama 5 – 7 menit sudah mengantar kami ke Thai Resto. Rockhurst Hall terletak di kompleks apartemen-apartemen lain yang dimiliki oleh Loyola University Chicago. Secara fisik lebih nyaman untuk musim panas. Alasannya sederhana, kami dipaksa jalan dan naik bis sebelum kuliah. Butuh waktu minimal 45 menit untuk sampai sekolah di downtown.

Tapi itu barangkali tantangan fisik yang dibutuhkan. Aku baru menyadarinya sekarang. Semester ini kondisi berbeda. Kami menempati kompleks apartemen bernama Baumhart Hall yang berlantai 25. Aku sendiri berada di Lantai 24, satu ruangan dengan dua Romo Jesuit yang lain. Barangkali kami belum cukup menikmati tempat yang jauh lebih mewah ini. Bangunannya baru. Sangat baru bahkan. Baru selesai dibangun dan ditinggali tahun lalu. Fasilitas pun lebih dari sekedar lengkap. Masing-masing kamar dilengkapi dengan wireless access point buatan Cisco System. Kecepatannya? Jangan tanya! Ini Amerika bok … 54 mbps. Download file sebesar 20 MB hanya sekedipan mata! Mau chatting? Ngobrol via skype? Just a piece of cake! Coba kalau di negeri kita yang relatif masih terbelakang dalam hal teknologi? Jaringan dengan bandwith 2MB saja dipakai untuk 12,000 di USD. Di sini? Utk 15.000 mahasiswa, jaringan bandwithnya berapa? 200MB lebih … serba wow …

Masing-masing kamar apartemen dilengkapi dengan dapur, dengan tungku listrik, microwave, pemanggang roti, mesin pencuci piring, sink dengan air dingin dan panas yang mengalir dengan derasnya. Masing-masing ruang apartemen ada dua kamar mandi. Khusus untuk fasilitas ini, rupanya kami merasa perlu untuk semakin jarang menggunakannya. Mandi dua kali sehari tampaknya akan menjadi pantangan bagi kami, apalagi ketika hari-hari dingin ke depan semakin dekat. Mandi tidak diperlukan. Alasannya sederhana: bukannya malas karena enggak mau bersih, tetapi malas menderita gatal-gatal! Udara dingin dan kering sering menipu. Bagi orang-orang dari daratan tropis, mencari kehangatan dengan mandi air hangat merupakan pilihan yang menarik. Namun, sebenarnya hal itu merupakan kebodohan yang tidak perlu dibuat. Mengapa? Ketika udara begitu dingin, kelembaban udara cenderung makin berkurang. Kelembaban yang makin berkurang membuat kulit mudah berkerut dan mbesisik. Udara dingin yang kering tidak logis kalau dilawan dengan air hangat, karena hanya akan membuat kulit semakin kering saja. Tanpa disadari, orang-orang tropis yang tidak tahu-menahu logika macam ini akan mandi dengan air hangat, dua kali sehari, dan kemudian akan selalu fidgeting ketika di kelas! Pokoknya seperti monyet yang berhari-hari tidak bertemu temannya untuk saling berbagi kebahagiaan mencari kutu di tubuh mereka.

Kembali ke Baumhart Hall lagi. Apartemen bertinggi 25 lantai ini terletak persis di tengah kota, dekat Water Tower, satu-satunya gedung yang tidak dijarah api ketika terjadi kebakaran hebat di Chicago di tahun 1870. Kebakaran yang konon kabarnya menghabiskan hampir seluruh kota ini begitu mencekamnya, sehingga suara yang paling dominan di kota Chicago ini adalah raungan mobil-mobil pemadam kebakaran. Kalau di Indonesia yang paling dominan suara adzan, di Chicago suara mobil pemadam kebakaran. Lain ladang lain belalang, lain piring lain lauknya.

Berbicara mengenai fasilitas lainnya? Jangan tanya. Ada gymn yang berada di lantai 4. Aku sendiri merasa tidak PD untuk mencobanya. Ketika seorang teman meminta untuk diantar cuci baju di Lantai 4, aku hanya berani masuk ruangan dan tidak menyentuh alat gymn yang ada. Makhlum, usiaku rupanya sudah membunuh naluri coba-coba dari masa kanak-kanakku. Naluri untuk belajar secara alamiah tiba-tiba ngeloyor pergi, apalagi di sebelah kanan tampak cewek bule sedang berlari-lari di papan treadmill.

Itulah tempat tinggal baru kami. Baumhart Hall, yang terletak di 26 E. Pearson Street. Tempat yang sekarang ini belum menghadirkan tantangan fisik yang kami butuhkan, tetapi barangkali akan menjadi tempat yang paling tepat untuk musim dingin nanti.

Sunday, June 1, 2008

Rokok Tali Jagat Raya

Pagi ini, seperti biasanya kepalaku penuh dengan ide. Helm merah dengan kaca gelap menutupi wajahku, dan memberikan perlindungan, tidak hanya saja dari debu atau angin yang menghempas wajahku sewaktu motor aku kebut, tetapi juga dari dari tatapan orang-orang lain. Soliloqui … berbicara pada diri sendiri. Itulah yang aku selalu lakukan. Aku selalu menggunakan waktu 15-menit perjalanan dari rumah sebagai kampus sebagai kesempatan untuk berdialog dengan diri sendiri. Self-talking, itulah yang aku lakukan.

Self-talk merupakan strategi yang luar biasa untuk menggali apa saja yang aku kehendaki, cita-citakan, dan juga sekaligus memunculkan rencana-rencana strategis yang harus aku jalankan. Namun bukan berarti bahwa aku sendiri lalu terbenam dalam diriku sendiri semata-mata. Self-talk juga menjadi kesempatan untuk tetap terfokus dengan apa yang terjadi di sekelilingku. Menyadari konteks di mana kita berada, dan mengambil kesempatan yang tidak akan pernah datang dua atau tiga kali untuk melakukan sesuatu yang sederhana, namun tetap bermakna dalam hidup ini.

Kejadian pagi ini pun menjadi kesempatan untuk berlatih mengambil tindakan dengan cepat ketika dihadapkan pada suatu hal sangat sederhana. Kejadiannya di pertigaan UIN. Seperti biasanya, perjalananku harus terhenti karena lampu merah menyala. Sejumlah mobil sudah berjajar di depan, dan aku jumpai bahwa ada ruang yang cukup di sebelah kanan mobil-mobil itu. Pertama, aku lewati sebuah mobil Innova. Hati-hati, agar spion mobil tidak bergesekan dengan stang bagian kiriku. Di depanku ada mobil Chevrolet tua (melihat ketuaannya, mobil ini mengingatkanku pada mobil-mobil sisa-sisa PD II). Di atas bak yang terbuka, duduk sekitar tujuh orang dengan pakaian kerja. Dari sisi kanan, sebuah bungkus rokok melayang. Tepat di depanku.

Motor aku perlambat. Aku pungut bungkus rokok itu. Sang sopir yang ada di mobil agak terkejut. Aku tersenyum lebar. “Ada tempat sampah untuk bungkus rokok ini, pak.” Bungkus rokok itu aku masih di tanganku. Lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Gas motor aku tarik. Dan aku merasakan sebuah kemenangan. Berbagi pengetahuan kecil.

Aku tidak tahu apakah pesan “pendidikan” yang aku sampaikan melalui bungkus rokok kosong itu benar-benar sampai. Namun, yang pasti, aku belajar banyak hari ini. Aku melakukan aksi tertentu yang konkrit. Aksi yang tidak aku pikirkan lebih dulu. Hanya spontan. Dan aku merasa bangga telah melakukannya. Tanpa ba .. bi .. bu .. aku lakukan sesuatu dengan spontanitas yang sangat khas.

Hal lain yang aku pelajari: bungkus rokok tersebut “berjudul” Tali Jagat Raya. Tahu harganya berapa? Di label bea cukai tertera Rp. 3.975,-. Apa artinya? Murahan. Ya memang itu rokok murahan. Harga rata-rata satu bungkus yang “tidak murahan” tentu saja dua kali lipat harga itu. Rp. 7000-an. Ya, bapak sopir tersebut memilih (atau terpaksa) untuk tidak beli yang mahal. Pertanyaan menariknya adalah: Apakah harga rokok yang murahan juga terkait dengan perilaku tidak peduli lingkungan seperti yang ditunjukkan oleh bapak sopir dalam mobil Chevrolet tua itu? Apakah tidak peduli dengan kebersihan juga identik dengan kemiskinan?

Ternyata tidak. Kepedulian terhadap kebersihan sama halnya dengan kasus skandal seks, atau perselingkuhan, atau love affairs. Kedua hal itu tidak pernah mengenal status sosial. Semakin tinggi pendidikan, tidak ada jaminan bahwa dia akan mampu mengendalikan diri dari godaan perselingkuhan. Semakin tinggi status sosial, tidak ada jaminan bahwa dia juga akan lebih mampu mengendalikan nafsu sufiahnya. Soal kepedulian sosial dan kebersihan lingkungan pun tidak berbeda. Pernah suatu kali aku menjumpai, dari sebuah mobil bagus yang melaju di depanku meluncurlah tissue bekas pakai. Itu terjadi di tengah jalan. Artinya, orang yang menikmati status sosial tinggi (paling tidak dilihat dari berbagai fasilitas yang mereka miliki) tidak dengan sendirinya memiliki kepekaan untuk peduli dengan lingkungannya. Orang miskin pun bukan berarti tidak memiliki kepekaan akan kebersihan lingkungan.

Pertanyaannya: apa yang membuat orang benar-benar tergerak untuk berbuat lebih baik demi kemaslahatan bersama?

Saturday, May 31, 2008

Perjalanan Spritual

Kamis 22 Mei 2008, saya mengatakan kepada bu Wigati (dalam acara pengolahan data interview bersama). “Inti dasar dari proses pendidikan kita [persiapan pendidikan calon kepala sekolah] sebenarnya berkutat pada kedalaman diri kita. Kita mesti bertanya seberapa dalam kita hendak menyelami kedalaman diri kita sampai bisa membawa perubahan yang besar dari dalam diri kita, yang pada gilirannya perubahan yang mendalam dalam diri kita tersebut menjadi kekuatan perubahan yang membawa serta pengaruh yang besar pada orang-orang di sekeliling kita.” Ketika berbicara seperti itu, sebenarnya saya berbicara tentang spiritualitas, suatu aspek yang saya rasa semakin penting dan menjadi dasar dari segala hal yang hendak kita lakukan. Dan sayangnya, aspek yang seperti ini seakan-akan telah terhempas ke dalam kebekuan tradisi masa lalu. Alasannya sederhana, dunia sekarang ini telah terlalu padat oleh arus lalu lintas informasi, dengan segala tetek-bengek teknologi informasi yang membuat kita sendiri tidak bisa berkedip penuh kekaguman atas berbagai kemajuan demi kemajuan yang ada! Padahal, bila perubahan hendak dilakukan, perubahan haruslah bersifat substantif dalam diri sendiri terlebih dulu. Baru kemudian, dampak yang lebih luas, sekalipun langkah-langkah yang bisa terjadi tersebut sangatlah lambat, terbentuk ketika kekuatan pembawa perubahan itu membawa pengaruh dan angin segar dalam pola hubungan dalam suatu lingkup profesional tertentu. Menurut Michael Fullan (2003) ini adalah gambaran nyata dari sebuah konsep correlation. Apa yang kita yakini akhirnya menjadi bagian dari keyakinan orang-orang di sekeliling kita. Dalam berbagai kesempatan, saya menunjukkan contoh yang tidak terlalu jauh: bagaimana Fakultas Farmasi USD telah mengalami pengalaman transformasional ketika memilih untuk bersakit-sakit dengan mengikuti berbagai program hibah. Fakultas Farmasi bukanlah surga: di sana masih ada gesekan-gesekan antar pribadi, di sana masih ada konflik kepentingan, di sana masih ada kecemburuan. Namun, keberanian, komitmen, dan juga rasa percaya diri yang tinggi untuk mencapai sesuatu dengan melalukan berbagai macam hal yang menantang secara bersama-sama (catat ini: SECARA BERSAMA-SAMA) benar-benar telah mengubah sifat dasar negatif manusiawi yang suka nggosip dan lebih memilih mengambil pekerjaan yang ringan-ringan saja … menjadi kekuatan mengagumkan. Gesekan-gesekan yang terjadi tidak lagi bersifat personal, tetapi jauh lebih profesional. Dan kenapa para mahasiswa juga tercatat memiliki tingkat kelulusan yang tinggi? Ya karena mereka melihat secara langsung bagaimana kinerja para dosennya. Dosen-dosennya sibuk mengerjakan proyek, dengan berbagai macam constraints – seperti deadline dan penilaian standar yang ditentukan oleh Dikti! Para mahasiswa melihat secara kasat mata bahwa para dosennya MELAKUKAN PENELITIAN dan mempublikasikan karya ilmiah!

Terbukti bahwa empat tahun sebagai pioner dan sekaligus berjibaku membuka hutan telah menyadarkan sejumlah fakultas lain akan dampak luar biasa dari mendapatkan hibah dari DIKTI ini [perlu dicatat bahwa Fakultas Teknik USD di Paingan pun juga tercatat sebagai fakultas yang getol dengan upaya-upaya mencari dana dari mekanisme Hibah ini, dan memang berhasil!]. Fakultas-fakultas lain yang semula sangat antipati dan bahkan memandang rendah makna sebuah hibah dari DIKTI akhirnya menyerah, dan mereka pun mulai melirik kemungkinan untuk ikut terlibat dalam kegiatan hibah. Itu namanya autocatalysis menurut Michael Fullan (2003). Ilustrasi mengenai apa yang terjadi di Fakultas Farmasi USD dan dampaknya terhadap proses belajar dari fakultas-fakultas lain sebenarnya hanya mau menunjukkan bahwa proses membawa perubahan bukan persoalan yang mudah. Perubahan hanya bisa terjadi bila dilakukan secara bersama-sama, dan melibatkan kerja keras berbagai macam pihak terkait. Perubahan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri secara tertutup, melainkan harus menunjukkan kebersamaan yang tidak bisa diterima begitu saja. Perubahan adalah sebuah usaha keras, yang menuntut konsistensi, dan sekaligus membuka peluang untuk terjadi pertempuran sampai ‘berdarah-darah’. Barangkali ini terdengar terlalu hiperbolistis, namun sebenarnya perubahan secara substansial memang harus mampu mengubah mindset, atau ideologi dasar yang kita yakini.

Manusia pada dasarnya makhluk yang selalu membuat label-label. Kita meletakkan berbagai persoalan dengan frame of reference yang kita miliki. Orang-orang diletakkan dalam kategori tertentu, baik-buruk, cantik-buruk muka, muda-tua dan lain-lain. Kebanyakan orang sangat puas dengan hanya berhenti menikmati frames of reference yang tidak terlalu luas. Artinya mereka cukup puas dengan apa yang mereka miliki dan tidak mudah tertantang dengan ide-ide baru. Bahkan ketika ada hal-hal baru, orang cenderung overcritical, tidak mau melihat potensi dari hal baru tersebut. Barangkali mereka hendak bertindak hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi apapun yang ada di sekeliling mereka. Namun, yang justru sering terjadi adalah bahwa kehati-hatian tersebut lebih untuk menutupi ketidakmauan untuk mengambil resiko. Memakai frames of reference yang baru berarti mencari arti baru, yang juga berarti berada dalam ketidakpastian. Akibatnya jelas, tidak nyaman. Dan orang pada umumnya tidak suka dalam ketidaknyamanan.

Hanya sedikit orang yang senantiasa terbuka untuk selalu memperbaiki frames of reference ini. Mengapa demikian? Orang yang selalu memperbaiki frames of reference-nya adalah orang yang selalu bertanya, mempersoalkan, membaca, dan mengolah apa yang dihadapinya. Dengan kata lain, orang yang selalu berani terbuka, menantang pendapat-pendapat orang lain, mempersoalkan apakah sesuatu benar begitu, dan yang lebih penting lagi, berani mengambil posisi di mana kita berdiri! Mengambil posisi atas suatu isu tertentu yang memang membuat kita menjadi kelihatan di mana kita berada: bahkan sekalipun kita dihadapkan dengan pandangan-pandangan tidak disukai oleh orang lain. Sekalipun sikap yang kita ambil sama sekali tidak populer di mata orang lain.

Pendar-pendar perubahan yang keluar dari api yang menyala-nyala dalam diri kita haruslah tampak terang untuk bisa memberi pengaruh di lingkup kerja kita. Dan inilah inti persoalan dalam kehidupan kita yang sesungguhnya: PERSOALAN SPIRITUALITAS. Apakah yang benar-benar kita kejar dalam hidup kita? Apakah yang membuat kita yakin dengan apa yang kita lakukan? Mengapa kita memiliki keberanian untuk mengambil resiko tidak disukai oleh orang-orang lain yang tidak sepakat dengan apa yang kita yakini? Bagaimana tetap memastikan bahwa apa yang kita lakukan sebenarnya membawa perubahan yang lebih besar untuk orang lain? Sekalipun ditolak pada awalnya, namun akhirnya orang lain mau tidak mau mengakuinya? Dibutuhkan kekuatan spiritual yang sangat kuat, mantap, terolah dengan baik, dan terrawat dengan seksama.

Itulah tesis dasar yang saya miliki. Bahwa sebenarnya inti dari sebuah perubahan digerakkan dari jati diri kita sebagai manusia yang mencari makna. Dalam mencari makna itu, kita dihadapkan dengan berbagai tantangan yang tidak mudah. Dan karena itu, kita perlu senantiasa terbuka untuk mengolah diri kita, mempertajam frames of reference yang kita yakini dan sekaligus memperkayanya. Ini bukan hal yang mudah, dan memang tidak ada kata MUDAH untuk sebuah prestasi yang tercatat dalam tinta emas sejarah. Bangunan piramid yang telah bertahan lebih dari 4000 tahun dan menimbulkan kekaguman sepanjang masa dibuat dengan cucuran darah dan keringat. Ribuan nyawa melayang untuk membangun dan mengangkat balok-balok batu besar untuk mendirikan bangunan simbol keabadian para raja Mesir tersebut. Teknologi untuk mengangkat batu-batu besar dan masif pun telah berkembang pada masa itu. Pekerjaan yang melibatkan pemikiran para ahli arsitektur, para pemikir dengan daya intelektualitas yang tinggi, dan para artis yang luar biasa kreatif. Dan terlebih: kekuatan militer sebuah kekaisaran yang menjamin stabilitas negara. Hasilnya adalah serangkaian bangunan piramid yang luar biasa besar, indah, dan sampai hari ini pun orang masih tidak bisa berhenti mengaguminya.

Masjid terindah Taj Mahal membutuhkan waktu 22 tahun untuk dibangun … suatu proses yang panjang dan melelahkan. Itu artinya apa? Tidak ada perubahan yang besar dan substansial yang dilakukan tanpa perjuangan yang luar biasa keras. Ya … kerja keras, termasuk menanyai siapa diri anda, ke mana anda akan mengarahkan langkah kaki, begitu kematian anda menjemput, hal-hal apa saja yang hendak anda dengar sebagai pujian atas prestasi-prestasi anda … pertanyaan-pertanyaan yang menyontak kesadaran diri kita. Beranikah kita menjawabnya?

Itu pertanyaan-pertanyaan spiritual. Perjalanan spiritualitas kita lah yang menjelaskan mengapa pula kita tetap yakin bahwa tugas perutusan dalam bidang pendidikan memang tidak boleh jatuh ke tangan-tangan kotor kapitalisme … dan karena itu pula kita harus mempertahankannya mati-matian … demi kelangsungan evolusi antropologis itu sendiri (kata Edgar Morin, filsof Perancis). Buku A New Earth karya Echart Tolle telah menjadi pilihan Oprah Winfrey sebagai bahan Book Club reading. Buku ini belum bisa aku dapatkan, namun aku merasa beruntung dikenalkan dengan i-Tunes oleh seorang Pak Prast yang luar biasa. Dengan itu pulalah aku bisa download sepuluh seri MP3 files dari Oprah Winfrey show, yang beberapa tema pentingnya akan menjadi bagian pencarian di masa-masa yang akan terlalu lama lagi … dan semoga segera muncul di posting berikut-berikutnya …

Sekedar kebetulankah?

Minggu, 25 Mei 2008

Bila anda memang benar-benar menghendaki sesuatu dan mengerahkan segala daya upaya untuk mencapainya, niscaya seluruh alam pun akan mendukung anda. Itu kurang lebih pernyataan sang penulis besar Paulo Coelho. Dukungan yang kita peroleh dapat berupa banyak hal. Kesamaan pandangan, dukungan atas apa yang kita yakini, ataupun pengalaman yang mirip. Dukungan bisa berupa pertemuan dengan orang lain yang kebetulan memiliki serangkaian gagasan yang sama. Dukungan pun juga bisa berupa perjumpaan dengan pengalaman melalui berbagai macam komunikasi. Apa yang saya alami dua hari ini menjadi gambaran nyata. Di hari Sabtu, saya mengungkapkan keprihatinan dengan hilangnya sosok yang berkarakter kuat dalam sejumlah orang bereputasi baik. Sehari sesudahnya, saya menjumpai tulisan yang menegaskan pandangan saya … apakah ini sekedar kebetulan? Ataukah memang Coelho benar dalam hal ini? Apa yang saya pikirkan dan yakini mendapat dukungan dari analisis yang menjadi keprihatinan orang lain yang sama sekali tidak saya kenal. Harian Kompas membuat kami bertemu. Dampaknya nyata, saya semakin melihat kebenaran Paulo Coelho … pikirkan hal positif terus-menerus, dan hal-hal lain yang positif akan mendukung pemikiran positif tersebut … awal untuk mengubah dunia, setidaknya dunia dalam dunia mikro kita lebih dulu!

Hari Studi Bersama

“Rupanya, makin besar skala kebocoran UN dari waktu ke waktu. Bagaimana menangani persoalan ini?” Pertanyaan tersebut diajukan dalam acara studi bersama mengenai dua standar pendidikan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Sang penampil tampak kesulitan menjawab pertanyaan itu. Dengan ragu-ragu dia menjawab, “Barangkali perlu diciptakan mekanisme yang lebih baik. pengawas independen dari Perguruan Tinggi sudah dilibatkan. Beberapa dosen dari kita pun juga sudah dilibatkan. Tapi saya juga tetap bingung. Entah benar atau tidak informasi yang saya dengar ini. Kunci jawaban pun sebenarnya dibocorkan dari Dinas Pendidikan sendiri. Kalau itu yang memang terjadi, bagaimana kita bisa menghindari kebocoran itu?”

Dengan agak nakal saya pun menyahut, “Apakah ada yang salah dengan pembocoran/pelanggaran itu?” Sang penampil pun hanya tersenyum. Tidak melanjutkan tanggapan yang saya lontarkan.

Harus saya aku, bahwa pada titik ini saya tiba-tiba terjebak untuk ‘melabeli’ sang penampil sebagai sosok yang tidak berani mengambil resiko dengan mengemukakan posisinya secara jelas. jawaban-jawaban yang disampaikan memang bagus dan benar-benar menunjukkan bahwa penampil orang yang berkompetensi dengan bidang yang ditampilkannya. Bahkan, dua orang penampil itu pun telah memiliki reputasi nasional karena telah tergabung dalam berbagai komisi untuk program pendidikan. Pengalaman dan pemahaman tentang beragam persoalan memang tidak bisa lagi dipersoalkan. Namun, yang menurut saya tetap hilang adalah sikap yang jelas dan tegas: keberanian dalam mengambil sikap terhadap suatu isu yang sangat krusial.

Begitu sampai di rumah saya pun seperti biasanya mengangkat isu tersebut dalam diskusi kecil dengan sang istri. “Begitu banyak orang yang pintar, tetapi kok tampaknya tidak berani tampil transparan secara gamblang tentang sikap politik tertentu yang dia pilih. Mereka tidak mau (atau tidak berani) menampilkan orisinalitas mereka. Kenapa justru ketika ada suatu isu kritis, mereka malah menjawab dengan bahasa yang “sangat standar”? Saya yakin itu bukan karena mereka tidak memiliki analisis mendalam terhadap bidang kajian tertentu. Apakah memang tidak ada sikap tertentu yang layak untuk diperlihatkan?

Kembali ke pertemuan studi bersama itu, pada penghujung acara itu saya mengungkapkan dengan tegas. “Berbagai pelanggaran yang terjadi secara moral tidak salah. Mengapa? Mereka melakukannya atas nama hati nurani. Secara hukum, justru Wapres Jusuf Kalla dan Mendiknas Bambang Sudibyo lah yang keliru. UUSPN sendiri mengamanatkan bahwa ujian untuk mengukur keberhasilan studi adalah hak istimewa guru. Dua tokoh publik itu malah beramai-ramai melanggar UU dengan mengeluarkan PP No. 19 yang selama ini dipakai untuk mengesahkan kebijakan menggunakan UU sebagai penentu kelulusan. Sesuai dengan UU, sebenarnya UN tidak layak dipakai untuk penentu kelulusan, tetapi hanya sebagai alat PEMETAAN. Dalam hal ini, para pelanggar UN dinilai sebagai kriminal yang layak diproses secara hukum. Di sini lah terjadi carut marut persoalan. Sebenarnya, justru dua tokoh ini lah yang mesti diproses secara hukum lebih dulu, wong mereka jelas-jelas menggunakan kekuasaan untuk menggolkan peraturan yang menabrak UUSPN. Para pelanggar yang memfasilitasi kecurangan UN tidak akan melakukan pelanggaran kalau tidak ada kebijakan Wapres dan Mendiknas yang benar-benar melanggar UU tersebut. Kebijakan memakai UN sebagai “alat manjur” untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang sangat kompleks telah memunculkan beragam inkonsistensi, dan para pelanggar yang benar-benar sadar melakukan pelanggaran (dengan membocorkan kunci jawaban UN) adalah para pejuang hati nurani. Tapi di sinilah kekuasaan hegemonistis negara menampakkan taringnya. Mereka tidak membutakan diri dari realitas bahwa mereka sendirilah yang menyulut api. Mereka menyalahkan asap yang membuat mata pedih, tetapi gagal melihat bahwa sebenarnya dalam diri merekalah persoalan itu berakar.

Kesimpulan yang mau saya ajukan sederhana saja. Para pelanggar tersebut mempresentasikan civil disobedience yang sebenarnya sah-sah saja. Mereka sudah selayaknya memperjuangkan kebenaran sesuai hati nurani mereka.”

Hari studi bersama tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu, 24 Mei 2008. Hari berikutnya, kritikan saya terhadap sejumlah tokoh bereputasi baik seakan mendapatkan dukungan. Julius Pour (wartawan dan penulis biografi) membuat resensi buku American Generalship (Jangan sekedar tebar pesona, Kompas, 25/5/08). Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa kecerdasan dan kemampuan analisis setajam apapun tidak menjadi jaminan akan keberhasilan dalam kepemimpinan perang. Berbagai unsur, seperti kecerdasan, keterampilan, kemampuan analisis, kecakapan wicara, dan serentetan reputasi di masa lalu, akan sia-sia saja tanpa dilandasi dengan sebuah karakter yang kuat.

Saya temukan diri saya bermakna ketika menulis

Orang pada hakekatnya beragam dalam cara pandang, bentuk fisik, tingkat kesehatan, latar belakang, dan nasib. Itu bukan hal yang perlu dipersoalkan. Namun pertanyaan mengenai apa yang membuat seseorang lebih berhasil dibandingkan dengan orang lain tetap saja menarik untuk diajukan. Ada orang yang memiliki ketenangan luar biasa dalam menjalani hidup, sekalipun dihadapkan dengan berbagai macam tugas dan tanggung jawab. Dengan kepala dingin, hati penuh rasa percaya diri, langkah kaki ringan namun tidak tergesa dia menangani satu-persatu persoalan yang datang silih berganti. Sementara, orang-orang lain sudah kebingungan yang bahkan tidak seberat yang dihadapinya, dia tetap mampu tampil elegan, bahkan dengan ide-ide segar yang mengejutkan.

Harus kita akui, gambaran sosok seperti di atas lebih pantas disebut sebagai sebuah perkecualian. Dia tidak mewakili gambaran dan realitas normatif dalam begitu banyak orang yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan lebih lanjut tentu saja adalah: apa yang membedakan sosok tenang, kompeten, dan sekaligus strategis ini?

Perkembang-tumbuhan sosok pemimpin yang bisa membawa serta perubahan sangat ditentukan oleh banyak faktor. Tidak sedikit bahwa para pemimpin besar yang berhasil memang telah semenjak kecil dilibat-kenalkan dalam peran-peran kepemimpinan di sekeliling mereka. Dengan melihat peran orang tuanya yang aktif dalam kegiatan di kampung atau kegiatan keagamaan tertentu, anak belajar peran-peran kepemimpinan secara langsung. Anak-anak usia yang lebih tua di sekolah cenderung diberi tanggung jawab sebagai ketua kelas karena kematangan usia dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Ini juga menjadi pengalaman pertama dalam peran-peran kepemimpinan.

Faktor lain yang ikut berperan dalam menentukan perkembangan kepemimpinan juga bisa berangkat dari semangat untuk berprestasi. Memang, dalam masyarakat kita, istilah ‘ambisius’ dimengerti secara terbatas, identik dengan kecenderungan egoisme. Namun, sosok yang memiliki aspirasi besar untuk menjadi pemimpin tidak bisa dipisahkan dari ambisi besar untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang di sekitarnya. Orang-orang dengan ambisi untuk berpengaruh ini sering menjadi magnet bagi orang-orang disekitarnya dan menjadi “penentu arah angin”, bukannya sebagai “bendera” yang patuh pada arah mana angin berhembus.

Studi mengenai kepemimpinan memang bermuara pada pemahaman bahwa kepemimpinan adalah wilayah yang sangat rumit untuk dikaji, karena di dalamnya terlibat beragam macam aspek. Pengalaman dari keluarga di masa kecil, pengalaman menduduki peran-peran kepemimpinan di masa muda, dan cita-cita dasar dari dalam diri seseorang yang menggebu. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah gabungan antara “bakat, seni, dan sekaligus ilmu”. Sosok kepempinan memang menuntut bakat dari dalam diri seseorang, karena sikap dasar orang yang berani mengambil resiko tidak bisa semata-mata dilatihkan. Seseorang harus secara bawaan memiliki ‘bakat untuk berani tampil beda, sekalipun orang-orang di sekelilingnya memandangnya dengan sinisme dan ketidakpedulian.’

Kepemimpinan sebagai ‘seni dan ilmu’ mengacu pada kenyataan bahwa sebenarnya bekal bakat saja tidaklah mencukupi. Perlu adanya ruang gerak dan kesempatan bagi sang calon pemimpin ini untuk berinteraksi dengan pengalaman-pengalaman nyata. Baik ‘seni dan ilmu’ sama-sama bisa dipelajari. Artinya, seorang calon pemimpin juga harus mendapatkan pelatihan yang memadai. Ada serangkaian ‘rahasia’ yang bisa diajarkan untuk membujuk dan menggerakkan orang. Ada sisi-sisi teknikalitas yang bisa dikuasai dengan lebih cepat dengan diskusi, membaca, dan berdebat yang dihadirkan melalui kelas-kelas mengenai kepempimpinan. Orang yang sama barangkali membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mendapatkannya secara langsung dari pengalaman nyata.

Salah satu aspek yang paling penting dari sosok kepemimpinan barangkali muncul dari cita-cita dasar yang menggerakkannya untuk melakukan banyak hal. Cita-cita dasar yang kuat, yang pada proses pembentukannya selalu mendapatkan berbagai macam hambatan, tantangan dan kesulitan, baru akan menemukan momentum untuk bertumbuh secara subur bila sang pemimpin itu sendiri selalu memiliki energi lebih untuk selalu belajar. Belajar dan belajar dari berbagai macam fenomena dan pengalaman hidup yang dihadapi. Ini sisi spiritualitasnya. Sosok yang mampu belajar secara berkelanjutan memiliki kemampuan untuk mundur satu atau dua langkah, berhenti sejenak untuk memberi makna terhadap berbagai macam pengalaman yang dia alami, dan kemudian membuat lompatan besar ke depan. Tidak heran bahwa sosok macam ini selalu dikenal dengan letupan-letupan (walaupun barangkali tidak terlalu kentara seiring dengan pertambahan usia) emosi dan semangat untuk berbagi. Orang macam ini tidak memiliki rasa lelah untuk berinteraksi dengan orang lain, memiliki antusiasme yang mengagumkan untuk mendengarkan orang-orang di sekelilingnya. Dia selalu mampu menebarkan hawa optimisme bahkan ketika banyak hal terasa tidak mendukung. Di sini, spiritualitas yang mendasarinya membentuk mentalitas untuk tetap mampu menjalani hidup sekalipun tidak ada kejelasan dalam hidup ini.

Menulis adalah salah satu cara jitu untuk berinteraksi dengan diri saya. Menulis adalah kesempatan ketika saya bisa bertemu, berbicara, bernegosiasi, dan bahkan berkonflik dengan diri saya. Echart Tolle menyebut suatu contoh yang unik: “Sering kita bergumam kepada diri kita: kamu bisa kalau kami melakukannya dengan benar.” Kata-kata itu kita ajukan kepada diri kita sendiri seakan-akan kita membuat pemisahan diri kita dalam dua sosok yang berbeda. Hal ini mau menunjukkan bahwa sebenarnya ada aspek ‘ego’ – suatu rangkaian penilaian tidak sadar yang sering menentukan berbagai kecenderungan yang kita miliki – yang sangat kuat dan membuat kita seperti ini adanya. Di samping sosok ‘ego’, dalam diri kita ada ‘true-self’ – diri kita yang sesungguhnya. Keduanya sulit dipisahkan, namun ketika kesadaran kita akan hidup ini mencapai titik kepenuhannya, kita tidak akan kesulitan membedakan apakah suara yang keluar dari diri kita adalah ego atau true-self itu sendiri.

Menulis merupakan wahana bagi diri saya untuk mempertemukan dua sosok tersebut. sejauh ini menulis menjadi teman yang paling setia, menjadi penengah atas kedua sosok tersebut. Terus terang saja, ketika proses menulis telah menjadi bagian tidak terpisahkan, true-self menjadi tampak lebih jelas suaranya. Ini terjadi ketika dihadapkan pada suatu persoalan emosional – misalnya ada seorang mahasiswa yang secara langsung mengkritik saya di depan umum. Saya mau tidak mau harus menentukan sikap. Ego saya akan memberontak, dan tidak menerima pelecehan macam ini. Ego saya pasti akan mendorong saya untuk mengingat-ingat mahasiswa itu. Tidak hanya namanya yang harus diingat, tetapi juga nomor mahasiswanya sekalian. Agar ketika masa penilaian tiba, dengan mudah saya akan menjatuhkan pembalasan dengan tidak meluluskannya. Nilai E atau F adalah bentuk pembalasan yang paling setimpal. Itulah sang ego.

True-self mengajariku untuk berpikir kritis. Marah atas pelecehan tidak salah. Namun, membalas dendam dengan menggunakan kekuasaan adalah hal yang tidak bisa diterima. Itu merupakan kehinaan yang teramat sangat untuk ukuran seorang dosen. Itu suara true-self. Dia mengajari saya untuk tidak mudah sakit hati, tidak mudah runtuh oleh ratap dan tangis berkepanjangan ketika ada kedukaan yang menimpa. Dan true-self juga mengajarkan diri saya untuk tidak menyalahkan soal ujian yang sulit. True-self mengajarkan diri saya untuk menerima kekalahan dengan gentle. Bahkan, ketika nilai hasil akhir dari suatu mata Matakuliah jelekpun, true-self mengajari saya untuk berpikir positif. Menyadari kekonyolan dan kesalahan karena tidak jauh-jauh hari belajar.

Menulis menjadi kekuatan yang luar biasa besar dalam menciptakan suasana nyaman dalam hati, karena dua aspek di dalam diri saya menjadi lebih mudah berdamai bahkan dalam suasana yang tidak menguntungkan sekalipun. Keterampilan menulis memang berperan sebagai sasaran akhir sekaligus sebagai alat untuk mencapai sasaran akhir yang kita cita-citakan. Di situ ada refleksi. Di situ ada kesediaan untuk menilai dan mengukur diri sendiri. Di situ ada tawa lepas … tawa atas kekonyolan diri sendiri. Dari sanalah muncul api yang menyala-nyala dan menerangi sekeliling saya … menjadi magnet yang menarik gelombang-gelombang kebaikan di antara orang-orang …

Berdamai dengan idealisme

27 Mei 2008, pk. 01.52

Ketika aku membaca kembali apa yang aku tulis para minggu ketiga Maret lalu, aku merasakan menemukan diriku yang berbeda pada akhir Mei ini. Ada beberapa tulisan yang sangat berbau “judgmental” di sekitar bulan Maret lalu. Saya seakan-akan menemukan berbagai kesalahan di dalam diri orang lain, dan dengan ringannya memasangi label atas mereka. Aku adalah sosok idealis yang memang mudah menemukan kesalahan dalam diri orang lain. Dan aku akui, aku cukup malu dengan temuan itu. Ya, aku menulis tentang detachment yang kalau dibaca sangat menghakimi! Aku juga menulis kritik yang sangat tajam tentang ketakutan sejumlah orang untuk berteriak secara lantang ketika ada seorang atasan yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri untuk berjalan-jalan keluar negeri. Aku juga menulis tentang gagalnya sejumlah orang yang telah meraih gelar doktor untuk membawa perubahan yang signifikan bagi program studi. Dan semuanya terasa terlalu tajam, tanpa tedheng aling-aling dan tentu saja bisa saja sangat menyakitkan.

Ada sejumlah pengalaman unik yang aku jumpai dalam beberapa terakhir ini, terutama ketika aku membaca kembali buku dari Parker Palmer yang berjudul To know as we are known dan membaca dengan pelan-pelan buku the Secret karya Rhonda Byrne (dipinjami pak Sarkim). Kedua buku tersebut menjadi alat penegas dari satu rangkaian acara book club oleh Oprah Winfrey yang mengangkat buku A New Earth karya Eckhart Tolle. Sepuluh seri rekaman yang berdurasi selama kurang lebih 90 menitan memang belum selesai aku dengarkan. Namun, dampak yang aku peroleh memang luar biasa. Aku sangat rajin menikmati proses pembelajaran yang mengejutkan sekaligus menampar kesadaran.

Pada hari ini, begitu mulai menyadari dan mengolah makna labeling dan ego serta true self yang dihadirkan dalam diskusi Oprah Winfrey dan Eckhart Tolle, aku mulai merasakan bahwa sebenarnya aku bisa menentukan pilihan-pilihan untuk berpikir kritis, atau katakanlah idealis, tanpa mengorbankan idealisme tersebut. Stuart Yeh pernah menulis apa arti dari seseorang yang berpikir kritis: kemampuan untuk hadir secara seimbang dalam dua pandangan yang saling berseberangan. Paling tidak hari Selasa, 27 Mei 2008, saya mengolah betul makna kekuatan berpikir kritis seperti yang tercermin dalam rethoric studies ini.

Beginilah hasil permenungan yang dapat aku simpulkan dari goresan-goresan tangan sesudah rapat persiapan visitasi.

Argumentasi – kemampuan untuk menunjukkan kemampuan berpikir kritis dinilai sebagai salah satu parameter dan sekaligus teknik pembelajaran yang efektif. Pola pemikiran argumentatif tidak hanya bermanfaat agar kita tetap kritis, tetapi juga menjadi alat untuk menjamin pola hubungan sosial yang lebih fair, adil, dan tentu saja beradab. Mengapa?

Tadi pagi, begitu saya mendengar bahwa salah seorang yang kami kenal di kampung akan mengadakan perhelatan besar-besaran sebagai perayaan sunatan, muncul dalam kepala saya penilaian yang tajam: perhelatan yang sulit diterima akal sehat! Dalam hati kecil, saya berpendapat bahwa keputusan mengadakan perhelatan itu sendiri bukanlah hal yang bijaksana untuk dilakukan dalam jaman seperti ini. Mengapa? Pertama, tentu terjadi pemborosan sumber daya tidak perlu. Daripada menghamburkan uang untuk pesta-pesta, kenapa tidak untuk hal-hal lain yang lebih bernilai investasi? Ditabung untuk dana pendidikan, misalnya? Kedua, beban sosial yang ditanggung masyarakat tentu tinggi. Memutuskan mengadakan perhelatan, menurut hemat saya, seakan-akan ‘memaksa orang lain untuk membiayai pemborosan’ karena orang-orang kampung, relasi dan pihak-pihak lain terpaksa harus berkontribusi dengan ‘kondangan’. Menurut pemikiran saya, biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat sebagai akibat keputusan perhelatan macam itu terlalu mahal untuk dibayar.

Sampai pada titik ini, saya mencoba untuk diam sesaat. Tiba-tiba saya ingat apa yang dikatakan Eckhart Tolle yang menyatakan bahwa manusia sering terjebak untuk ‘melabeli’ orang-orang, kondisi, lingkungan, atau pengalaman nyata yang mereka jumpai. Meletakkan label pada hal-hal yang dijumpai tentu saja tidak serta merta negatif, namun sering terjadi bahwa kebiasaan label-melabeli ini justru menutup pintu ‘aliveness’ (begitu hidupnya realitas objektif) dari berbagai hal yang kita jumpai. Dengan kebiasan label-melabeli tersebut, kita sudah memasang patokan atau standar yang lebih berfungsi sebagai filter untuk menyaring apapun yang masuk dan kita tangkap melalui indera-indera kita. Sehingga, apa yang kita benar-benar mampu kita tangkap bukannya kepenuhan pengalaman yang sangat hidup dan alamiah serta genuine, tetapi sesuatu yang sudah skewed dan membuat kita tidak mendapatkan gambar orisinal dari realitas yang kita jumpai. Telah terjadi proses otomatisasi yang membuat kita cepat mengambil kesimpulan, dan menerima banyak hal sebagai kebenaran, tanpa benar-benar mempertimbangkan arti sesungguhnya yang bisa kita gali.

Ketika menyadari realitas manusia yang suka label-melabeli ini, saya akhirnya benar-benar mampu melihat secara jernih bahaya yang menunggu dari kebiasaan macam ini. Ketika pemikiran kritis tidak diasah secara sungguh-sungguh dan secara bertanggung jawab, dengan mudah kita terjebak ke dalam pragmatisme berlebihan. Orang yang berpikir kritis adalah orang yang bisa menghadirkan dua sudut pandang yang saling berseberangan. Dalam kondisi seperti ini, sekalipun secara intuitif kita memiliki preferensi tertentu, kita tidak mudah dengan begitu saja mengamini suatu pandangan yang langsung kita setujui. Kita mundur sejenak, dan melihat persoalan dengan lebih kompleks.

Dalam kaitannya dengan hajatan sunatan yang dipestakan, barangkali akan lebih bijaksana kalau saya menjalankan strategi macam ini. Pertama-tama tentu dengan bertanya: mengapa ada mekanisme hajatan yang dipestakan? Dari proses bertanya itu, saya akhirnya menjumpai tiga alasan: (a) pengakuan sosial, (b) simbol dan sarana perekat interaksi sosial, dan (c) ekonomi. Bagaimanapun juga, hajatan yang dirayakan dalam pesta menjadi sarana untuk mendapatkan pengakuan sosial. Merayakan pernikahan di Wisma Kagama tentu membawa dampak pengakuan sosial yang berbeda dengan merayakan pernikahan di Hotel Sheraton. Wisma Kagama bagaimanapun juga kalah kelas dan tentu saja kalah wuah … Pengakuan sosial merupakan salah satu kebutuhan manusia. Di samping itu, pesta memainkan peran sebagai simbol dan sekaligus perekat interaksi sosial. Dalam suasana pesta, berbagai macam orang dari berbagai kalangan bisa saja bertemu dan berinteraksi. Kenalan-kenalan yang tersebar ke dalam berbagai lingkup sosial memiliki kesempatanuntuk saling bertemu, dan bisa jadi akan memperluas interaksi sosial tersebut. Dan yang tidak kalah penting adalah: pesta-pesta selalu merangsang pergerakan uang. Konsumsi makanan pasti akan jauh lebih meningkat. Berbagai pelayanan yang ada di dalam masyarakat akan dimobilisasi. Pemusik, penyanyi, pembawa acara, sound system, event organizer, jasa transportasi, busana, boga, dan tata panggung serta dekorasi pasti akan ‘kecipratan’ rejeki dengan pesta-pesta macam ini.

Itulah perjalanan diri saya untuk selalu belajar. Belajar untuk kritis tanpa harus menghakimi … dan pada waktu yang sama tidak kehilangan idealisme … Perjalanan masih panjang, namun sekarang pola-polanya tampaknya mulai kelihatan menjadi lebih jelas lagi!

Misa akhir semester

(16 Mei 2008)

Cukup unik cara Rm. Paul menggambarkan sejumlah mahasiswa yang memilih untuk tidak mengikuti ujian sisipan atau akhir. Daripada pusing-pusing dan bekerja keras mengerjakan soal, lebih baik berjalan-jalan di luar dan tidak menyiksa diri dengan pemecahan soal yang sudah dipastikan tidak akan mampu diselesaikan dengan baik. Lebih baik gagal dengan tidak merasa sakit, daripada gagal dan sakit.

Bacaan hari ini tentang talenta yang dibagikan ke tiga orang. Orang pertama mendapatkan lima, kedua tiga dan ketiga satu. Dua orang pertama bertanggung jawab penuh, dengan mengembangkan uang tersebut. Orang pertama mendapatkan laba 5 talenta, dan orang kedua mendapatkan 3 talenta. Orang ketiga sebaliknya, malah menyembunyikan uangnya di tanah. Begitu sang Tuan kembali, ketiga orang tersebut dipanggil, dan diminta untuk melaporkan perolehannya.

Yang cukup unik dari cerita perumpaan berusia lebih dari 2000 tahun tersebut adalah sikap dasar dari orang ketiga yang dibekali dengan satu talenta tersebut. Dia bukannya melakukan tugasnya untuk mengembangkan talentanya, tetapi malah menyembunyikannya. Di sinilah letak persoalannya. Dia meyakini bahwa sang Tuan adalah sosok yang tidak adil, yang mengambil sesuatu dari hal yang tidak ditanamnya. Pertama-tama dia menyalahkan sang Tuan yang sebenarnya bermurah hati memberi BEKAL TALENTA. Berikutnya, dia meyakini bahwa tidak ada satu pun hal yang dilakukan, kecuali memendam dan menyembunyikan talenta tersebut.

Rm. Paul dengan cantiknya membuat kaitan antara sosok bertalenta 1 dengan kebiasaan sejumlah mahasiswa yang menyerah kalah bahkan sebelum pertandingan dimulai. Mahasiswa tersebut memilih “memendam” talentanya, daripada “mengadu peruntungan” dengan bersusah-sakit-payah mengerjakan soal. Ini adalah dosa utama. Karena mereka sudah meyakini bahwa mereka tidak akan pernah mampu. Itulah kesalahan terbesar! Merasa tidak memiliki peluang lagi.

Dengan kata lain, sang mahasiswa tersebut sebenarnya gagal mensyukuri apa yang diberikan kepadanya … yang sesungguhnya dikaruniakan kepadanya. Itulah persoalan utamanya. Persoalan ketika tidak ada rasa syukur atas berkat yang diterimanya! Ini lah dosa terbesar, yaitu ketika orang gagal melihat karunia dan justru malah menyalahkan orang lain.

Wednesday, April 16, 2008

Change ...

Perubahan? Gampang-gampang sulit. Mengubah kebiasaan tidak lah mudah bagi banyak orang. Bagi sebagian orang lain tidak terlalu sulit. Namun, yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana mempertahankan konsistensi dalam perubahan itu sendiri? Apakah memang benar-benar sikap dan semangat perubahan menjadi bagian integral dalam hidup? Atau hanya menjadi sesuatu yang dilakukan dengan penuh antusiasme pada waktu-waktu pertama, dan sesudah itu hilang tidak berbekas?

Dua minggu berlalu sudah. Aku melibatkan diri dalam sebuah upaya kecil untuk Prodi PBI USD: menulis proposal Hibah INHERENT K-1. Isinya sederhana: mengajukan proposal untuk mendapatkan pendanaan pengembangan modul pembelajaran berbasis digital. Tidak banyak memang untuk ukuran sebuah Hibah. Namun, kalau memang mendapatkan pendanaan, ini akan mengubah berbagai hal yang fundamental di Prodi. Sudah terlalu banyak contoh. Fakultas Farmasi USD sebelumnya mendapat nilai C untuk akreditasi. Setelah mendapatkan Hibah A-1 (kalau tidak salah kurang dari 300 jt), ada perubahan besar di dalamnya. Akreditasi langsung jadi A. Dosen-dosennya terbiasa bekerja keras. Ada skema external accountability yang menjadi parameter untuk peningkatan kinerja seluruh pihak terkait. Hibah A-3 yang mengucurkan dana lebih dari 2 M rupiah untuk prodi itu semakin menegaskan membaiknya kinerja Fakultas Farmasi. Jangan heran, fakultas itu berubah menjadi sebuah institusi yang sangat kuat baik dalam hal sumber daya manusia dan fasilitasnya. Para dosennya cenderung bisa bekerja lebih 'cak-cek'. Coba apa yang terjadi dengan prodi-prodi yang belum pernah mendapatkan hibah?

Tradisi 'ngobrol' sana-sini, kelihatan sibuk dan tidak menghasilkan sesuatu yang produktif menjadi ciri khas utama. Gesekan-gesekan yang terjadi cenderung emosional. Identitas diri masih dicari-cari, karena hati mudah terluka akibat ucapan-ucapan yang ditanggapi dengan sensitivitas yang berlebihan.

Sementara, adanya hibah yang memaksa sejumlah pihak di dalamnya untuk bekerja kolaboratif, mau tidak mau membuat orang untuk berpikir strategis. Mereka terbiasa untuk membuka diri dan bekerja sama. Para dosen di dalamnya tidak punya pilihan lain kecuali menyelesaikan serangkaian proyek yang diukur melalui parameter yang pasti. Tidak ada waktu untuk sakit hati kalau ada perbedaan pendapat dan perbedaan pandangan.

Itulah yang aku impikan. Semoga, Hibah K-1 yang kami ajukan kali ini benar-benar menjadi anugerah untuk meningkatkan kinerja Prodi PBI yang sebenarnya merupakan salah satu prodi paling potensial dalam hal sumber daya dan tradisi yang kuat. Aku tentu saja tidak akan terlalu banyak menikmati perbaikan yang akan muncul karenanya. Karena toh aku akan meninggalkan prodi PBI ini. Sepulang dari studi lanjut nantinya, aku harus bekerja di bidang lain ... Jadi motivasi utama yang mendorongku adalah: sebuah mimpi untuk menanam benih semangat kolaboratif. Semangat yang tidak bisa digantikan oleh apapun ...