Saturday, May 31, 2008

Saya temukan diri saya bermakna ketika menulis

Orang pada hakekatnya beragam dalam cara pandang, bentuk fisik, tingkat kesehatan, latar belakang, dan nasib. Itu bukan hal yang perlu dipersoalkan. Namun pertanyaan mengenai apa yang membuat seseorang lebih berhasil dibandingkan dengan orang lain tetap saja menarik untuk diajukan. Ada orang yang memiliki ketenangan luar biasa dalam menjalani hidup, sekalipun dihadapkan dengan berbagai macam tugas dan tanggung jawab. Dengan kepala dingin, hati penuh rasa percaya diri, langkah kaki ringan namun tidak tergesa dia menangani satu-persatu persoalan yang datang silih berganti. Sementara, orang-orang lain sudah kebingungan yang bahkan tidak seberat yang dihadapinya, dia tetap mampu tampil elegan, bahkan dengan ide-ide segar yang mengejutkan.

Harus kita akui, gambaran sosok seperti di atas lebih pantas disebut sebagai sebuah perkecualian. Dia tidak mewakili gambaran dan realitas normatif dalam begitu banyak orang yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan lebih lanjut tentu saja adalah: apa yang membedakan sosok tenang, kompeten, dan sekaligus strategis ini?

Perkembang-tumbuhan sosok pemimpin yang bisa membawa serta perubahan sangat ditentukan oleh banyak faktor. Tidak sedikit bahwa para pemimpin besar yang berhasil memang telah semenjak kecil dilibat-kenalkan dalam peran-peran kepemimpinan di sekeliling mereka. Dengan melihat peran orang tuanya yang aktif dalam kegiatan di kampung atau kegiatan keagamaan tertentu, anak belajar peran-peran kepemimpinan secara langsung. Anak-anak usia yang lebih tua di sekolah cenderung diberi tanggung jawab sebagai ketua kelas karena kematangan usia dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Ini juga menjadi pengalaman pertama dalam peran-peran kepemimpinan.

Faktor lain yang ikut berperan dalam menentukan perkembangan kepemimpinan juga bisa berangkat dari semangat untuk berprestasi. Memang, dalam masyarakat kita, istilah ‘ambisius’ dimengerti secara terbatas, identik dengan kecenderungan egoisme. Namun, sosok yang memiliki aspirasi besar untuk menjadi pemimpin tidak bisa dipisahkan dari ambisi besar untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang di sekitarnya. Orang-orang dengan ambisi untuk berpengaruh ini sering menjadi magnet bagi orang-orang disekitarnya dan menjadi “penentu arah angin”, bukannya sebagai “bendera” yang patuh pada arah mana angin berhembus.

Studi mengenai kepemimpinan memang bermuara pada pemahaman bahwa kepemimpinan adalah wilayah yang sangat rumit untuk dikaji, karena di dalamnya terlibat beragam macam aspek. Pengalaman dari keluarga di masa kecil, pengalaman menduduki peran-peran kepemimpinan di masa muda, dan cita-cita dasar dari dalam diri seseorang yang menggebu. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah gabungan antara “bakat, seni, dan sekaligus ilmu”. Sosok kepempinan memang menuntut bakat dari dalam diri seseorang, karena sikap dasar orang yang berani mengambil resiko tidak bisa semata-mata dilatihkan. Seseorang harus secara bawaan memiliki ‘bakat untuk berani tampil beda, sekalipun orang-orang di sekelilingnya memandangnya dengan sinisme dan ketidakpedulian.’

Kepemimpinan sebagai ‘seni dan ilmu’ mengacu pada kenyataan bahwa sebenarnya bekal bakat saja tidaklah mencukupi. Perlu adanya ruang gerak dan kesempatan bagi sang calon pemimpin ini untuk berinteraksi dengan pengalaman-pengalaman nyata. Baik ‘seni dan ilmu’ sama-sama bisa dipelajari. Artinya, seorang calon pemimpin juga harus mendapatkan pelatihan yang memadai. Ada serangkaian ‘rahasia’ yang bisa diajarkan untuk membujuk dan menggerakkan orang. Ada sisi-sisi teknikalitas yang bisa dikuasai dengan lebih cepat dengan diskusi, membaca, dan berdebat yang dihadirkan melalui kelas-kelas mengenai kepempimpinan. Orang yang sama barangkali membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mendapatkannya secara langsung dari pengalaman nyata.

Salah satu aspek yang paling penting dari sosok kepemimpinan barangkali muncul dari cita-cita dasar yang menggerakkannya untuk melakukan banyak hal. Cita-cita dasar yang kuat, yang pada proses pembentukannya selalu mendapatkan berbagai macam hambatan, tantangan dan kesulitan, baru akan menemukan momentum untuk bertumbuh secara subur bila sang pemimpin itu sendiri selalu memiliki energi lebih untuk selalu belajar. Belajar dan belajar dari berbagai macam fenomena dan pengalaman hidup yang dihadapi. Ini sisi spiritualitasnya. Sosok yang mampu belajar secara berkelanjutan memiliki kemampuan untuk mundur satu atau dua langkah, berhenti sejenak untuk memberi makna terhadap berbagai macam pengalaman yang dia alami, dan kemudian membuat lompatan besar ke depan. Tidak heran bahwa sosok macam ini selalu dikenal dengan letupan-letupan (walaupun barangkali tidak terlalu kentara seiring dengan pertambahan usia) emosi dan semangat untuk berbagi. Orang macam ini tidak memiliki rasa lelah untuk berinteraksi dengan orang lain, memiliki antusiasme yang mengagumkan untuk mendengarkan orang-orang di sekelilingnya. Dia selalu mampu menebarkan hawa optimisme bahkan ketika banyak hal terasa tidak mendukung. Di sini, spiritualitas yang mendasarinya membentuk mentalitas untuk tetap mampu menjalani hidup sekalipun tidak ada kejelasan dalam hidup ini.

Menulis adalah salah satu cara jitu untuk berinteraksi dengan diri saya. Menulis adalah kesempatan ketika saya bisa bertemu, berbicara, bernegosiasi, dan bahkan berkonflik dengan diri saya. Echart Tolle menyebut suatu contoh yang unik: “Sering kita bergumam kepada diri kita: kamu bisa kalau kami melakukannya dengan benar.” Kata-kata itu kita ajukan kepada diri kita sendiri seakan-akan kita membuat pemisahan diri kita dalam dua sosok yang berbeda. Hal ini mau menunjukkan bahwa sebenarnya ada aspek ‘ego’ – suatu rangkaian penilaian tidak sadar yang sering menentukan berbagai kecenderungan yang kita miliki – yang sangat kuat dan membuat kita seperti ini adanya. Di samping sosok ‘ego’, dalam diri kita ada ‘true-self’ – diri kita yang sesungguhnya. Keduanya sulit dipisahkan, namun ketika kesadaran kita akan hidup ini mencapai titik kepenuhannya, kita tidak akan kesulitan membedakan apakah suara yang keluar dari diri kita adalah ego atau true-self itu sendiri.

Menulis merupakan wahana bagi diri saya untuk mempertemukan dua sosok tersebut. sejauh ini menulis menjadi teman yang paling setia, menjadi penengah atas kedua sosok tersebut. Terus terang saja, ketika proses menulis telah menjadi bagian tidak terpisahkan, true-self menjadi tampak lebih jelas suaranya. Ini terjadi ketika dihadapkan pada suatu persoalan emosional – misalnya ada seorang mahasiswa yang secara langsung mengkritik saya di depan umum. Saya mau tidak mau harus menentukan sikap. Ego saya akan memberontak, dan tidak menerima pelecehan macam ini. Ego saya pasti akan mendorong saya untuk mengingat-ingat mahasiswa itu. Tidak hanya namanya yang harus diingat, tetapi juga nomor mahasiswanya sekalian. Agar ketika masa penilaian tiba, dengan mudah saya akan menjatuhkan pembalasan dengan tidak meluluskannya. Nilai E atau F adalah bentuk pembalasan yang paling setimpal. Itulah sang ego.

True-self mengajariku untuk berpikir kritis. Marah atas pelecehan tidak salah. Namun, membalas dendam dengan menggunakan kekuasaan adalah hal yang tidak bisa diterima. Itu merupakan kehinaan yang teramat sangat untuk ukuran seorang dosen. Itu suara true-self. Dia mengajari saya untuk tidak mudah sakit hati, tidak mudah runtuh oleh ratap dan tangis berkepanjangan ketika ada kedukaan yang menimpa. Dan true-self juga mengajarkan diri saya untuk tidak menyalahkan soal ujian yang sulit. True-self mengajarkan diri saya untuk menerima kekalahan dengan gentle. Bahkan, ketika nilai hasil akhir dari suatu mata Matakuliah jelekpun, true-self mengajari saya untuk berpikir positif. Menyadari kekonyolan dan kesalahan karena tidak jauh-jauh hari belajar.

Menulis menjadi kekuatan yang luar biasa besar dalam menciptakan suasana nyaman dalam hati, karena dua aspek di dalam diri saya menjadi lebih mudah berdamai bahkan dalam suasana yang tidak menguntungkan sekalipun. Keterampilan menulis memang berperan sebagai sasaran akhir sekaligus sebagai alat untuk mencapai sasaran akhir yang kita cita-citakan. Di situ ada refleksi. Di situ ada kesediaan untuk menilai dan mengukur diri sendiri. Di situ ada tawa lepas … tawa atas kekonyolan diri sendiri. Dari sanalah muncul api yang menyala-nyala dan menerangi sekeliling saya … menjadi magnet yang menarik gelombang-gelombang kebaikan di antara orang-orang …

No comments: