Friday, October 26, 2007

Memang, menghakimi lebih mudah daripada memahami

Menurutku, judul skripsi dari salah seorang mahasiswa yang mau maju pendadaran skripsi bulan Oktober ini cukup unik. Aku sendiri lupa dengan formulasi detailnya, namun secara umum seperti ini … developing a set of instructional materials … to teach life values … bla bla bla … Uniknya, bila aku merasa tertantang dengan judul yang “berani dan khas” macam itu, justru wacana komunitas dalam sebuah Ruang Dosen di sebuah Prodi yang “hebat” sebaliknya. “Ini ngapain sih anak … kok gaya-gaya dengan judul yang aneh-aneh. Sok-sokan melulu. Anak-anak sekarang ini aneh-aneh saja.” Intinya, si anak dinilai salah karena ngowahi padatan – menghancurkan tradisi. Kreativitas adalah dosa. Komentar yang miring, dan bahkan ditelingaku sangat miring. Tidak adil. Aku merasakan lidahku terasa kelu. Ludah terasa getir. Dan aku merasa tidak berdaya. Diam. Membisu. Apalagi suara-suara yang lain, dengan nada yang beragam, menimpali. Ada yang sangat menyetujui dengan pendapat yang dilontarkan. Ada yang mencoba menetralisir. Namun, bagiku sama saja.

Bung, dunia memang sudah berubah!
Benar. Perlu kejujuran dan keberanian untuk mengakui bahwa dunia sudah berubah. Anak-anak tumbuh dengan kecepatan yang jauh lebih cepat daripada yang kita duga. Nutrisi yang jauh lebih bermutu membuat pertumbuhan fisik mereka lebih cepat. Siklus menstruasi sudah menyambangi anak-anak perempuan di SD. Juga pola relasi antar manusia. Sekarang ini semangat egalitarian jauh lebih berterima. Relasi bos dan anak buah tidak “saklek” instruktif semata. Ada komunikasi, negosiasi, dan upaya saling memahami. Bukannya mempertahankan posisi bos sebagai sosok tak tersentuh (intangible). Dengan segala keputusan yang tidak bisa salah!

Harus diakui, gerakan dan semangat egalitarian itu sudah menyelinap ke mana-mana. Tidak hanya di tempat kerja. Namun juga di rumah. Di sekolah. Di ruang kelas. Dalam kondisi macam ini, timbul pertanyaan menarik. Seberapa mampu kita menangkap nuansa jaman yang sedang bergerak ini? Akankah kita gagal membaca tanda-tanda jaman yang sudah berubah ini? Kegagalan ditandai dengan ketidakmampuan memaknai perubahan. Kegagalan muncul dalam kebiasaan memandang hal yang ada dari sudut pandang negatif. Kegagalan berkembang pesat ketika seluruh wacana komunitas tidak kritis, hanya sekedar ingin aman dan tidak berani mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kegagalan akan menjadi nasib buruk bila kita senantiasa memandang bahwa sesuatu yang datang dari orang-orang yang lebih muda harus selalu dikritisi habis-habisan.

Butuh usaha bersama
Dari situative perspective yang muncul dari karya Vygotsky pada tahun 1930-an, diyakini bahwa kemampuan dan kemajuan dalam hal berpikir, memahami persoalan, mencari pemecahan atas persoalan yang dihadapi, dan menyikapi terhadai hasil proses tersebut, sangat ditentukan oleh wacana komunitas. Secara sederhana, bila wacana komunitas lebih menyukai gosip-gosip slapstick gaya tayangan liputan selebritis, pada tingkat itu pula lah kemampuan berpikir kita berkembang. Sebaliknya, bila wacana komunitas lebih menyukai perkembangan dan hal-hal positif lainnya, kemampuan kognisi kita pun juga berorientasi ke sana.

Hidup adalah pilihan. Begitu orang bijak bilang. Tidak salah memang, karena kita memiliki kebebasan untuk bersikap dalam kondisi apapun yang kita hadapi. Seperti apa sikap yang mau kita ambil dalam peningkatan profesionalisme sebagai guru? McLaughlin and Talbert (1994) mengajarkan setidaknya tiga aspek yang mestinya akan berkembang dalam lingkup komunitas profesional. Kita diharapkan mengembangkan ketrampilan technical culture. Itu artinya kita memiliki kemampuan untuk menjalankan hal-hal teknis yang rutin dalam mengajar. Bisa membuat perencanaan yang baik. Bisa menjalankan proses pembelajaran yang memadai. Bisa mengadakan evaluasi belajar yang tepat dan memberikan umpan balik (koreksi) tepat waktu. Hal berikutnya, dan ini yang paling sulit, adalah kemampuan dan keberanian untuk mengembangkan service ethics. Ada dua aspek yang perlu diangkat di sini, yaitu high expectations dan care. Artinya apa? Dari dalam diri kita, kita sudah meyakini bahwa anak didik kita memiliki potensi dan kemungkinan untuk berkembang. Potensi dan kemungkinan itu baru bisa menemukan titik-titik kepenuhannya bila kita betul-betul care. Memiliki semangat untuk memahami mereka Dengan segala kerendahan hati mendengarkan apapun yang mereka hadapi dan kesulitan yang menghambat mereka. Sejelek apapun mereka, mereka tetap sosok-sosok yang tidak sepantasnya dipandang rendah. Dan ini letak kesulitannya, karena ini mengandaikan perubahan paradigma hidup.

Dampak dari aspek kedua ini jelas. Kita tidak selayaknya membentak-bentak siswa seakan-akan kita adalah dewa yang paling benar sendiri. Kalaupun ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita, mengapa tidak membuka forum komunikasi? Akan jauh lebih bijaksana bila kita bisa menerapkan pola komunikasi interaktif. Tidak mudah, dan banyak dari kita akan dengan segera mengesampingkan rekomendasi ini. Namun, bagiku, tidak ada alasan sedikitpun untuk menolak ide ini. Menghargai harkat dan martabat manusia atau nguwongke orang lain adalah salah satu credo yang membuat alasan bagiku untuk selalu berjuang terus.

Hal ketiga yang ditawarkan oleh McLaughlin dan Talbert (1994) adalah profesional growth. Ini bukan hal yang terlalu sulit, karena kita sudah melakukannya. Makin banyak dosen yang mengadakan penelitian. Dengan difasilitasi dengan laptop dan ketersediaan jaringan teknologi informasi, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak meningkatkan kualitas kita sebagai dosen.
Sekali lagi, pilihan mana yang kita mau ambil? Pilihan yang mengedepankan hal-hal positif, bersifat substansial dan menentukan arah perkembangan kita dalam menciptakan masyarakat yang lebih menghargai, menghormati perbedaan, dan mendorong kemajuan? Atau sebaliknya, pilihan yang mengedepankan hal-hal sensasional, yang sekedar menyenangkan hati ini sesaat, yang justru tidak mendorong daya kritis kita berkembang pesat?

Untuk satu hal, aku berseberangan dengan Alm. Riswandha Imawan, seorang profesor progresif dari UGM yang meninggal pada usia muda. Eagles fly alone. Begitu slogannya. Aku tidak setuju. Itu seruan elitis. Diasumsikan bahwa hanya ada sedikit orang yang layak untuk maju dan berkembang. Sebaliknya, kita harus menciptakan lingkup kerja yang dinamis, yang memungkinkan siapapun merasa nyaman untuk maju. Sekalipun yang dibuatnya berbeda, kita toh tetap harus menerima perbedaan sebagai berkat, bukan musibah dan ancaman.

Kejamnya rumah sakit

18 Oktober 2007
Akhirnya satu potong drama dalam kehidupan kami berakhir. Hari Minggu, 15 Oktober 2007 siang – begitu Rio kencing bercampur darah – hati kami terasa tercabik-cabik. Suara Rio yang biasanya ringan penuh canda-tawa-ria, tiba-tiba bergetar penuh kesakitan. Satu dua tetes kencing campur darah masih terlihat. Aku peluk dia penuh rasa sayang. Hatiku teriris oleh tangis kesakitan dan degup jantungnya yang berdetak begitu cepat.
Drama masih berlanjut. Kami membawa Rio ke rumah sakit swasta ternama di kotaku. Harus aku akui, aku buta sama sekali dengan urusan kesehatan. Dan kebutaan tersebut tidak memungkinkan aku tetap kritis dalam memahami persoalan. Oleh karena itu, kehadiran seorang teman yang kebetulan adalah seorang paramedis dari sebuah rumah sakit pemerintah di Semarang sangat membantu. Dia dengan setia menemani kami yang kebingungan.
Pihak RS memberi informasi yang jelas. Anak kami harus diopname. Pada hari kedua Lebaran, tidak ada dokter ahli bedah yang stand by. Yang memberi rekomendasi dokter umum yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, Rio kami bawa pulang – dengan resiko apapun yang bisa terjadi. Alasannya jelas, dengan diopname pun, Rio tidak dengan sendirinya sembuh. Artinya, opname pun sekedar bobok manis, tanpa ada tindakan khusus untuk penyembuhan. Dan sekalipun ada, itu tidak lain hanya sekedar mengurangi rasa sakit. Operasinya saja baru bisa hari Selasa jam 2 siang. Itu artinya bahwa kami harus menginap di RS selama dua hari.
Selain itu, alah mak … kami terkesiap dengan prakiraan biaya yang harus ditanggung. Untuk operasi saja diperkirakan sampai mencapai Rp. 6.500.000,- untuk kelas 1 dan utama. Untuk kelas II biaya turun satu juta rupiah. Belum lagi biaya inapnya yang mencapai minimal Rp. 155.000/hari. Untuk kelas I, biayanya pun menjerat leher: Rp. 400.000,-/hari. Masih ditambah lagi biaya perawatan, laborat dan beban psikis yang harus kami tanggung.
Hati kecil ku menjerit. Kenapa begitu mahal? Tapi dengan cepat aku mencoba untuk mencari jawaban. Sekilas, aku teringat beberapa waktu lalu ada buku nakal yang ditulis oleh seorang yang sangat gerah melihat praktek-praktek kesehatan di negeri ini. Kalau tidak salah judulnya Orang Miskin Dilarang Sakit. Barangkali aku memang perlu membaca buku itu.
Pikiranku melayang bebas. Bagaimanapun juga, dengan gaji terpotong sampai 60% untuk cicilan rumah, kami mau tidak mau harus hidup dengan sangat hemat. Semua pengeluaran harus diperhitungkan. Kebutuhan-kebutuhan sosial yang tidak jarang cukup besar memang tidak bisa dihindari. Namun untuk kebutuhan dasar, kami memang mencoba untuk mengencangkan ikat pinggang. Gaji yang aku peroleh hanya cukup untuk tiap bulannya. Itupun dengan hampir tidak ada simpanan sama sekali. Apalagi, mulai bulan September lalu, kami memutuskan untuk mengikuti program asuransi. Jadi, gaji memang menjadi terlalu kecil untuk dipakai memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Memang, untuk satu hal, kami sudah cukup aman. Rumah yang kami punyai sudah lebih dari cukup. Dengan luas areal tanah mencapai 300 m2 dan sekitar 140m2 luas bangunannya, kami sudah cukup nyaman. Dan itulah yang membuat kami merasa aman. Bagaimanapun juga, dengan hasil gaji yang kecil, kami sudah tinggal di rumah sendiri. Sekalipun kami harus mencicil pinjaman dari Bank untuk melunasi hutang pembuatan rumah kami, kami pun sudah siap dengan resiko hidup sederhana.
Namun, sakitnya anak tentu tidak masuk skenario. Apalagi setelah membuat kalkulasi singkat bila Rio sampai tiga hari menginap di RS, angka yang muncul memang membuatku terperangah. Minimal Rp. 10 juta. Aku tidak habis pikir. Harus aku akui, aku masih punya uang sejumlah itu. Tabungan khusus yang aku sisihkan secara khusus untuk istri cukup. Bahkan aku masih menyimpan uang US$ 1.400,-. Tapi itu untuk jaga-jaga ketika aku pergi sekolah lagi nantinya. Bukan untuk hal mendadak seperti ini.
Dalam kebingungan tanpa batas, dan juga keprihatinan atas tidak adilnya dunia terutama dalam kaitannya dengan urusan kesehatan macam ini, akhirnya aku mengontak kakak ipar istriku yang bekerja di salah satu RS pemerintah. Terus terang saja, kami sudah merasa was-was bahkan ketika mendengar nama RS itu disebut. Begitu banyak cerita menyeramkan dari sosok RS pemerintah. Entah itu menyangkut dengan kebersihan bangsal, kinerja para dokter mudanya yang belum tentu berpengalaman, pelayanan yang sangat birokratis-rumit-dan tidak ramah. Ada berjibun alasan untuk mengatakan tidak. Namun, angka rupiah yang harus kami tanggung di salah satu RS swasta tersebut membuat kami memberanikan diri untuk mengadu nasib ke RS pemerintah.
Dan memang itulah yang kami lakukan. Apakah hasilnya lebih baik? Tentu terlalu dini untuk menjawab itu semua. Yang jelas, dari perhitungan matematis finansial, hasilnya jauh lebih memuaskan. Kami harus membayar Rp. 2,080.000,- untuk total pengobatan. Angka itu “hanya” 20% dari jumlah keseluruhan yang diasumsikan harus kami bayar di sebuah RS swasta ternama tersebut.
Untuk satu hal kami sudah bisa bernapas lega. Satu urusan selesai. Rio kami bawa pulang begitu dampak anestesinya sudah beranjak pergi darinya . Dengan ditemani Gun dan Lian, kami susuri jalan beraspal pinggir selokan. Rio tampak begitu lemah di pangkuan mamanya. Aku pun tidak punya alasan untuk terburu-buru. Waktunya yang tersedia cukup panjang. Jam 2 siang, hari Rabu, 17 Oktober 2007, kami meninggalkan RS. Sementara aku akan ada kelas jam 4 sore. Masih cukup waktu. Sengaja kami tidak memakai taksi, karena toh jalanan lebih banyak macetnya. Mudik Lebaran masih memadati jalanan. Selain memang tidak ada harga yang murah untuk segala jenis pelayanan, termasuk taksi.
Untuk hal lain, aku masih terbebani. Bayangan keprihatinan seorang penulis Orang Miskin Dilarang Sakit betul-betul aku rasakan. Aku merasa malu. Kenapa aku baru berempati begitu mengalaminya? Aku menyadari kebodohan diriku sebagai manusia yang lebih sering memakai “proximity reasons” untuk menjelaskan berbagai fenomena dalam hidup. Bila terjadi bencana di suatu tempat yang jauh, ada kecenderungan untuk membela diri, “Ah bencananya kan tidak di sini. Kenapa harus begitu peduli.” Dan bila bencananya terjadi di dekat kita, ada kecenderungan untuk berkilah, “Bencana itu kan tidak terjadi pada keluarga kami. Itu kan orang lain.”
Ini lah realitas dalam hidup. Teman paramedis yang dengan setia menunggui kami dalam proses pemeriksaan hari Minggu sore di Instalasi Gawat Darurat itu sempat mengeluarkan pernyataan ironis. “Dokter yang jadi bosku itu,” begitu katanya pada istriku, “mendapat bonus Rp. 25 juta/bulan dari berbagai “deal-deal” seperti resep-resep dan lain-lainya. Bonus itu artinya uang di luar gaji lho.” Dia juga sempat tersenyum pahit menertawakan dirinya karena dia juga bukan seorang malaikat yang selalu bersih. Karena bagaimanapun juga dia ikut “kecipratan” rejeki dengan bekerja di sebuah RS pemerintah di Semarang. Ada sejumlah uang “haram” yang dia peroleh tiap bulannya di luar gajinya. Bagaimanapun juga dia ikut dalam sistem yang tidak bisa ditentangnya. Dia mau tidak mau ikut membesarkan suatu praktek “pemerasan” terhadap orang-orang yang miskin tersebut.
Yah, dalam permenunganku ini, barangkali yang paling tepat untuk menggambarkan hidup kita sebagai manusia adalah seperti ini: kita masuk ke dalam lingkaran permainan. Permainan macam apa yang hendak kita ikuti? Aku sendiri sudah merasa “diplot” untuk ikut permainan di sebuah institusi pendidikan tinggi swasta. Dari kecil aku dididik dengan keras, dan diajari untuk lebih menghargai kerja keras daripada sejumlah uang yang aku peroleh. Selain itu, dengan dibesarkan di daerah pegunungan, pekerjaan fisik pun juga bukan suatu hal yang layak untuk dihindari. Ngepel, nyuci, dan membersihkan rumah sendiri – untuk family welfare – bukanlah hal yang berat untuk dilakukan. Aku belum merasa perlu punya pembantu dan mesin cuci. Kami masih bisa melakukannya sendiri.
Orang lain barangkali “diplot” untuk mengikuti pola kehidupan yang lain. Orang tua yang memiliki ambisi luar biasa. Mendidik anaknya untuk kerja keras. Menilai keberhasilan hidup dari hal-hal yang terukur, entah itu dalam jumlah gaji besar ataupun hal-hal yang bisa terraba (tangible) seperti properti atau kendaraan. Dikirimkan ke sekolah kedokteran dengan biaya yang teramat sangat besar. Pendidikan kedokteran adalah investasi besar. Dan karena investasinya besar, oleh karena itu perolehannya pun juga besar. Atau lebih pasti lagi: karena investasinya besar, oleh karena itu perolehannya pun juga HARUS lebih besar. Dengan demikian, apapun kenyataannya, hasilnya pun juga HARUS besar. Apakah itu merupakan suatu kebenaran umum? Entahlah. Namun, yang terjadi sekarang ini, pelayanan kesehatan benar-benar mencekik dan tidak bisa diterima dengan akal sehat!
Apakah bidang kesehatan bisa dikatakan sebagai sebuah mafia? Entahlah. Aku sendiri tidak berani melabelinya dengan istilah itu. Namun, realitasnya barangkali memang demikian. Aku sendiri, sebagai orang yang pernah hidup di negeri orang dan mencicipi pendidikan tinggi yang lumayan prestisius, tetaplah orang bodoh ketika harus berurusan dengan masalah kesehatan. Nah, kami-kami yang bodoh ini menjadi sasaran empuk dari sistem yang ada. Alasannya sederhana: kami tidak punya nilai tawar. Kami tidak punya pengetahuan yang memadai untuk membuat posisi kami lebih kuat. Jadi, tidak ada salahnya sebenarnya kalau kami selalu dikadali.
Namun, tentu tidak adil juga menghakimi posisi dokter. Posisi seorang dokter tidaklah terlalu istimewa dalam sistem yang tidak adil ini. Dia hanya satu sekrup dari mekanisme “assembly line” yang ada dalam sistem pengobatan. Dia dipakai sebagai alat yang paling mujarab untuk promosi dan penjualan produk-produk obat dari berjibun pabrik obat yang dengan rakusnya ingin mengeruk keuntungan. Mereka saling bersaing, bahkan barangkali saling sikut-menyikut bila diperlukan. Dokter dimanja dengan berbagai bonus bila mampu memasarkan produk-produk yang mereka hasilkan. Dilihat dari satu sisi ini, dokter tampak justru sebagai korban. Korban sistem yang tidak adil.
Cukup menarik ketika seorang mahasiswa Extension Course berkomentar dengan cerita ku ini. Seorang temannya yang jadi dokter memilih untuk tidak jadi korban dari sistem ini. Setiap kali merekomendasikan obat, dia selalu membuka konsultasi tentang berbagai kemungkinan. Dan dia tidak mau menerima tips secara berlebihan dan tidak adil ini. Dia sangat paham betul tentang politik kadal-kadalan yang dibuat oleh sistem kesehatan ini. Namun, suara hati nurani yang kecil benar-benar dia dengarkan. Suara itu tidak lagi kecil, karena selalu mengingatkan dia untuk memiliki empati dengan orang lain, terutama dengan mereka yang sakit. Empati yang datang bukan semata-mata karena “proximity reasons”. Tetapi lebih dari kemurnian hati. Dari kesediaan hati untuk mendengarkan orang lain.
Masih adakah hati untuk mendengarkan keluhan orang lain? Tanyakan pada Ebiet G. Ade, dan dia akan menyuruh kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Dan dunia ini tidak cukup memberi makan untuk seluruh umat manusia, karena ada begitu orang yang mengambil lebih dari jatah yang semestinya cukup untuk diri mereka. Begitu Mahatma Gandhi mengingatkan kita. Bersediakah kita mendengarkan?

Pergulatan mencari makna hidup

Belajar dengan sepenuh hati
Berbagi dengan suka cita
Beraksi dengan berani

Hidup tidak lebih dari upaya mencari makna dan jati diri (struggle for existence). Apa yang terjadi pada hari ini bukanlah sekedar kebetulan, karena semua hal di dunia memiliki masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Beragam pengalaman hidup yang telah membentuk diri kita telah menciptakan pola pikir, pola bertindak, dan strategi pemecahan persoalan yang kita hadapi. Dampaknya nyata. Pengalaman yang dialami secara bersama-sama bisa bermakna sangat berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Tidak lain dan tidak bukan, hal itu disebabkan karena keunikan diri kita yang telah membuat kita memiliki pola yang khas dan unik.

Keterlibatan kita dalam the Indonesia Secondary Education Development Program (ISEDP) pun juga bisa dimaknai dalam perspektif macam ini. Dalam sejarah hidup masing-masing individu yang terlibat dalam program ini, pasti sudah ada potongan-potongan (snapshots) pengalaman yang bila dilihat secara reflektif, akan menampilkan mosaik yang menggambarkan alasan keterlibatan kita dalam program ini.

Tidak mudah memang mereka-reka serpihan demi serpihan pengalaman kecil untuk membentuk satu mosaik yang layak untuk dinikmati. Diperlukan keberanian dan kejujuran – yang kadang terlalu mahal harganya – untuk mengakui kedirian kita apa adanya. Dan dalam tulisan ini, saya mencoba menguraikannya melalui berbagai pengalaman yang saya coba maknai dari perspektif pengalaman pribadi. Apapun nada yang terdengar dari uraian pengalaman personal ini, entah itu sumbang atau tidak terlalu nyaman untuk dinikmati, saya harap itu diterima sebagai realitas faktual. Di sini, saya mencoba untuk jujur pada diri sendiri. Saya tidak memungkiri kemungkinan interpretasi apapun karena pengalaman yang terdengar terlalu personal ini. Namun tidakkah banyak perubahan besar dalam sejarah di dunia justru muncul dan diperkuat dari naratif personal macam ini? Tulisan pribadi yang sangat personal dari seorang budak pelarian Frederick Douglas pada awal Abad XIX di Amerika Serikat telah memfasilitasi gerakan penghapusan perbudakan Kulit Hitam di Amerika Serikat.

***

Tahun 1994, sewaktu kaki ini pertama kali menginjak wilayah Universitas Sanata Dharma (USD), api di dada meletup-letup hebat. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dan satu-satunya yang mendapat kesempatan meraih gelar S1, saya akan belajar bahasa Inggris – di salah satu tempat “terhebat” untuk mengasah keterampilan dan pengetahuan Bahasa Inggris. Untuk apa? Saya tidak berani mengatakan mau menjadi guru, sekalipun saya sendiri sengaja mengambil Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Alasannya sederhana, PBI USD merupakan tempat terbaik untuk belajar Bahasa Inggris yang pernah saya dengar. Selain itu, saya tidak yakin apakah profesi mengajar memang sesuai dengan ciri khas, aspirasi, semangat, dan juga cita-cita hidup saya. Tentu, motivasi yang paling besar adalah keinginan untuk menguasai bahasa Inggris. Tidak lebih. Dan setelah itu, mau jadi apa, entahlah. Satu hal lain yang masih tersimpan di lubuk hati dalam-dalam, waktu itu saya sendiri ingin jadi wartawan, yang tulisannya banyak dan bisa membantu membuka mata publik terhadap berbagai persoalan hidup.

Namun, sejarah hidup membuktikan lain. Selama sembilan semester, saya selesaikan studi S1 di PBI. Tidak seideal dengan waktu yang saya bayangkan sebelumnya. Tapi hal yang sampai sekarang masih saya kenang, waktu itu pencapaian akademis jauh mengatasi apa yang semula saya targetkan di semester satu. Namun demikian, saya bukanlah sesosok kutu buku yang menutup diri dari interaksi dengan orang lain. Selama masa studi itu pula saya telah bergelut dengan berbagai pengalaman mengajar dan berinteraksi dengan orang lain. Pernah saya menjadi salah satu guru ekstrakurikuler di SMA I Teladan Jogja selama satu tahun (Semester 4 dan 5). Pernah juga terlibat dalam kegiatan English Action Days – satu kompetisi Bahasa Inggris tahunan yang diadakan untuk siswa-siswa SMA. Pernah juga menjadi koordinator tata tertib dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru (Semester 6). Pernah mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak SD Kanisius Demangan (Semester 7 dan 8). Pernah juga mengajar Bahasa Indonesia untuk orang-orang asing di sebuah lembaga bahasa di Demangan (Semester 8 dan 9). Di samping itu, sayapun juga sempat menerima terjemahan – suatu pekerjaan yang sangat menyita waktu, berat, dan kadang dengan bayaran jauh di bawah standar. Bahkan pernah seorang kolonel yang sedang kuliah S2 di salah satu universitas ternama di Jogja pergi dengan terjemahan satu bab dengan tidak membayar!

Berbagai pengalaman yang saya alami selama kuliah S1 telah mengajari saya untuk selalu siap untuk berubah dan diubah. Kapanpun, di manapun, dan dengan konsekuensi apapun, kerelaan untuk membantu, keterbukaan terhadap masukan, dan kesediaan untuk berkorban dan mengupayakan yang lebih baik menjadi agenda utama yang selalu menggerakkan saya. Dengan semangat itu pula, saya tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan hidup yang datang silih berganti.

Namun, jalan hidup tidak dengan sendirinya jelas begitu saya menyelesaikan studi. Berbekal beragam pengalaman di sana-sini dan juga cita-cita terpendam untuk menjadi wartawan, saya tidak memiliki rencana pasti ke mana langkah kaki ini hendak saya ayunkan. Sekalipun tawaran untuk menjadi staf pengajar di alma mater datang sebelum studi selesai, saya belum berani membuat keputusan yang pasti. Melihat kebimbangan macam ini, seperti biasanya, kata-kata lugas dari Bapak menampar kesadaran saya, “Tidak ada salahnya menjadi orang penuh syukur. Ketika banyak orang bingung mencari pekerjaan, kamu justru ditawari pekerjaan. Tidakkah itu rahmat yang sudah selayaknya disyukuri?” Pertanyaan retoris yang khas dari Bapak. Dia memang jarang menghendaki jawaban verbal dari anak-anaknya. Dia menghendaki diri saya untuk merenungkan pesannya.

Memang, Bapak selalu menggunakan kata-kata lugas. Apa adanya. Tanpa tedheng aling-aling. Tahun 1999, pengangguran merebak sebagai akibat krisis moneter yang membawa dampak tragis bagi jutaan penduduk Indonesia. Banyak yang kehilangan pekerjaan. Bahkan banyak dari orang-orang yang sudah cukup mapan harus kehilangan rumah dan tempat usaha mereka karena aksi anarkisme satu tahun sebelumnya. Trauma masih menjadi pengalaman nyata. Begitu banyak orang butuh pekerjaan, tetapi diri saya?

Jadilah saya seorang guru. Cita-cita untuk mengadu nasib menjadi seorang wartawan untuk sementara saya tinggalkan. Namun, menerima posisi guru sebagai profesi bukan berarti bahwa persoalan selesai. Selalu saja ada yang mengganjal. Dan kegalau-cemasan macam ini bukan tanpa alasan. Seperti yang dialami oleh siapapun yang memasuki dunia profesi keguruan, ada waktu-waktu ketidaknyamanan dan ketidakpastian yang saya rasakan. Bahkan, menurut penelitian, rata-rata para guru membutuhkan setidaknya enam tahun untuk menemukan cara terbaik untuk mengajar.

Dua tahun pertama mengajar di alma mater pun juga dipenuhi dengan ketidakpastian, ketidakyakinan, dan juga ketakut-raguan. Dalam kondisi rentan macam ini, tidak salah kalau saya pun sekedar melanjutkan tradisi yang saya lihat dan rasakan. Saya mengajar sesuai dengan cara dosen mengajar saya sebelumnya. Apa yang dikatakan baik dan diterima umum saya jalankan. Apa yang dianggap tidak baik pun saya hindari. Dengan kata lain, saya sendiri tidak lebih dari sekedar memfotokopi apa yang saya terima sebelumnya. Di situ belum ada tinjauan kritis. Hanya sekedar mekanis. Kapan harus membagikan silabus. Kapan ujian tengah semester. Kapan ujian akhir. Kapan nilai harus dikeluarkan. Semuanya serba mekanis. Disiplin keras saya jalankan. Tidak ada kompromi sama sekali. Mahasiswa PBI angkatan 1999 menjadi saksi hidup atas pengalaman mengajar saya pada semester pertama mereka. Mereka merasakan betapa disiplin-nan-kaku saya jalankan tanpa mengenal kompromi. Kelas menjadi tegang. Para mahasiswa tidak cukup menikmati proses pembelajaran.

Di waktu-waktu berikutnya, saya baru menyadari bahwa apa yang saya lakukan tersebut merupakan fenomena alamiah dalam lingkup pendidikan. Di mata para tokoh mazhab teori kritis seperti Foucault dan Bordieu, praktek pengajaran dan pembelajaran tanpa kesadaran dan tinjauan kritis dari pelaku pendidikan tersebut menjadi legitimasi terhadap berlangsungnya fenomena pendidikan sebagai reproduksi kultural. Pendidikan gagal mengemban misi sebagai agen perubahan, namun alat yang canggih untuk mempertahankan status quo.
Pada tataran praktis, saya sendiri tidak merasa nyaman dalam posisi saya sebagai seorang guru yang minim pengalaman. Saya merasa ada yang hilang. Untuk satu hal, dalam hati saya bertanya, “Layakkah seorang lulusan S1 mengajar mahasiswa-mahasiswa S1? Tidakkah itu berarti orang buta menuntun orang buta?” Saya merasa belum cukup bekal. Akhirnya, seperti orang-orang lain, saya pun mulai berjibaku mencari beasiswa untuk studi lanjut. Percobaan pertama tampaknya lancar. Lamaran yang saya ajukan ke Groningen Universiteit di Negeri Belanda langsung diterima. Hati ini berbunga-bunga. Namun, itu terbukti hanya menjadi kegembiraan semu dan terlalu dini. Ada e-mail yang masuk mailbox. Informasinya jelas. “Setelah dicek oleh NUFFIC (semacam lembaga penilai transkrip nilai di Belanda),” begitu penjelasannya, “dengan ini, pihak Universitas Groningen mencabut kembali keputusan penerimaan Anda di bidang Euroculture.” Mengecewakan. Namun saya tidak putus asa.
Tahun berikutnya, saya mencoba mengajukan lamaran beasiswa ke AUSAID – beasiswa yang disediakan oleh Pemerintah Australia. Tidak ada kabar sama sekali. Pada tahun yang sama pula, Rm. Paul Suparno, S.J., yang waktu itu masih menjabat sebagai dekan FKIP USD, mengundang beberapa dosen FKIP untuk mencoba melamar beasiswa dari Boston University. Bersama dua kolega yang lain, akhirnya saya mencobanya. Kali ini, Dewi Fortuna nampaknya sedang baik hati. Beasiswa dari keluarga Stephens tersedia untuk saya. Beasiswa untuk mengenang Kelly Elizabeth Stephens yang meninggal akibat kecelakaan ketika mendaki Gunung Anak Rakata di Selat Sunda itu sebelumnya telah diterima oleh dua senior saya dari USD. Pak Barli dari PBI dan Bu Wanti dari Pendidikan Matematika. Keduanya masih di Boston waktu saya tiba di sana. Tiga minggu sebelum peristiwa yang menggegerkan dunia, 11 September 2001, saya menginjakkan kaki di Boston.

Di sebuah universitas yang didirikan pada tahun 1839 ini, saya mengalami berbagai pengalaman unik yang pada gilirannya akan memoles diri saya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, saya merasakan seperti apa sesungguhnya sebuah kelas yang benar-benar mendorong perkembangan siswa-siswanya. Seorang profesor yang lebih layak disebut sebagai nenek begitu mudah memuji daripada menemukan kesalahan dari para mahasiswanya. Untuk pertama kalinya, saya merasa “merinding” karena sang profesor tersebut mengakui bahwa saya akan tumbuh menjadi seorang penulis yang baik nantinya. Dan itu dikatakannya di depan kelas! Saya merasa diuwongke.

Pencarian makna tidak pernah berakhir. Pengalaman diuwongke selama kuliah di negeri orang mengubah pandangan saya terhadap pola relasi yang semestinya terjalin antara dosen dan mahasiswanya. Memang, saya masih dikenal dengan tuntutan yang tinggi terhadap usaha dan komitmen mahasiswa dalam belajar. Saya pun tidak pernah menurunkan kualitas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dalam ujian pendadaran skripsi. Namun, saya berupaya keras untuk tidak menjatuhkan mental mahasiswa yang maju ujian skripsi. Saya belajar untuk menciptakan situasi yang nyaman, sehingga mahasiswa justru merasa bebas untuk berekspresi. Tanpa harus merasa tertekan karena terteror oleh situasi yang tidak nyaman. Saya lebih memilih untuk mendengarkan dan mengapresiasi apapun upaya yang dilakukan oleh mahasiswa. Ini merupakan hal yang tidak mudah, mengingat budaya kita justru mengajarkan kita untuk segera menemukan kekurangan daripada menghargai kebaikan – sekecil apapun bentuk kebaikan yang telah dilakukannya.

Dua tahun selesai studi lanjut, ada bonus pengalaman yang luar biasa. Saya mendapatkan kesempatan untuk belajar hal yang lain. Menjadi pejabat! Sungguh di luar dugaan. Saya belum pernah menduduki jabatan apapun, namun kemudian melompat untuk menduduki posisi sebagai Pembantu Dekan III di FKIP. Saya merasa beruntung bisa langsung belajar dari sosok Pak Sarkim yang di mata saya sangat komplet. Kemampuan, komitmen, tanggung jawab, dan energi yang seakan tidak ada habisnya berhasil mengubah citra FKIP yang tua menjadi segar, penuh vitalitas, dan juga kepercayaan diri. Kantor dekanat juga menjadi tempat yang nyaman dengan gelak tawa yang segar di sela-sela kesibukan dan berbagai macam tuntutan yang harus segera ditangani. Dua kolega yang lain, yaitu Pak Adimassana sebagai PD I dan Bu Retno Priyani sebagai PD II, adalah dua sosok yang selalu mengedepankan toleransi. Suasana kerja di sekretariat dekanat pun lebih bernuansa segar, bukannya dibatasi oleh sekat-sekat psikologis akibat relasi atasan-bawahan yang kaku.

Saya memang tidak terlalu lama duduk di kursi PD III, karena jabatan itu dihapus dengan diberlakukannya sistem baru. Namun, pengalaman bekerja selama kurang lebih 18 bulan di tingkat dekanat telah meninggalkan bekas yang luar biasa mendalam. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya berlatih untuk melihat persoalan dari sudut pandang yang lebih luas (helicopter view). Harus saya akui, ilmu linguistik terapan dan pengajaran Bahasa Inggris yang telah saya geluti selama ini memang dengan mudah menjebak saya ke dalam hal yang sangat-sangat detail. Tidak salah tentu saja, karena kemampuan dan keterampilan untuk memperhatikan hal-hal yang sangat mendasar itulah yang dibutuhkan untuk penguasaan Bahasa Inggris. Namun, hidup ini terlalu kompleks dan tidak bisa serta merta direduksi ke dalam satu area saja. Oleh karena itu, belajar untuk melihat persoalan secara lebih luas dan komprehensif wajib dilakukan untuk menjamin keseimbangan.

Waktu bergulir tanpa henti. Kehidupan pun mengalir. Pencarian makna hidup pun selalu saja menemukan ruang geraknya. Hampir empat tahun berlalu sesudah saya menyelesaikan program S2. Rupanya, waktu empat tahun mengajar telah memberikan berbagai pengalaman dan kepercayaan diri untuk mencoba peruntungan lain: studi doktoral. Saya sudah cukup meyakini tentang apa yang saya hendak pelajari untuk program doktoral. Di program S2 saya mengambil spesifikasi pengajaran keterampilan menulis. Di program Language, Literacy, and Cultural Studies, School of Education, Boston University, saya tahu bahwa keterampilan membaca (reading skills) telah mulai dipelajari sejak tahun 1890-an. Keterampilan menulis (writing skills) sendiri baru mulai dipelajari pada tahun 1970-an, bersamaan dengan keterampilan wicara (speaking skills). Sementara keterampilan menyimak (listening skills) sendiri merupakan bidang yang paling ketinggalan, karena baru mulai dipelajari pada pertengahan 1980-an. Baru ada sedikit peneliti yang secara khusus mengembangkan ilmu dalam bidang terakhir ini.

Setidaknya saya memiliki beberapa rancangan strategis yang hendak saya jalankan. Pertama, dengan belum berkembangnya penelitian dalam bidang keterampilan menyimak ini, saya memiliki peluang untuk mengeksplorasinya. Saya akan tumbuh menjadi ahli dalam bidang yang satu ini. Kedua, intuisi saya membuat saya percaya bahwa keterampilan menyimak memainkan peranan utama untuk peningkatan kualitas dan kompetensi guru. Ketiga, perkembangan teknologi informasi (TI) telah memungkinkan berbagai persoalan teknis dapat dipecahkan dengan cepat dan sederhana. Saya sudah memiliki koleksi lebih dari 15 gigabytes yang saya unduh dari internet untuk materi menyimak ini. Semuanya gratis! Mengubah audio files untuk disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa juga bukan perkara rumit. Pelatihan keterampilan menyimak pun tidak harus membutuhkan laboratorium bahasa yang lengkap, mahal, dan rumit. Dengan modal satu MP3 player yang harganya terjangkau saja, keterampilan ini sudah bisa dilatihkan. Keempat, konteks penelitian pun sudah saya identifikasi. Kerja sama FKIP USD dengan Pemerintah Kabupaten Belu menjadi jalan masuk. Saya sudah dua kali mendampingi guru-guru Bahasa Inggris di wilayah kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara termuda Timor-Timor ini. Strategi sudah mulai saya atur. Saya mulai mengenal wilayah itu. Saya mengenal para gurunya. Saya sempat berdiskusi dengan Bapak Bupati dan Wakil Bupati tentang berbagai kemungkinan pengembangan profesionalisme guru.

Persoalan klasik muncul di sini. Siapakah yang akan membiayai penelitian macam ini? Pihak Yayasan di mana saya bernaung tidak akan pernah memberi dukungan finansial bagi para dosennya untuk studi di luar negeri, kecuali untuk ke negara-negara tetangga yang paling dekat, seperti Malaysia dan Filipina. Oleh karena itu, pilihan yang paling mungkin adalah mencari beasiswa ke Australia. Sejauh ini pihak Australia sangat peduli dengan kawasan Timur Indonesia yang tertinggal jauh. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah itu akan lebih menarik bagi Negeri Kangguru ini. Karenanya, saya mencoba melakukan kontak dengan beberapa universitas di Australia. Proposal sepanjang 10 halaman saya kirimkan. Tanggapan sangat positif datang dari seorang profesor di Deakin University, Victoria. Suatu tanda baik. Tinggal satu hal yang saya butuhkan: hasil TOEFL atau IELTS.
Akhirnya, dalam kondisi kesehatan yang sama sekali tidak bersahabat saya berangkat ke Surabaya untuk mengambil TOEFL. Tanggal 1 September 2006, atau 10 hari sesudah meninggalnya ayah, saya mengikuti Internet-based TOEFL (iBT). Waktu itu saya terserang batuk parah, akibat hampir tiap malam saya bolak-balik Kalasan-Pegunungan Menoreh Kulon Progo, di mana saya dibesarkan. Tanpa persiapan sama sekali, saya datang ke tempat ujian. Satu hal yang layak untuk dicatat, saya menjumpai mukjizat yang luar biasa. Batuk parah membuat saya kehilangan suara. Batuk kering menyerang ketika saya mengerjakan soal-soal reading. Di bagian listening, kondisi tidak lebih baik. Tenggorokan terasa sangat gatal. Batuk rupanya tidak mau berhenti. Namun, semangat tidak pernah meluruh. Memang, hati ini sangat was-was ketika bagian speaking tiba. Mampukah saya berbicara untuk enam jenis persoalan yang diajukan pada bagian ini? Akankah batuk juga menyerang saya dengan membabi buta seperti pada dua bagian sebelumnya? Namun, kekerasan hati untuk tetap berjuang sampai titik darah penghabisan tetap tidak tergoyahkan. Saya mencoba untuk menguatkan diri saya. Sejauh ini saya selalu berupaya untuk memberikan yang baik bagi siapapun yang membutuhkan bantuan. Semenjak kecil, orang tua saya mengajarkan makna ngundhuh wohing pakarti. Itu pula yang saya yakini. Kalau saya berbuat baik terhadap siapapun, saya juga akan menuai hal yang baik. Dan keyakinan tersebut betul-betul menemukan kepenuhannya. Untuk enam soal speaking, batuk yang dengan ganas menyerang sebelumnya, seakan lenyap ditelan bumi. Tenggorokan tidak segatal sebelumnya. Bahkan, yang luar biasa, suara yang sudah dua hari hilang tiba-tiba kembali dalam sekejap. Enam jenis soal yang diajukan bisa saya jawab dengan relatif lancar, sekalipun tidak optimal. Namun itu sudah lebih dari cukup. Saya bernafas lega. Mukjizat itu datang ketika saya sendiri sudah tidak memiliki apa-apa untuk saya banggakan. Saya meyakini Tuhan sendiri yang turun tangan memecahkan persoalan yang saya hadapi. Dan ketika bagian writing datang, batuk itu hadir lagi. Namun, saya sudah tidak menganggap batuk sebagai hambatan yang berarti. Menulis bukan persoalan yang terlalu rumit untuk dikerjakan. Bagaimanapun juga, kegiatan menulis, entah itu dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Inggris, sudah menjadi menu sehari-hari dalam hidup saya.

Akhirnya, terlepas dari pengalaman berjibaku dalam mengerjakan TOEFL, hasilnya toh tidak akan pernah saya gunakan untuk melamar ke AUSAID. Hasil test itu tidak pernah saya kirimkan, baik ke Deakin University maupun ke kantor AUSAID di Jakarta. Alasannya sederhana, jauh-jauh hari sebelum hasil test itu tiba, Rm. Wiryono, Rektor USD, mengundangku dan menanyakan kesediaan untuk bergabung ke dalam ISEDP ini.

Tidak bisa dipungkiri, tawaran untuk bergabung ke dalam team ISEDP merupakan suatu kejutan yang menyenangkan. Ketika sedang mencari peluang studi lanjut, ternyata saya diberi peluang untuk mengembangkan diri melalui program ambisius ini. Namun, tetap saja saya senantiasa bertanya-tanya. Mengapa diri saya? Tidakkah ada yang “lebih” dari diri saya, dalam hal senioritas dan dalam hal kepandaian? Bukankah saya baru memiliki pengalaman sedikit dibandingkan dengan beberapa senior saya? Pertanyaan seperti ini sejauh ini belum secara jelas saya dapatkan jawabannya. Hanya samar-samar. Masih buram. Namun, ini bukan kali pertama saya tidak mendapatkan jawaban yang jelas atas pertanyaan yang saya ajukan. Sewaktu saya mendapatkan beasiswa Kelly Elizabeth Stephens Memorial (2001 – 2003), saya pun bertanya hal yang sama. Dan jawabannya pun tidak pernah jelas. Oleh karena itu, bagaikan seorang Hamlet yang mencoba mencari makna. Saya pun bersoliloqui: “Merupakan hal yang luar biasa bagi saya untuk mendapat beasiswa. Tidak ada pilihan lain kecuali harus selalu menyukuri terhadap apa yang saya telah dapatkan. Saya meyakini bahwa saya bukan orang yang terbaik. Karena pasti ada yang jauh lebih baik dari pada saya, namun barangkali mereka tidak seberuntung saya. Alangkah bodohnya saya bila tidak memiliki rasa syukur dengan bekerja dan belajar sebaik mungkin.”

Hidup manusia memiliki historisitas. Ada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Soliloqui seperti ini tidak datang dengan sendirinya pada diri saya. Entah sampai berapa puluh kali Bapak saya mengulang-ulang cerita kemalangan, kesakitan, dan perjuangan keras yang dialaminya. Dari cerita yang diulang-ulang itu, saya belajar pasrah-sumarah, namun bukan dalam arti deterministis – pasrah bongkokan begitu saja. Perasaan ringkih (vulnerable) sangat dibutuhkan untuk membaca tanda-tanda jaman. Apa yang kami dapatkan bukan semata-mata karena kemampuan, kehebatan, dan usaha kami semata-mata. Karena kebaikan dari Yang di Atas saja kita bisa melakukan banyak hal. Bapak memang mengajarkan kami untuk betul-betul memaknai apapun yang kami hadapi, entah itu pengalaman baik ataupun buruk, sebagai bagian dari rencana Dia sendiri untuk hidup kami. Tidak terlalu berlebihan bila kebiasaan macam itu telah menjadi bagian tak terpisahkan, dan dari sana saya mampu menimba semangat untuk maju, sekalipun banyak hal yang kadang nampak tidak begitu ramah terhadap diri saya.
Begitu mendapat tawaran untuk bergabung dalam ISEDP ini pun, saya kembali bertanya pada diri saya: “Mau apa saya? Haruskah saya menyia-nyiakan kesempatan ini? Haruskah saya memandang rendah tugas perutusan ini?” Sejarah masa lalu saya mengajarkan untuk selalu berjuang. Sepahit apapun realitas yang harus kami tanggung.

Tantangan pertama tentu saja datang dari keluarga. Berpisah dalam waktu tiga tahun untuk studi lanjut? Secara manusiawi, tentu sangat berat. Bagaimana mungkin kami akan melewati waktu-waktu keterpisahan untuk jangka waktu yang terlalu panjang ini? Entahlah. Kami tidak tahu. Yang pasti, kami pernah melewati masa-masa sulit. Tujuh minggu menikah, dan saya tinggalkan istri sendirian. Bedanya, sekarang sudah ada anak, yang Musim Panas 2007 lalu sempat marah dan tidak mau berbicara setiap waktu saya menelpon rumah. Alasannya sederhana. Saya tidak segera pulang dan menghabiskan waktu untuk bermain dengannya. Waktu itu, dia hanya saya tinggal selama dua bulan. Bagaimana bila periodenya jauh lebih panjang? Semoga, dia bisa diberi pengertian nantinya.

Tantangan lain tentu saja dari kajian bidang studi yang akan saya ambil. Sekalipun masih dalam bidang pendidikan, namun spesifikasi antara studi sebelumnya dan studi yang sekarang jauh jaraknya. Akibatnya, waktu tempuh studi untuk bidang baru akan jauh lebih panjang. Apa yang saya peroleh selama S2 di Boston University tidak diakui sebagai bagian dari program S3 di LUC ini. Karena itu, saya memang harus memulainya dari awal lagi. Sementara, bila program studi sebelumnya sama dengan program sekarang, S2 dianggap sebagai 50% dari apa yang dipelajari dalam program S3. Satu bentuk pengorbanan lain. Juga perlu keberanian untuk keluar dari comfort zone.

Namun, terpisah dari sejumlah pengorbanan yang mau tidak mau harus dibayar tersebut, keterlibatan dalam ISEDP ini sangat menjanjikan. Secara personal, seperti yang telah saya rasakan dalam pengalaman tujuh minggu di Chicago Summer 2007 yang lalu, saya merasakan perubahan yang sangat luar biasa. Bagaikan segerombolan katak yang dimasukkan ke dalam panci dengan air mendidih di dalamnya, kami berontak. Dengan bekal Bahasa Inggris yang masih jauh dari memadai, kami harus mengikuti mata kuliah tingkat pasca sarjana di Loyola University Chicago. Kami benar-benar merasakan besarnya dampak belajar dalam kebersamaan. Kami menjadi kritis terhadap praktek-praktek sosio-kultural yang telah membentuk kami. Dengan harapan, dalam kebersamaan itu kami memiliki referensi lebih banyak untuk menerjemahkan berbagai hal yang kami pelajari di Chicago nantinya. Kembali ke Indonesia untuk berbagi ilmu dengan sesama anak bangsa. Tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil.

Losing my camcorder

August 18, 2007

Severe fatigue can impair your judgment. That’s what we usually hear about the impact of tiredness. I made a very silly mistake when I was physically tired due to a long flight back home to Indonesia. We departed from O’Hare International Airport Chicago on Wednesday, August 15, 2007. The 16-hour flight from O’Hare to Hong Kong was very tiring. It was just too long. We had a three-hour stop at Hong Kong. Using the same aircraft, we continued our flight to Singapore. This four-hour-flight only added boredom. And then we had to wait another 9 hours for the next flight using Garuda.

Flying with other 11 people in my group made me less alert. I felt so secure. I did not need to pay attention the details about anything. So, when we finally checked in for our domestic flight (i.e. from Jakarta to Yogyakarta), I did not really pay attention to the things around me. And the silly mistake happened here. I carelessly put my hand-carry bag together with my baggage. I didn’t have any key to lock my hand-carry bag. All my money was in that hand-carry bag. My DV camcorder was also in that bag. Without being locked! I put the bag mechanistically into the scale. It was 29.7 kg – a perfect weight for domestic flight that allows me to carry a 30-kg luggage.

About two hours later, my mind started to work. I was so struck by my late awareness. Oh gosh … my camcorder … my money?? All my rupiahs and dollars are there! When things are hopeless, the only thing you can expect is to hope that the bad thing would not happen. I felt so tortured by the late departure from Jakarta. I tried to develop hypothesis to rationalize my positive hope. “Well,” I started to talk to myself, “today is very busy. There are just too many passengers today. Fridays are always a peak day for the domestic flight. Moreover, today is August 17, which is a day-off since we celebrate the Independence Day. The best thing to happen is of course: the crews working to ship the luggage must be very busy. I think they do not have any slightest time to find something precious from hundreds of bags they handle.” That was the only rationalization that I made. I started to calm down. I found inner peace. “Well, if I lost my camcorder, I have to accept that. It was my only mistake. I could not blame anybody else. I was the only one to blame, since I’m fully aware that it was me who triggered a bad thing to occur. I let somebody else to do harm on me.”

So, I waited for the good thing to happen, but without neglecting that the worst thing might also happen!

August 19, 2007

Exactly, poor health, severe fatigue and tiredness can impair our judgment. The old airplane, MD 82 operated by Lion Airliner, landed safely at Adisutjipto airport. When I got my blue hand-carry bag, I spot the little black bag on it. I also found my money untouched. They were safe. I felt good to see that the bad thing did not happen.

At 6.30 p.m. I safely arrived at home. I was overjoyed to see my kid, Rio. He showed his happiness by dancing and hugging me tightly. About 9 pm, I was too tired. So, I went to sleep. About midnight, my wife woke me up, asking the whereabouts of my camcorder. I was struck again. I got up, checking my blue bag. I found nothing. “I have taken everything out of this bag,” my wife told me.

My eyes were still heavy. And I could not think clearly yet. And I only said that I was the one to blame for the loss. I could not think of something else when fatigue came. And then after about one hour regretting the bad luck, I went to sleep. The rest of the night was a torture for my wife. She loves the camcorder. She remembered the details of our struggle to get this precious camcorder when we got it in 2003. At that time, we were about to leave home after two years studying at Boston University. We spent US$800 for the camcorder. We waited for the whole day for the delivery service from UPS to ship my order. Since I had to work at 6 pm, I could not wait UPS any longer. It was the landlord of our apartment to receive it. He stored it on the front door my room. We were very happy to see the beautiful camcorder from a venerated technology producer: Sony.

The dawn broke, I was still in bed. And the conversation was still around the lost camcorder. “Well, the ability to accept both good and bad luck in a moderate manner is the most distinctive characteristic of a mature person.” I started to develop a theory. “We have experienced various kinds, both unhappy and happy things in our life. And we could make the right decision for those things. We did not spend a lot of time mourning of the bad luck though. Or we did not spend time by being too overjoyed when good luck came. We have been pretty stable. Our experiences have told us to be moderate in whatever situation.” That was my remark on the loss of my camcorder.

“I think so,” my wife replied. “But, still, it is too difficult for me to accept this. And that made me restless the whole night. I could not sleep well.”

However, life went on. Our day was filled with a great joy. My son was so happy to see me. He often hugged me. He often touched me. He often kissed me. I cannot deny the big impact of my being away for two months. He missed me so much. When the evening came, we planned to enjoy the favorite meatball. I took my jacket from the closet. And my heart was filled with a greater joy. My little black bag was stored in the closet. I took it and handed it in to my wife. She was so surprised.

The things became clearer. Again, my fatigue inhibited me from thinking reasonably. When I took out the black bag from the blue bag, I directly stored it in the closet. I did not want my son to see the camcorder and play with it. I did it automatically without remembering doing it. So, when my wife asked me the whereabouts of my camcorder the earlier midnight, I could not think of it. I was totally tired and fatigue so I could not figure out the things that I subconsciously did.

Wednesday, July 18, 2007

Too much ... so align yourself then!

It is not so surprising that we often find ourselves too overwhelmed with a lot of things. Many assignments due on the same time. Many readings must be accomplished in a very short time. It seems like that we don't have enough to enjoy ourselves. Is it really the case that we certainly do not have enough time to slow down? Why do few people do a lot of things in their busy times, while others even do not reach the baseline in their ample time? this is a very good question. Finding answers for this anser certainly help us shape our way of seeing this world.
Time management is a critical issue for everybody. Unfortunately, most people seem to fail to appropriately realize how important it is to realize how we make use of our time. Knowing how things should be done is a very good start. Our group arrived in Chicago four weeks ago. I often noticed how things are done around me. And how architects build houses and apartments are also one of my interest. Across the Baumhart Hall in Pearson Ave, a huge apartment is being built. At the very front of the building, the announcement says: The Future Home of St. Clare at Water Tower. I learned that the building is projected to finish in January. I was amazed. How can people be sure that the building will be accomplished on a certain day?
My imagination goes wild. When I pass the construction site, I always imagine that the architects are knowledgeable to the amount to job and technical things related to the building process. I am sure that in order to precisely predict the accomplishment of the project, they have also precisely and accurately counted all the detailed jobs to do. They have set up a rigid scheduling. They must follow a series of strict procedures. Everybody must comply with the rules and designated plans. Any single failure is very likely to cause serious problems. The jobs have been identified, calculated, and predicted. So, things are predictable. The trucks providing concrete must wait in line. Late arrival is certainly highly discouraged, because it causes a number of related problems. I keep imagining, and imagining. And I found similarities in the concept of leadership.
Being a leader means seeing what things should be done, and accomplished. He/she must assess the level of accomplishment. When things go wrong, he/she must be able to facilitate that improvement to happen. Supervising is certainly a very good thing to take into account. And leadership does not necessarily mean "great" thing. It is about our day-to-day life. We have various kinds of choices to do. We may prefer to do something earlier, and put aside other things and do them later. If we are not fully aware of this kind of habit, i.e. preferring doing things and easily tempted to put aside and leave things for the next time, it is going to be harmful for our life. We often feel overwhelmed. We always think that time is not always enough for us.
What happens with those successful people is not because they have more time to do things. I believe that it is mostly because they are able to manage their time. When we are not able to see the purpose of our life, we feel that we do not have enough challenge to do. We always feel that the assignments are still far away. We enjoy too much our days by playing around. When there are too many assignments do, so we do not have enough time to process the information.

make one's day

In the last two days, I found many interesting things. First, yesterday I came across a young gentleman attending Biology Department of Loyola University Chicago. We got acquainted to each other and spent the whole trip on the bus from Lake Shore Campus to Pearson bus stop sharing our own experiences. It was a good experience for me, because it turned out to be an interesting time for me. The name of the 19-year old gentleman, a sophomore, is Tasso. He was born in the US, but his parents are from Greek. The discussion was triggered by a small incident that I saw. A young black man crossed the street when the traffic light did not allow him to do so. The traffic was not that busy. Seeing the man in front crossed the street, a young women was provoked to do the same thing. I directly came to a quick conclusion: violating law is contagious. When we see a model to follow, it is very likely for us to follow the thing, even when we know very well that the thing is totally wrong. I told him my perspective about the thing and that was a good start for a nice talk. Finally, as I promised I sent Tasso a pie of writing that I wrote pretty long time ago, or last year. The writing is about the death of my father, and how I learned from the funeral time.

I received a quick reply. Tasso acknowledged that he started the day with a bad mood. He only had one thing to do for the day. He did a little chore for a friend, i.e. picking up his/her visa. That was all. He did not have any spirit that day. What surprised me much was his reply: he turned to be more motivated after we exchanged our experience. I remember that it is good to make a day. making a day means doing little things for other people that help them cheer up. Doing this way, we certainly help others improve many things in their lives as well.

Another thing that I learned yesterday was the time of discussion with Mary Theis. I was very grateful to be in her office in the first session. I was expected to spend only twenty minutes, but it turned out to be thirty five minutes. We had a good conversation. The things that I remember most were: first -- I told her that I am now learning how to deal with other people more appropriately. Sometimes, I feel too pushy, asking too much from other people. But, working in the group of twelve, with different characteristics, I certainly learn how to control myself. I learn how to be less pushy and more tolerant. In this way, I reduce my tension. I can be more easily adaptive as well. The second thing that I discussed with her is the idea of miracle. I told her that I wait for a miracle to happen. I will certainly stay longer here. My study requires me to stay longer and work much harder. I told her that the best arrangement for me and my family is to get here, work and gather enough money to pick my family. It is not necessarily something easy to do. IT is totally a tough thing. She replied that she had the authority to manage things to ensure that I work as an adjunct teacher/instructor. This position is not only good for my family and me, in the sense of earning money to live, but more than that, it is more important for me to get experience of working as an adjunct teacher/instructor. Working in a rich context can serve a better future for me. I could earn a meaningful experience that in turn will equip me with professional job later in my life. It means that I will have more opportunity to offer better things for more people.

In addition to two things, I also learned pitiful things in India. As usual, I listened to radio every day. By listening to radio, I obtain much knowledge and my English certainly gets improved much. I was so moved by a documentary report on India's economy and the fact that the country's economy is improving, but poverty is rampant in remote areas. It is very surprising that people suffer from economic suffering. There is an enormous economic gap in India. The report was so shocking, because the reporter went to remote area. Accompanied by a native Indian, he visited poor villages. I was so moved. Once they came across a very poor village. The villagers eat rats to survive. They do not have enough food. The reporter interviewed a woman with six children. The eldest son is ten years old. The youngest is six months old. The husband -- accompanied by the eldest son -- goes to the nearest city to get menial job, coming back once a month. At home, the wife stays with her five kids. Very often however, the kids are often left home, taken care by the second child, that is eight years old. The reason is simple, the mom works in a neighboring farmland, earning 25 pence a day. With that little money, how can the family survive? I could not help crying, I burst into tears when I heard children crying. Hunger is not unusual among them. In this country, food is everywhere. This world is highly unfair.

Thursday, June 28, 2007

io kangen bapak ...

Lukisan hitam putih keluargaku memang belum sempat aku pasang di dinding. Di situ tergambar wajahku yang agak chubby dengan senyum lebar, dan mata sipit. Di sisi kananku istriku sedang menggendong anakku, si Io yang tampak sedang tidak bahagia, sedikit njaprut. Lukisan itu memiliki makna khas. Diberikan sebagai kenang-kenangan oleh seorang mahasiswi yang hampir gagal menyelesaikan skripsi. Malam sebelum keberangkatanku, 19 Juni 2007, dengan menyewa sebuah pick-up, dia datang membawa lukisan berukuran kurang lebih 75 cm x 1,25 m. Terkaget-kaget kami dibuatnya. Tapi itu lah yang dia katakan. Dengan mata berbinar dan sekaligus berkaca-kaca, dia mengatakan betapa hidupnya telah begitu berarti selama satu tahun terakhir ini. Ada banyak yang telah dipelajari selama penulisan skripsi. Aku tersenyum, dan juga bersyukur, bahwa sosok yang keras kepala tersebut telah menjelma menjadi sosok yang siap untuk mendengarkan dan belajar.

Kini, lukisan itu teronggok di kamar tidur utama. Belum terpasang di dinding. Dan sore ini, aku merasakan getaran yang sangat kuat untuk menelpon keluargaku. Apa jawaban yang aku peroleh? Io tidak cukup antusias untuk menjawab telpon. Mungkin dia merasa kurang mantap saja. Setelah dua tiga kali bicara, dia berikan telpon ke mamanya. Dan mamanya kemudian menceritakan hal yang tiba-tiba membuat diriku tercenung sejenak. "Mas, Io lucu sekali," begitu katanya, "Ingat foto yang dicetakkan mas Bambang? Io selipkan fotonya di sisi lukisan. Katanya, Io sangat kangen sama kamu." Aku tersenyum. Getir. Sepercik rasa pedih tertoreh di hati. Ingin rasanya aku peluk dia, bercanda, bermain bola, dan jalan-jalan menyusuri pematang sawah seperti biasanya.

Dalam hati kecil aku menangis. Aku bayangkan betapa sosok anak berusia 32 bulan merindukan sosok seorang ayah yang tampil sebagai seorang pahlawan. Hero. Bisa mengerjakan banyak hal. Bisa memecahkan semua persoalan. Kreatif dalam bermain dan membuat alat-alat mainan. Aku bayangkan sosok Io yang mungil merindukanku. Ya, aku ingat bagaimana dia begitu senang dengan hasil karya baling-baling kertas yang aku buat yang dia bisa pakai untuk mainan. Sederhana. Tapi itu memberi kesan yang dalam. Bagi dia, yang menarik bukannya mainan yang aneh-aneh. Tapi mainan yang sederhana yang dibuatkan oleh ayahnya.

Salah satu persoalan yang mendasar ketika seorang ayah meninggalkan keluarga untuk suatu kepentingan tertentu adalah hilangnya sosok hero dalam keluarga. Bila tidak disikapi dengan positif, dan anak tidak didampingi dengan baik, kehilangan macam itu tentunya akan memberikan dampak serius dalam perkembangan emosional dan psikologis untuk waktu-waktu mendatang. Pandangan macam ini tentu diangkat dari perspektif psikologi perkembangan. Namun, rupanya pandangan ini tidak sepenuhnya cukup untuk menjelaskan fenomena yang sangat rumit dalam kehidupan ini. Ada dimensi spiritual yang rupanya bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena tersebut dengan lebih komprehensif.

Dari sisi spiritual ini, manusia sudah sepantasnya merasakan kehidupan di dunia ini sebagai rangkaian tugas perutusan. Aku dipanggil untuk menjadi seorang ayah, seorang dosen, seorang kepala rumah tangga, dan teman bagi kolega-kolegaku. Tentu tidak mudah menggenapi seluruh tugas perutusan tersebut dengan gilang-gemilang untuk waktu yang bersamaan. Dalam banyak hal, harus ada pengorbanan di sana-sini untuk memastikan bahwa tugas perutusan yang dipasang di pundak ini benar-benar terlaksana dengan optimal. Untuk menjadi dosen yang nantinya bisa memberi kontribusi yang lebih banyak untuk kehidupan, aku memang tidak boleh menutup mata dengan pengorbanan yang harus dibuat. Meninggalkan keluarga, mengesampingkan comfort zone demi sebuah cita-cita, dan berusaha untuk tampil optimal dalam kondisi apapun adalah bentuk-bentuk dari pengorbanan itu.

Aku mencoba untuk meyakini, sekalipun Io tidak tumbuh berdampingan dengan diriku, dia akan tumbuh tegar dan kuat, sekuat dan setegar orang tuanya yang tidak mudah menyerah pada persoalan perasaan. Aku meyakini, bahwa apa yang aku lakukan ini tidak lebih dari sekedar menjalani apa yang telah dirancang oleh Yang Di Atas. Kehendak bebasku lah yang menentukan apakah aku berhasil atau tidak dalam menjalani tugas perutusan ini. Dan ketika tabir kehidupan ditutup, yang akan ditanyakan St. Petrus adalah seberapa besar aku bertanggung jawab dengan kehendak bebasku tersebut. Kehendak bebas yang menentukan bentuk akhir dari sebuah rencana Yang Di Atas.

Menjadi chicagiensis

Satu minggu sudah kami berduabelas tinggal di Chicago. Dengan misi besar yang kami tanggung, kelompok yang disebut sebagai leadership team ini tentu tidak bisa dengan begitu saja mengklaim kesempatan dua bulan tinggal di Chicago ini sebagai masa liburan. Memang tidak mudah untuk beradaptasi, dan kemudian menjalani tugas perutusan yang tidak ringan ini. Masing-masing memiliki persoalan sendiri-sendiri. Pak Prih harus menemui kenyataan bahwa kakak sepupunya meninggal dalam kecelakaan perjalanan ke Jogja dari Sumatera. Keluarga yang telah bertahun-tahun tidak ke Jawa ini akhirnya harus menjumpai pengalaman tragis: sang ayah, ibu, dan anak yang hendak tinggal bersama Pak Prih, dipanggil Tuhan dalam kecelakaan parah sesudah penyeberangan di Merak. Sulit untuk diterima. Bisa dibayangkan, betapa berat tanggungan psikologis yang harus dipanggul. Terutama bila diingat bahwa istri Pak Prih harus menghadapi pengalaman seperti ini sendirian.

Anggota termuda dari team kami, Aris Wahyu Prasetyo, juga tidak lepas dari persoalannya sendiri. Sebagai seorang yang biasa aktif berolahraga, dia tidak cukup menemukan partner yang tepat untuk menemani berolahraga. Akibatnya cukup serius, setelah beberapa hari tanpa mengeluarkan keringat, dia kelihatan sangat loyo, lungrah. Akibatnya, dia tidak bisa mengikuti acara retret di Cenacle Retreat House. Dia memilih tinggal di rumah, dan akhirnya setelah cukup istirahat, dia akhirnya berolah raga dan pergi ke Gymn Center untuk mencari keringat. Beruntung bahwa yang dia cari ketemu. Keringat datang, dan ketika Rm. Justin Daffron membawakan soup khusus untuknya, dia sudah cukup segar untuk melahapnya.

Yang lain tentu tidak terlalu banyak masalah. Rekan-rekan memiliki semangat dan motivasi yang tinggi untuk belajar. Ada berbagai pengalaman di sana-sini. Namun, tentu saja itu memperkaya dan menjadikan pengalaman tinggal di negeri Paman Sam ini sebagai sesuatu yang terlalu berharga untuk dikesampingkan. Nah ... kita tunggu saja.

Sunday, June 3, 2007

latihan jujur

Hari ini, lamu lalu lintas sedang tidak bersahabat. Setiap kali aku mulai mendekatinya, lampu menyala merah. It terjadi di semua persimpangan jalan yang aku lalui pagi ini. Pertama, di dekat bandara, kedua di pertigaan Ring Road, ketiga di pertigaan Janti, keempat di pertigaan UIN. Keempat-empatnya ruapnya berkonspirasi untuk mencegahku datang tepat waktu. Tidak heran, aku terlambat enam menit di kelas. Kertas ujian sudah dibagikan. Sebagian besar mahasiswa bahkan sudah mulai mengerjakan soal. Untuk satu hal, aku tidak punya alasan untuk takut dimarahi dosennya. Karena aku bukan lagi mahasiswa di kelas itu. Aku berperan sebagai partner dalam mengawasi ujian. Namun, aku juga tidak selayaknya merasa bebas dari rasa bersalah. Soal lampu lalu lintas yang konspiratif masih bisa aku gunakan sebagai alasan untuk keterlambatanku. Aku masih bisa mengelabui rekanku dengan mengkambinghitamkan lampu lalu lintas. Namun hati kecilku menegur. Tidak jujur kalau hanya mempersoalkan lampu merah. Mestinya aku lebih berani mengakui bahwa tadi pagi aku tidak cepat-cepat mandi. Mestinya aku lebih berani menyalahkan diriku yang terlalu asyik membaca koran yang terlambat datang. Ya ... kejujuran kecil itu barangkali terlalu sederhana untuk menjadi kesadaran publik. Namun, begitu pena ini aku biarkan menari bebas di atas kertas, aku menjadi malu bahwa aku sering menutup mata terhadap gelitik nurani-hati-kecil yang mengajakku untuk jujur.

Thursday, May 24, 2007

Kasus UN: Giliran Nurani Pemerintah yang Diuji

Ke-58 anggota Education Forum yang mengajukan gugatan (citizen lawsuit) terhadap pemerintah sehubungan dengan ketidakadilan yang mereka rasakan sebagai akibat kebijakan Ujian Nasional (UN) boleh berteriak gembira. Gugatan mereka dikabulkan (22 Mei 2007). Dalam putusannya, pengadilan menilai pemerintah telah lalai memenuhi hak asasi anak di bidang penddiikan. Disamping itu juga, sebelum UN digelar, pemerintah wajib meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta meninjau ulang sistem pendidikan nasional saat ini. Namun rupanya, sikap gembira dalam menyikapi kemenangan itu bisa saja berakhir dengan kehampaan. Menanggapi keputusan itu, Mendiknas bersikukuh untuk terus akan mempertahankan UN (the Jakarta Post, 23 Mei 2007).

Korban target politik jangka pendek

Dari tinjauan sosiologis kritis, keputusan mempertahankan UN sebagai alat ukur keberhasilan belajar secara nasional adalah hal wajar. Pemerintah mempunyai alasan untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh, serta apa yang layak dan tidak layak. Persoalan yang sering muncul adalah ketika kebijakan publik cenderung berorientasi pada pencapaian target-target politik jangka pendek. Kita terlalu sering mendengar celotehan “ganti menteri pendidikan, pasti akan ganti kurikulum.” Fenomena macam ini tidak lain adalah manifestasi dari target-target politik jangka pendek dari pemimpin politik yang sedang berkuasa.

Kasus UN pun juga demikian halnya. Keberhasilan belajar dalam angka statistik selalu menakjubkan. Seakan-akan, semakin tinggi standar angka kelulusan, kita diyakinkan untuk percaya bahwa kualitas pendidikan yang begitu kompleks sudah membaik dengan sendirinya. Catatan-catatan numerik statistik sebagai alat propaganda bahwa pemerintah telah berbuat “benar dan baik” menjadi alat pengesah yang ampuh dari pemerintah.

Dilihat dari proses pembelajaran UN memang membawa dua dampak negatif yang sangat serius. Pertama, UN menjauhkan siswa dari pengalaman pembelajaran yang membebaskan (liberatory). Demi mencapai tujuan “angka skor minimal,” berbagai upaya dilakukan, seperti menghafal, dan drill soal-soal ujian di masa lalu. Berbagai pihak di luar murid, seperti orang tua, sekolah, dan bahkan Diknas pun terjebak dalam sindroma seperti ini. Seperti yang sudah didiskusikan di banyak tempat, bahkan banyak sekolah yang menyewa instruktur-instruktur bimbingan belajar untuk melatih para siswanya mengerjakan soal-soal ujian.

Padahal, anak sudah semestinya mengalami pembelajaran yang betul-betul mampu membekali mereka dalam hidup. Hafalan jangka pendek tidak cukup membekali anak untuk memecahkan persoalan hidup yang sangat kompleks. Karena terbiasa distimulasi dengan soal-soal ujian, anak tidak dilatih untuk bereksplorasi, mencari koneksi atas berbagai fenomena, kreatif dan kritis serta adaptif.

Kedua, UN juga menjadi alat yang paling tepat untuk menjauhkan anak didik dari nilai-nilai kejujuran, semangat kerja keras, berani bertanggung jawab, dan ketekunan. Berbagai pelanggaran yang terjadi di sana-sini yang dilakukan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh berbagai pihak terkait, jelas-jelas mengajarkan pada siswa tentang tidak perlunya integritas dalam hidup ini.

Singkat kata, dengan dua dampak negatif yang akhirnya justru berakibat pada runtuhnya nilai-nilai yang hendak diperjuangkan oleh pendidikan sendiri, akankah pemerintah berani bertindak “strategis?” Tentu, makna “strategis” di sini harus dimengerti dari kacamata kepentingan siswa, bukan kepentingan propaganda politis semata.

Berperang dari dalam

Bila dicermati lebih lanjut mengenai sikap Depdiknas, yang tampak justru persoalan ruwet penuh kontroversi. Di satu sisi, hal-hal negatif seperti yang sudah disinggung di atas, telah benar-benar dipahami oleh insan-insan yang berada dalam departemen ini. Literatur-literatur utama yang dikeluarkan oleh Depdiknas dalam rangka sosialisasi KBK 2004 menjadi contoh konkrit tentang pemahaman mengenai kesadaran tersebut. Di sana terlihat bahwa belajar dalam arti sesungguhnya ditandai dengan kegiatan yang terfokus pada siswa (student-centered), melibatkan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari (contextual teaching and learning), menekankan pada pengembangan kecakapan hidup (broad-based education oriented to life-skills), dan menekankan pada proses (process-based learning). Penekanan pada tingkat proses ini layak digarisbawahi, karena pada dasarnya, model evaluasi yang disarankan oleh Depdiknas sendiri lebih mengacu pada pencapaian tiap individu. Sebagai alat ukurnya, yang disarankan adalah penilaian berbasis portofolio dan kinerja (portfolio and performance based assessments).

Di lain pihak, justru Depdiknas sendiri juga yang melanggar “aturan main” yang dikeluarkannya sendiri. UN yang selama ini diterapkan justru bertentangan dengan idealisme yang dicerminkan dalam literatur-literatur tersebut, dan tentu saja memang selalu mengundang berbagai kontroversi. Pertama, tipe pilihan ganda yang dipakai jarang menyentuh tingkat berpikir yang lebih kompleks. Anak tidak diajak untuk berpikir analitis, sintesis, dan evaluatif (higher-order thinking skills). Anak hanya diajak untuk menyentuh tingkat pengetahuan dasar dan pemahaman minimal. Kedua, timbul pertanyaan mengenai keabsahan UN sebagai alat ukur kelulusan. Bagaimana mungkin proses pembelajaran selama tiga tahun hanya diukur selama 120-an menit, dan ditentukan oleh tiga mata pelajaran? Dalam hal ini, posisi guru yang mestinya memiliki hak prerogatif dalam menentukan lulus-tidaknya siswa – karena merekalah yang paling tahu proses belajar dari hari ke hari – sama sekali tidak diberi ruang gerak. Ketiga, UN diduga memiliki tingkat validitas prediktif yang rendah pula. Artinya, mereka yang mencapai nilai baik di UN bukan berarti dia memiliki peluang lebih baik untuk berhasil. Yang gagal pun tidak berarti bahwa nasib mereka pun juga akan lebih buruk. Ada begitu banyak contoh bahwa yang memiliki potensi untuk berhasil di masa depan, justru gagal dalam UN. Sementara, yang serba minimalis, bisa saja lulus.

Singkat kata, begitu kasus UN masuk wilayah pengadilan, akankah nurani seperti yang tercermin dari literatur-literatur keluaran Depdiknas sendiri akan mengusik kesadaran dari pihak pemerintah. Kita tunggu apakah nurani para pembesar bangsa ini juga terketuk? Kita tunggu saja kebijakan dan komentar-komentar mereka. Akankah kualitas pendidikan yang belum membaik ini justru makin diperparah dengan prinsip mediokritas gaya UN seperti sekarang ini?

Rm. Mangunwijaya: Pembaharuan Pendidikan dan Keberlanjutannya

Rm. Mangunwijaya (1929 – 1999) bagi sebagian besar orang adalah sesosok splendor veritatis – sosok yang penuh dengan warna-warni pelangi sebagai cermin keutamaan kemanusiaan. Pergulatan hidupnya tercermin dalam beragam karya monumental. Novel Burung-burung Manyar (1979) menyabet penghargaan “The South-East Asian Award” (1986). Sentuhan arsitektur yang berbasis masyarakat terpinggirkan di tebing Kali Code telah membuatnya dianugerahi Aga Khan (1990-1992). Kepeduliannya terhadap karya pendidikan telah terwujud dalam Sekolah Dasar Eksperimental Kanisius Mangunan (SDKEM) dan Lembaga Dinamika Edukasi Dasar (DED).

Karya terobosan

Karya dan sumbangan Rm. Mangun dalam bidang pendidikan inilah yang menjadi objek penelitian dari Y. Dedi Pradipto dalam buku Belajar sejati vs. kurikulum nasional: Kontestasi kekuasaan dalam pendidikan dasar (2007). Memakai pisau analisis antropologi sosial, Dedi Pradipto mencoba untuk menghadirkan sosok Rm. Mangun lengkap dengan berbagai terobosan yang beliau coba ajukan untuk membantu persoalan kronis dalam dunia pendidikan.

Kajian penelitian dalam buku ini didasarkan pada fakta bahwa pemerintah menciptakan sistem untuk menjaga “kelangsungan” hidupnya. Dinamika dalam penciptaan kondisi macam ini termanifestasi dalam berbagai aturan main. Kurikulum dan Ujian Akhir Nasional (UAN) adalah dua contoh manifestasi pengaruh pemerintah tersebut. Kurikulum secara luas dapat dimaknai sebagai apa yang boleh dan tidak boleh untuk dikuasai oleh anak didik.

Sementara, UAN lebih merupakan manifestasi dari target politik jangka pendek pemerintah, bukan untuk pemberdayaan anak didik. Yang menjadi korban tentu saja pertama-tama adalah siswa. Karena mereka tidak diberi ruang gerak untuk mengeksplorasi alam, memuaskan rasa ingin tahu mereka, dan mencari apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Pihak-pihak di sekitar anak, entah itu orang tua, guru, dan kepala sekolah, dan bahkan Dinas Pendidikan pun, ramai-ramai “mencekoki” anak dengan pengetahuan dan hafalan jangka pendek. Bagi Rm. Mangun, pembelajaran yang tidak mengedepankan pengalaman “belajar sejati” justru akan menjadikan anak sebagai korban, bukan sebagai pihak yang diberdayakan.

Rm. Mangun mencoba untuk keluar dari lingkaran setan dampak kekuasaan yang termanifestasi melalui kurikulum yang sarat dengan pengetahuan namun miskin dalam pemaknaan itu. Karena itu, dengan memanfaatkan sebuah SD Kanisius Mangunan, Sleman yang hampir mati, pada tahun 1994, Rm. Mangun mengadakan terobosan (groundbreaking) dengan tiga sasaran. Pertama, Rm. Mangun menciptakan kurikulum yang khas. Kepedulian dan kedekatannya dengan wong cilik telah mendorongnya untuk mengangkat kemiskinan kronis sebagai laboratorium eksperimental untuk mengentaskan anak miskin. Kedua, sebagai partner kerja dari SDKEM, Rm. Mangun juga mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang berperan sebagai think tank untuk mendukung dari program-program pembelajaran di SDKEM. Di DED inilah berbagai persoalan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar diangkat, didiskusikan, dibagikan, dipahami secara bersama, disikapi secara kritis, dan akhirnya dicarikan solusinya. Ketiga, Rm. Mangun juga tidak enggan untuk menggandeng berbagai rekanan, mengembangkan jaringan, dan menyebarkan temuan-temuan dalam berbagai eksperimen tersebut ke berbagai forum. Hasil-hasil dari praktik baik pembelajaran yang memfasilitasi belajar sejati dibagikan dan diterapkan di berbagai konteks sekolah lain.

Dengan tiga hal yang dilakukan secara konsisten tersebut, usaha-usaha Rm. Mangun akhirnya mulai menuai perhatian. Setidaknya ada tiga kontribusi besar yang dihadirkan dari perjuangan Rm. Mangun selama ini. Pertama, pihak Departemen Pendidikan tergugah untuk mengadopsi kurikulum pendidikan dasar yang telah diujicobakan oleh Rm. Mangun. Kurikulum berorientasi pada tema yang dipakai di SD sekarang ini adalah hasil eksplorasi dan eksperimentasi dari Rm. Mangun dan teman-teman.

Kedua, sejauh ini, baik SDKEM maupun DED menjadi acuan bagi berbagai sekolah di berbagai penjuru di negeri ini dalam hal pengembangan model-model materi pembelajaran dan pendekatannya. Banyak yang sudah datang, belajar, dan mengadopsi model-model pendekatan pembelajaran yang memungkinkan “belajar sejati” dapat terwujud.

Ketiga, SDKEM dan DED berhasil mengubah wajah persekolahan yang serba pesimistis, kekurangan, dan tidak berdaya. Dengan pola interaksi yang sehat antara guru dan siswanya, kebebasan untuk berekspresi dan bereksplorasi, anak didorong untuk menumbuhkembangkan sikap ingin tahu dan saling harga-menghargai. Berbagai pengalaman hidup yang dijumpai dalam hidup keseharian diangkat dan dimaknai dengan penuh empati. Kemiskinan kronis sebagai realitas objektif bagi anak-anak menjadi bagian dari proses pembelajaran. Barang-barang bekas bisa dibawa ke kelas untuk menumbuhkan kesadaran tentang makna kreativitas, perlunya konservasi alam, dan kepedulian terhadap sesama. Bagi Rm. Mangun, kemiskinan bukan alasan untuk merasa pesimistis, gagal, dan tidak berprestasi.

Catatan kritis

Sulit untuk dipungkiri bahwa sosok Rm. Mangun identik dengan pemikiran yang begitu kompleks, sehingga banyak hal tidak tertangkap bahkan oleh para sahabatnya yang meneruskan karya dan kepeduliannya dalam dunia pendidikan. Hanya 30% yang tertangkap, sementara yang 70% hilang seiring dengan berpulangnya sosok ini ke pangkuan pertiwi. Nasib SDKEM dan DED pun juga kembang-kempis sepeninggal beliau. Mengapa demikian? Sosok Rm. Mangun, sebagai makhluk fana, juga hidup dalam konteks ruang dan waktu, yang menurut logika Niels Mulder (2000) masih mengacu pada masyarakat madani setengah hati. Dengan kata lain, Rm. Mangun muncul sebagai sosok kharismatis di tengah-tengah konteks masyarakat yang belum mampu berpikir secara merdeka dan bertindak secara bebas-bertanggung jawab. Dengan kata lain, Rm. Mangun yang memiliki karisma tunggal, terlalu berat menanggung idealisme, karena masyarakat yang ada di sekitarnya tidak berdiri setara dengan sosok ini. Akibatnya jelas, banyak ide dari sosok Rm. Mangun yang tidak tertangkap.

Gambaran tentang perjuangan dan kepedulian Rm. Mangun dalam mengentaskan masyarakat miskin melalui pendidikan sebenarnya tidaklah terlalu unik. Bahkan untuk negara semaju Amerika Serikat pun, persoalan kesenjangan sosial menjadi masalah yang sulit untuk dipecahkan. Berbagai kelompok masyarakat dalam lingkup inner cities, yang ditandai dengan penyalahgunaan obat terlarang, drop-out rate yang sangat tinggi, dan kriminalitas yang marak, telah membuat lingkaran setan yang tidak mudah untuk diretas.

Cukup menarik bahwa sekelompok Jesuit telah berhasil meretas persoalan macam ini. Dimulai tahun 1996, di salah satu sudut kota Chicago, mereka mendirikan sebuah SMA Cristo Rey untuk mengangkat anak-anak dari jurang kemiskinan kronis. Data-data selama satu dekade memang menakjubkan. Drop-out rate di sekolah ini hanya 6%, yang melanjutkan kuliah 82%, 11 sekolah lain yang mengadopsi model yang sama telah didirikan, di musim gugur 2007 ini, akan dibuka 7 sekolah lagi. Tahun 2008, akan dibuka lebih banyak lagi. Akhir tahun 2006, Rev. John Foley sebagai ketua Cristo Rey Network tercatat sebagai Man of the Year versy Newsweek untuk bidang pendidikan. Di sini, kita melihat kontrasnya, bagaimana gerakan pembaharuan pendidikan menjadi buntu di negeri kita. Sementara di negara lain, justru berkembang pesat.

Ada dua alasan mendasar. Pertama, bagaimanapun juga, kita belum memiliki karisma bersama (shared charisma) atau yang sering disebut sebagai budaya korporasi (corporate culture). Dalam konteks ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu program rata-rata memiliki kemampuan dan ketrampilan yang sama; kesediaan untuk bekerja sama, saling membantu, dan saling menolong. Sikap budaya yang seperti inilah yang mendesak untuk dibangun jika yang mau dicapai adalah keberhasilan.

Kedua, keberhasilan suatu program pembaharuan juga mencerminkan konteks perekonomian yang lebih luas. Anak-anak yang masuk SMA Cristo Rey memang tidak mampu membayar uang sekolah. Namun, mereka akan dilibatkan dalam Corporate Internship Program, di mana mereka akan bekerja satu minggu sekali di sebuah perusahaan. Sebagian besar dari upah yang mereka peroleh akan dipakai untuk bayar uang sekolah. Sekalipun tidak cukup, toh ini sangat membantu untuk kelanjutan dan kelangsungan hidup sekolah tersebut.

Still on National Exams: Do we win the battle, but lose the war?

The life-cycle of the National Final Examination (NFE) is crystal-clear: when it is done, it always ends up with controversy. Many disagree with its use to determine those who pass and don’t. However, no matter how harmful the effects of the exam are and no matter how hard the criticisms are, the government remains unmoved. The national exam ritual annually repeats itself. Ideally, the exam should serve two purposes. Firstly, it provides a comprehensive and accurate portrayal of the quality of education nationwide. Secondly, based on these psychometric test results, appropriate measures are to take. The Education Department certainly could spot the poorest areas to help, and decide what appropriate policies are to take.

Unfortunately, that is not the case. So far, the NFE results are unlikely to be used to help identify the problems in different regions and to determine what help is necessary for each region. They are also not used to determine the rewards awarded to successful schools to allow sustainable development. Instead, they are merely used for a limited purpose, i.e. determining who pass and don’t. This limited use of the National Exams, or generally called as high-stakes, as shown in many incidents all over the country, has at least led to two serious negative impacts on learning process.

In the first place, meaningful learning experiences are more likely to be neglected. With the purpose of merely attaining the passing scores, many schools are forced to teach to the tests rather than make use of the effective learning period to allow students to investigate the subject matters in-depth. Merely engaging in test-taking strategy training apparently does not stimulate critical thinking and creative problem-solving skills among students. Memorizing selected materials that generally appear in the old tests does not equip students with transferrable skills in real life. This is certainly a superficial target. In the short run, it is very possible that we raise the learning “outcome” in numerical terms, but in the long run, it may be a misleading target. In other words, such a condition is best described as winning the battle, but in the same time, losing the war.

In the second place, such a product-oriented learning may develop poor attitudes toward genuine learning among students. When the emphasis in on the product, i.e. scores, many tend to neglect the process since the overemphasis on the results tends to justify the means. No matter how bad or unfair a result is obtained, as far as it is there, it is enough. The focus is merely on the form, not the essence. Furthermore, the issues on honesty, integrity, and life values do not become an integral part of the learning process. Rampant violations in the National Examination, such as a school principal stealing the test material and students collaborating during the exam or even given the answer keys, are an obvious indicator that honesty, hard work, perseverance and commitment to achieving better quality of education are easily neglected.

In brief, when the public policy is determined solely to serve short-term political targets, the outcomes will certainly be more harmful, rather than helpful. It is the students who suffer most, because they are not equipped with genuine learning experiences that lead them to be autonomous individuals. This unintended impact clearly provides a stark contrast with the real objectives of education. In this highly unpredictable world, critical thinking skills, coupled with high commitment, perseverance, and social skills (i.e. skillful team work), and supported by the spirit of honesty and integrity are the major ingredients of success. It is clear that the NFE makes the ideal qualities are getting harder to achieve for each individual.

A growing body of research show that the success of a country is not merely determined by its long standing history or its abundant natural resources. Egypt, for example, is known for its glorious records in the past. But, now, this country does not play a significant role in contemporary civilization. This is true to Indonesia as well. Without highly qualified human resources, Indonesia’s abundant natural resources will not be useful. Again, education for the whole population is one of the urgent needs to address.

Unfortunately, education is one of the most complex fields to measure. Obtaining a comprehensive and representative measurement of the educational achievement is thus always a challenge. However, many rely on product-based parameters, as shown in psychometric testing. This test method, usually employing some sorts of multiple choice types, is preferred thanks to its practicality in terms of its administration and its vast coverage. Despite its practicality, this test type is by no means flawless, since it specifically addresses limited coverage, i.e. merely gauging some amount of knowledge at the lower-order thinking skills. It does not necessarily require high-order thinking skills, such as problem-solving activities that involve inquiry-based processes, analysis, synthesis, and evaluation.

A closer look on what happens within the National Education Department itself turns to reveal a controversy. On the one hand, it supports a groundbreaking change in learning and teaching processes. As shown in the major literature released for the purpose of establishing a theoretical framework for 2004 Competency-based Curriculum, in order to boost learning process, as it claims, a number of changes were introduced. The literature is full with contemporary buzzwords such as contextualized teaching and learning, student-centered learning, broad-based education oriented to life-skills, and performance-based and portfolio-based assessments. At this point, the department seems to successfully grasp the objective reality of educational reform at classroom level that is expected to target the change in materials, methods, and conceptual beliefs (Fullan 2001). Even, in Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, which is broadly translated into school-based curriculum, it is the schools and teachers that are held accountable to determine the learning targets, what learning experiences are, and what learning assessments are. In brief, the department strongly recommends authentic learning experiences to boost the learning process.

On the other hand, it is the Department that eventually violates its own “golden rules.” No matter how meaningful the learning experiences developed by the school, the success of schooling is only determined by a single-shot national exam. This clearly indicates that the government is not really willing to provide ample room for teachers to explore, experiment, and conduct genuine learning with their students. Highly creative teachers who happen to bring groundbreaking learning experiences among students can be considered failing, when his/her students do not pass the single-shot national exam. It is a pity to see that teachers lose their prerogative rights to determine who pass and don’t, despite their being authoritative to do so. When it happens, the best that we can expect is a mediocrity syndrome in our education system, i.e. doing the most effective things to pass the exams through teaching to the tests. Teachers and schools are not wrong, since the government only targets such a short-term, short-sighted, myopic goal.

PENDIDIKAN ALTERNATIF HOMESCHOOLING: ANCAMAN ATAU POTENSI?

Seorang ibu protes karena jawaban kreatif anaknya yang masih duduk di kelas tiga SD dinilai salah oleh gurunya. Menurut sang ibu yang lulus doktoral di luar negeri itu, anaknya menjadi takut berpendapat, enggan berpartisipasi di kelas, dan tidak bersemangat dalam belajar. Di samping itu, ibu tersebut juga mencatat bahwa ada sejumlah anak yang berperilaku menyimpang. Karena secara fisik lebih kuat dari anak-anak lainnya, mereka suka mengancam dan mengutip “pajak” dari teman-temannya yang lebih lemah, entah itu dalam bentuk uang atau makanan kecil.

Gerakan pendidikan alternatif sekolahrumah (homeschooling) muncul dari berbagai persoalan seperti yang digambarkan dalam ilustrasi di atas. Banyak orang tua – terutama mereka yang berpendidikan, mengeluhkan lemahnya profesionalitas guru. Guru-guru yang lemah dalam keterampilan pedagogis dan penguasaan materi justru sering menumpulkan potensi siswa. Di samping itu, pola relasi di sekolah, yang sering tidak bisa dikontrol dan dimonitor oleh guru maupun sekolah, sering menumbulkan rasa kekhawatiran yang berlebihan.

Dewasa ini, sekolahrumah memang menjadi salah satu pilihan untuk pendidikan alternatif, terutama bagi keluarga yang memiliki modal, waktu, dan energi yang cukup untuk itu. Ada beragam model sekolahrumah, namun secara sederhana, sekolahrumah bisa digambarkan sebagai berikut. Anak dididik langsung oleh orang tuanya di rumah, dan anak tidak terafiliasi di sekolah formal. Peran orang tua sangat sentral, karena mereka bisa memodifikasi kurikulum, mengembangkan materi pembelajaran, memakai berbagai metode penyampaian, dan memanfaatkan berbagai macam penilaian belajar. Seperti di berbagai negara lain, di Indonesia pun ada sejumlah komunitas yang mewadahi kegiatan ini. Dengan berkembangnya teknologi informasi, orang tua dan anak tidak kehabisan materi pembelajaran. Namun demikian, narasumber biasanya didatangkan ke rumah bila memang anak memerlukan informasi lebih.

Namun, seberapa besar kemungkinan pengembangan pendidikan alternatif macam ini? Dampak macam apa yang akan diterima oleh siswa dan orang tua yang bersangkutan, serta sekolah pada umumnya? Seberapa jauh trend sekolahrumah ini bertahan?

Gerakan anti pendidikan massal

Pendidikan massal (mass education) muncul ketika industri manufaktur tumbuh subur. Pada era industrialisasi macam itu, orang-orang dituntut sekedar memiliki ketrampilan baca-tulis yang minim, seperti untuk memahami instruksi dalam menjalankan mesin dan mengisi pembukuan atas transaksi bisnis. Mengingat minimnya pendidikan formal, banyak anak-anak tumbuh dengan ketrampilan melek huruf yang kurang memadai. Hanya kelompok masyarakat elit yang mampu mendatangkan tutor ke rumah mereka. Dalam perkembangannya, pendidikan massal berkembang menjadi tradisi yang kuat. Karena sumber informasi terbatas, ilmu-ilmu masih diajarkan melalui hafalan. Akibatnya pengalaman belajar yang mendorong daya pikir serta pengembangan nalar kritis belum berkembang dalam pendidikan massal ini.

Tantangan dalam era informasi dewasa ini sangat berbeda dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Keberhasilan ditentukan oleh penguasaan, pengolahan, dan pemanfaatan informasi. Globalisasi telah mengubah wajah dunia yang semula terkotak-kotak oleh ruang dan waktu, kini menjadi sebuah desa raksasa. Berbagai kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun, dapat diketahui dengan cepat. Teknologi informasi yang tercermin dari telepon seluler, koneksi internet, dan komputer pribadi telah membuat pembelajaran yang mengedepankan hafalan dan ingatan semata-mata tidak cukup membekali siswa untuk memasuki dunia dengan wajah baru ini.

Tidak bisa dipungkiri bahwa semakin banyak orang tua murid yang menyadari realitas objektif dari dunia baru ini. Pendidikan formal yang cenderung lamban menanggapi cepatnya perubahan informasi dirasakan tidak cukup. Gerakan sekolahrumah berperan sebagai pendidikan alternatif untuk memfasilitasi pembelajaran yang lebih menarik, mendalam, dan juga bertanggung jawab bagi anak-anak.

Di satu sisi, perkembangan macam ini merupakan hal yang baik. Artinya, orang tua lebih berperan dalam pendidikan anak. Hubungan orang tua dengan anak pun juga menjadi lebih intensif. Anak juga memiliki peluang untuk memuaskan rasa ingin tahu tanpa harus terbatasi oleh aturan-aturan di kelas. Seperti yang diklaim oleh para orang tua yang menjalankan sekolahrumah, anak-anak terhindar dari konflik dengan anak-anak lain yang bisa jadi membahayakan.

Di lain pihak, sekolahrumah ini membawa dampak ikutan yang tidak kalah serius. Sulit dipungkiri bahwa anak bisa jadi tumbuh sebagai sosok yang sulit bersosialisasi. Terbatasnya ruang gerak yang mereka alami juga bisa membuat kepekaan sosial anak tidak terasah. Mereka menjadi “imun” atas isu-isu kemiskinan, sakit, kepedihan, kekurangan, dan realitas negatif lain dalam masyarakat.

Beberapa prasyarat

Melihat plus dan minusnya dari sekolahrumah, model pendidikan alternatif ini rupanya hanya cocok bila beberapa prasyarat berikut ini terpenuhi. Pertama, orang tua harus memiliki modal finansial dan latar belakang pendidikan yang memadai. Model pendidikan alternatif ini tidak murah. Akses internet, penyediaan sumber-sumber belajar, biaya tutorial dari narasumber yang terpilih adalah sejumlah dana yang harus disiapkan. Kedua, orang tua juga harus membangun jaringan dengan berbagai pihak, seperti pelaku sekolahrumah yang lain, untuk berbagi materi dan berinteraksi antara sesama anak sekolahrumah. Interaksi nyata dengan anak-anak seusia yang lain di luar rumah merupakan kebutuhan dasar demi perkembangan sosial anak. Ketiga, Dinas Pendidikan sudah semestinya mewadahi dan memberikan rambu-rambu untuk pelaksanaan rumahsekolah macam ini. Bagaimana nasib peserta sekolahrumah bila mereka akhirnya tidak berhak mendapatkan ijazah?

Berbagai pendidikan alternatif, seperti rumahsekolah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan yang lainnya, tidak akan pernah mampu menggeser keberadaan sekolah formal (mainstream). Namun, model-model tersebut juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Orang tua, guru, sekolah, dan Dinas Pendidikan pun sudah selayaknya belajar dari gerakan-gerakan seperti itu. Kelompok-kelompok seperti itu biasanya dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki idealisme dan kepercayaan diri yang tinggi. Mereka berani membuat berbagai terobosan dalam pembelajaran tanpa harus merasa dibatasi oleh beragam aturan main. Mereka berani menentukan kurikulum sendiri, mengembangkan metode pembelajaran yang kontekstual, dan membuat alat ukur pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan. Layak dicatat juga, mereka juga tidak segan-segan berbagi pengalaman kepada khalayak umum. Sebagai ilustrasi, dengan mesin pencari google.com, silahkan ketik kata kunci “homeschooling Indonesia” anda akan mendapatkan lebih dari 210.000 links yang menyediakan informasi tentang sekolahrumah ini.