Friday, October 26, 2007

Memang, menghakimi lebih mudah daripada memahami

Menurutku, judul skripsi dari salah seorang mahasiswa yang mau maju pendadaran skripsi bulan Oktober ini cukup unik. Aku sendiri lupa dengan formulasi detailnya, namun secara umum seperti ini … developing a set of instructional materials … to teach life values … bla bla bla … Uniknya, bila aku merasa tertantang dengan judul yang “berani dan khas” macam itu, justru wacana komunitas dalam sebuah Ruang Dosen di sebuah Prodi yang “hebat” sebaliknya. “Ini ngapain sih anak … kok gaya-gaya dengan judul yang aneh-aneh. Sok-sokan melulu. Anak-anak sekarang ini aneh-aneh saja.” Intinya, si anak dinilai salah karena ngowahi padatan – menghancurkan tradisi. Kreativitas adalah dosa. Komentar yang miring, dan bahkan ditelingaku sangat miring. Tidak adil. Aku merasakan lidahku terasa kelu. Ludah terasa getir. Dan aku merasa tidak berdaya. Diam. Membisu. Apalagi suara-suara yang lain, dengan nada yang beragam, menimpali. Ada yang sangat menyetujui dengan pendapat yang dilontarkan. Ada yang mencoba menetralisir. Namun, bagiku sama saja.

Bung, dunia memang sudah berubah!
Benar. Perlu kejujuran dan keberanian untuk mengakui bahwa dunia sudah berubah. Anak-anak tumbuh dengan kecepatan yang jauh lebih cepat daripada yang kita duga. Nutrisi yang jauh lebih bermutu membuat pertumbuhan fisik mereka lebih cepat. Siklus menstruasi sudah menyambangi anak-anak perempuan di SD. Juga pola relasi antar manusia. Sekarang ini semangat egalitarian jauh lebih berterima. Relasi bos dan anak buah tidak “saklek” instruktif semata. Ada komunikasi, negosiasi, dan upaya saling memahami. Bukannya mempertahankan posisi bos sebagai sosok tak tersentuh (intangible). Dengan segala keputusan yang tidak bisa salah!

Harus diakui, gerakan dan semangat egalitarian itu sudah menyelinap ke mana-mana. Tidak hanya di tempat kerja. Namun juga di rumah. Di sekolah. Di ruang kelas. Dalam kondisi macam ini, timbul pertanyaan menarik. Seberapa mampu kita menangkap nuansa jaman yang sedang bergerak ini? Akankah kita gagal membaca tanda-tanda jaman yang sudah berubah ini? Kegagalan ditandai dengan ketidakmampuan memaknai perubahan. Kegagalan muncul dalam kebiasaan memandang hal yang ada dari sudut pandang negatif. Kegagalan berkembang pesat ketika seluruh wacana komunitas tidak kritis, hanya sekedar ingin aman dan tidak berani mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kegagalan akan menjadi nasib buruk bila kita senantiasa memandang bahwa sesuatu yang datang dari orang-orang yang lebih muda harus selalu dikritisi habis-habisan.

Butuh usaha bersama
Dari situative perspective yang muncul dari karya Vygotsky pada tahun 1930-an, diyakini bahwa kemampuan dan kemajuan dalam hal berpikir, memahami persoalan, mencari pemecahan atas persoalan yang dihadapi, dan menyikapi terhadai hasil proses tersebut, sangat ditentukan oleh wacana komunitas. Secara sederhana, bila wacana komunitas lebih menyukai gosip-gosip slapstick gaya tayangan liputan selebritis, pada tingkat itu pula lah kemampuan berpikir kita berkembang. Sebaliknya, bila wacana komunitas lebih menyukai perkembangan dan hal-hal positif lainnya, kemampuan kognisi kita pun juga berorientasi ke sana.

Hidup adalah pilihan. Begitu orang bijak bilang. Tidak salah memang, karena kita memiliki kebebasan untuk bersikap dalam kondisi apapun yang kita hadapi. Seperti apa sikap yang mau kita ambil dalam peningkatan profesionalisme sebagai guru? McLaughlin and Talbert (1994) mengajarkan setidaknya tiga aspek yang mestinya akan berkembang dalam lingkup komunitas profesional. Kita diharapkan mengembangkan ketrampilan technical culture. Itu artinya kita memiliki kemampuan untuk menjalankan hal-hal teknis yang rutin dalam mengajar. Bisa membuat perencanaan yang baik. Bisa menjalankan proses pembelajaran yang memadai. Bisa mengadakan evaluasi belajar yang tepat dan memberikan umpan balik (koreksi) tepat waktu. Hal berikutnya, dan ini yang paling sulit, adalah kemampuan dan keberanian untuk mengembangkan service ethics. Ada dua aspek yang perlu diangkat di sini, yaitu high expectations dan care. Artinya apa? Dari dalam diri kita, kita sudah meyakini bahwa anak didik kita memiliki potensi dan kemungkinan untuk berkembang. Potensi dan kemungkinan itu baru bisa menemukan titik-titik kepenuhannya bila kita betul-betul care. Memiliki semangat untuk memahami mereka Dengan segala kerendahan hati mendengarkan apapun yang mereka hadapi dan kesulitan yang menghambat mereka. Sejelek apapun mereka, mereka tetap sosok-sosok yang tidak sepantasnya dipandang rendah. Dan ini letak kesulitannya, karena ini mengandaikan perubahan paradigma hidup.

Dampak dari aspek kedua ini jelas. Kita tidak selayaknya membentak-bentak siswa seakan-akan kita adalah dewa yang paling benar sendiri. Kalaupun ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita, mengapa tidak membuka forum komunikasi? Akan jauh lebih bijaksana bila kita bisa menerapkan pola komunikasi interaktif. Tidak mudah, dan banyak dari kita akan dengan segera mengesampingkan rekomendasi ini. Namun, bagiku, tidak ada alasan sedikitpun untuk menolak ide ini. Menghargai harkat dan martabat manusia atau nguwongke orang lain adalah salah satu credo yang membuat alasan bagiku untuk selalu berjuang terus.

Hal ketiga yang ditawarkan oleh McLaughlin dan Talbert (1994) adalah profesional growth. Ini bukan hal yang terlalu sulit, karena kita sudah melakukannya. Makin banyak dosen yang mengadakan penelitian. Dengan difasilitasi dengan laptop dan ketersediaan jaringan teknologi informasi, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak meningkatkan kualitas kita sebagai dosen.
Sekali lagi, pilihan mana yang kita mau ambil? Pilihan yang mengedepankan hal-hal positif, bersifat substansial dan menentukan arah perkembangan kita dalam menciptakan masyarakat yang lebih menghargai, menghormati perbedaan, dan mendorong kemajuan? Atau sebaliknya, pilihan yang mengedepankan hal-hal sensasional, yang sekedar menyenangkan hati ini sesaat, yang justru tidak mendorong daya kritis kita berkembang pesat?

Untuk satu hal, aku berseberangan dengan Alm. Riswandha Imawan, seorang profesor progresif dari UGM yang meninggal pada usia muda. Eagles fly alone. Begitu slogannya. Aku tidak setuju. Itu seruan elitis. Diasumsikan bahwa hanya ada sedikit orang yang layak untuk maju dan berkembang. Sebaliknya, kita harus menciptakan lingkup kerja yang dinamis, yang memungkinkan siapapun merasa nyaman untuk maju. Sekalipun yang dibuatnya berbeda, kita toh tetap harus menerima perbedaan sebagai berkat, bukan musibah dan ancaman.

Kejamnya rumah sakit

18 Oktober 2007
Akhirnya satu potong drama dalam kehidupan kami berakhir. Hari Minggu, 15 Oktober 2007 siang – begitu Rio kencing bercampur darah – hati kami terasa tercabik-cabik. Suara Rio yang biasanya ringan penuh canda-tawa-ria, tiba-tiba bergetar penuh kesakitan. Satu dua tetes kencing campur darah masih terlihat. Aku peluk dia penuh rasa sayang. Hatiku teriris oleh tangis kesakitan dan degup jantungnya yang berdetak begitu cepat.
Drama masih berlanjut. Kami membawa Rio ke rumah sakit swasta ternama di kotaku. Harus aku akui, aku buta sama sekali dengan urusan kesehatan. Dan kebutaan tersebut tidak memungkinkan aku tetap kritis dalam memahami persoalan. Oleh karena itu, kehadiran seorang teman yang kebetulan adalah seorang paramedis dari sebuah rumah sakit pemerintah di Semarang sangat membantu. Dia dengan setia menemani kami yang kebingungan.
Pihak RS memberi informasi yang jelas. Anak kami harus diopname. Pada hari kedua Lebaran, tidak ada dokter ahli bedah yang stand by. Yang memberi rekomendasi dokter umum yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, Rio kami bawa pulang – dengan resiko apapun yang bisa terjadi. Alasannya jelas, dengan diopname pun, Rio tidak dengan sendirinya sembuh. Artinya, opname pun sekedar bobok manis, tanpa ada tindakan khusus untuk penyembuhan. Dan sekalipun ada, itu tidak lain hanya sekedar mengurangi rasa sakit. Operasinya saja baru bisa hari Selasa jam 2 siang. Itu artinya bahwa kami harus menginap di RS selama dua hari.
Selain itu, alah mak … kami terkesiap dengan prakiraan biaya yang harus ditanggung. Untuk operasi saja diperkirakan sampai mencapai Rp. 6.500.000,- untuk kelas 1 dan utama. Untuk kelas II biaya turun satu juta rupiah. Belum lagi biaya inapnya yang mencapai minimal Rp. 155.000/hari. Untuk kelas I, biayanya pun menjerat leher: Rp. 400.000,-/hari. Masih ditambah lagi biaya perawatan, laborat dan beban psikis yang harus kami tanggung.
Hati kecil ku menjerit. Kenapa begitu mahal? Tapi dengan cepat aku mencoba untuk mencari jawaban. Sekilas, aku teringat beberapa waktu lalu ada buku nakal yang ditulis oleh seorang yang sangat gerah melihat praktek-praktek kesehatan di negeri ini. Kalau tidak salah judulnya Orang Miskin Dilarang Sakit. Barangkali aku memang perlu membaca buku itu.
Pikiranku melayang bebas. Bagaimanapun juga, dengan gaji terpotong sampai 60% untuk cicilan rumah, kami mau tidak mau harus hidup dengan sangat hemat. Semua pengeluaran harus diperhitungkan. Kebutuhan-kebutuhan sosial yang tidak jarang cukup besar memang tidak bisa dihindari. Namun untuk kebutuhan dasar, kami memang mencoba untuk mengencangkan ikat pinggang. Gaji yang aku peroleh hanya cukup untuk tiap bulannya. Itupun dengan hampir tidak ada simpanan sama sekali. Apalagi, mulai bulan September lalu, kami memutuskan untuk mengikuti program asuransi. Jadi, gaji memang menjadi terlalu kecil untuk dipakai memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Memang, untuk satu hal, kami sudah cukup aman. Rumah yang kami punyai sudah lebih dari cukup. Dengan luas areal tanah mencapai 300 m2 dan sekitar 140m2 luas bangunannya, kami sudah cukup nyaman. Dan itulah yang membuat kami merasa aman. Bagaimanapun juga, dengan hasil gaji yang kecil, kami sudah tinggal di rumah sendiri. Sekalipun kami harus mencicil pinjaman dari Bank untuk melunasi hutang pembuatan rumah kami, kami pun sudah siap dengan resiko hidup sederhana.
Namun, sakitnya anak tentu tidak masuk skenario. Apalagi setelah membuat kalkulasi singkat bila Rio sampai tiga hari menginap di RS, angka yang muncul memang membuatku terperangah. Minimal Rp. 10 juta. Aku tidak habis pikir. Harus aku akui, aku masih punya uang sejumlah itu. Tabungan khusus yang aku sisihkan secara khusus untuk istri cukup. Bahkan aku masih menyimpan uang US$ 1.400,-. Tapi itu untuk jaga-jaga ketika aku pergi sekolah lagi nantinya. Bukan untuk hal mendadak seperti ini.
Dalam kebingungan tanpa batas, dan juga keprihatinan atas tidak adilnya dunia terutama dalam kaitannya dengan urusan kesehatan macam ini, akhirnya aku mengontak kakak ipar istriku yang bekerja di salah satu RS pemerintah. Terus terang saja, kami sudah merasa was-was bahkan ketika mendengar nama RS itu disebut. Begitu banyak cerita menyeramkan dari sosok RS pemerintah. Entah itu menyangkut dengan kebersihan bangsal, kinerja para dokter mudanya yang belum tentu berpengalaman, pelayanan yang sangat birokratis-rumit-dan tidak ramah. Ada berjibun alasan untuk mengatakan tidak. Namun, angka rupiah yang harus kami tanggung di salah satu RS swasta tersebut membuat kami memberanikan diri untuk mengadu nasib ke RS pemerintah.
Dan memang itulah yang kami lakukan. Apakah hasilnya lebih baik? Tentu terlalu dini untuk menjawab itu semua. Yang jelas, dari perhitungan matematis finansial, hasilnya jauh lebih memuaskan. Kami harus membayar Rp. 2,080.000,- untuk total pengobatan. Angka itu “hanya” 20% dari jumlah keseluruhan yang diasumsikan harus kami bayar di sebuah RS swasta ternama tersebut.
Untuk satu hal kami sudah bisa bernapas lega. Satu urusan selesai. Rio kami bawa pulang begitu dampak anestesinya sudah beranjak pergi darinya . Dengan ditemani Gun dan Lian, kami susuri jalan beraspal pinggir selokan. Rio tampak begitu lemah di pangkuan mamanya. Aku pun tidak punya alasan untuk terburu-buru. Waktunya yang tersedia cukup panjang. Jam 2 siang, hari Rabu, 17 Oktober 2007, kami meninggalkan RS. Sementara aku akan ada kelas jam 4 sore. Masih cukup waktu. Sengaja kami tidak memakai taksi, karena toh jalanan lebih banyak macetnya. Mudik Lebaran masih memadati jalanan. Selain memang tidak ada harga yang murah untuk segala jenis pelayanan, termasuk taksi.
Untuk hal lain, aku masih terbebani. Bayangan keprihatinan seorang penulis Orang Miskin Dilarang Sakit betul-betul aku rasakan. Aku merasa malu. Kenapa aku baru berempati begitu mengalaminya? Aku menyadari kebodohan diriku sebagai manusia yang lebih sering memakai “proximity reasons” untuk menjelaskan berbagai fenomena dalam hidup. Bila terjadi bencana di suatu tempat yang jauh, ada kecenderungan untuk membela diri, “Ah bencananya kan tidak di sini. Kenapa harus begitu peduli.” Dan bila bencananya terjadi di dekat kita, ada kecenderungan untuk berkilah, “Bencana itu kan tidak terjadi pada keluarga kami. Itu kan orang lain.”
Ini lah realitas dalam hidup. Teman paramedis yang dengan setia menunggui kami dalam proses pemeriksaan hari Minggu sore di Instalasi Gawat Darurat itu sempat mengeluarkan pernyataan ironis. “Dokter yang jadi bosku itu,” begitu katanya pada istriku, “mendapat bonus Rp. 25 juta/bulan dari berbagai “deal-deal” seperti resep-resep dan lain-lainya. Bonus itu artinya uang di luar gaji lho.” Dia juga sempat tersenyum pahit menertawakan dirinya karena dia juga bukan seorang malaikat yang selalu bersih. Karena bagaimanapun juga dia ikut “kecipratan” rejeki dengan bekerja di sebuah RS pemerintah di Semarang. Ada sejumlah uang “haram” yang dia peroleh tiap bulannya di luar gajinya. Bagaimanapun juga dia ikut dalam sistem yang tidak bisa ditentangnya. Dia mau tidak mau ikut membesarkan suatu praktek “pemerasan” terhadap orang-orang yang miskin tersebut.
Yah, dalam permenunganku ini, barangkali yang paling tepat untuk menggambarkan hidup kita sebagai manusia adalah seperti ini: kita masuk ke dalam lingkaran permainan. Permainan macam apa yang hendak kita ikuti? Aku sendiri sudah merasa “diplot” untuk ikut permainan di sebuah institusi pendidikan tinggi swasta. Dari kecil aku dididik dengan keras, dan diajari untuk lebih menghargai kerja keras daripada sejumlah uang yang aku peroleh. Selain itu, dengan dibesarkan di daerah pegunungan, pekerjaan fisik pun juga bukan suatu hal yang layak untuk dihindari. Ngepel, nyuci, dan membersihkan rumah sendiri – untuk family welfare – bukanlah hal yang berat untuk dilakukan. Aku belum merasa perlu punya pembantu dan mesin cuci. Kami masih bisa melakukannya sendiri.
Orang lain barangkali “diplot” untuk mengikuti pola kehidupan yang lain. Orang tua yang memiliki ambisi luar biasa. Mendidik anaknya untuk kerja keras. Menilai keberhasilan hidup dari hal-hal yang terukur, entah itu dalam jumlah gaji besar ataupun hal-hal yang bisa terraba (tangible) seperti properti atau kendaraan. Dikirimkan ke sekolah kedokteran dengan biaya yang teramat sangat besar. Pendidikan kedokteran adalah investasi besar. Dan karena investasinya besar, oleh karena itu perolehannya pun juga besar. Atau lebih pasti lagi: karena investasinya besar, oleh karena itu perolehannya pun juga HARUS lebih besar. Dengan demikian, apapun kenyataannya, hasilnya pun juga HARUS besar. Apakah itu merupakan suatu kebenaran umum? Entahlah. Namun, yang terjadi sekarang ini, pelayanan kesehatan benar-benar mencekik dan tidak bisa diterima dengan akal sehat!
Apakah bidang kesehatan bisa dikatakan sebagai sebuah mafia? Entahlah. Aku sendiri tidak berani melabelinya dengan istilah itu. Namun, realitasnya barangkali memang demikian. Aku sendiri, sebagai orang yang pernah hidup di negeri orang dan mencicipi pendidikan tinggi yang lumayan prestisius, tetaplah orang bodoh ketika harus berurusan dengan masalah kesehatan. Nah, kami-kami yang bodoh ini menjadi sasaran empuk dari sistem yang ada. Alasannya sederhana: kami tidak punya nilai tawar. Kami tidak punya pengetahuan yang memadai untuk membuat posisi kami lebih kuat. Jadi, tidak ada salahnya sebenarnya kalau kami selalu dikadali.
Namun, tentu tidak adil juga menghakimi posisi dokter. Posisi seorang dokter tidaklah terlalu istimewa dalam sistem yang tidak adil ini. Dia hanya satu sekrup dari mekanisme “assembly line” yang ada dalam sistem pengobatan. Dia dipakai sebagai alat yang paling mujarab untuk promosi dan penjualan produk-produk obat dari berjibun pabrik obat yang dengan rakusnya ingin mengeruk keuntungan. Mereka saling bersaing, bahkan barangkali saling sikut-menyikut bila diperlukan. Dokter dimanja dengan berbagai bonus bila mampu memasarkan produk-produk yang mereka hasilkan. Dilihat dari satu sisi ini, dokter tampak justru sebagai korban. Korban sistem yang tidak adil.
Cukup menarik ketika seorang mahasiswa Extension Course berkomentar dengan cerita ku ini. Seorang temannya yang jadi dokter memilih untuk tidak jadi korban dari sistem ini. Setiap kali merekomendasikan obat, dia selalu membuka konsultasi tentang berbagai kemungkinan. Dan dia tidak mau menerima tips secara berlebihan dan tidak adil ini. Dia sangat paham betul tentang politik kadal-kadalan yang dibuat oleh sistem kesehatan ini. Namun, suara hati nurani yang kecil benar-benar dia dengarkan. Suara itu tidak lagi kecil, karena selalu mengingatkan dia untuk memiliki empati dengan orang lain, terutama dengan mereka yang sakit. Empati yang datang bukan semata-mata karena “proximity reasons”. Tetapi lebih dari kemurnian hati. Dari kesediaan hati untuk mendengarkan orang lain.
Masih adakah hati untuk mendengarkan keluhan orang lain? Tanyakan pada Ebiet G. Ade, dan dia akan menyuruh kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Dan dunia ini tidak cukup memberi makan untuk seluruh umat manusia, karena ada begitu orang yang mengambil lebih dari jatah yang semestinya cukup untuk diri mereka. Begitu Mahatma Gandhi mengingatkan kita. Bersediakah kita mendengarkan?

Pergulatan mencari makna hidup

Belajar dengan sepenuh hati
Berbagi dengan suka cita
Beraksi dengan berani

Hidup tidak lebih dari upaya mencari makna dan jati diri (struggle for existence). Apa yang terjadi pada hari ini bukanlah sekedar kebetulan, karena semua hal di dunia memiliki masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Beragam pengalaman hidup yang telah membentuk diri kita telah menciptakan pola pikir, pola bertindak, dan strategi pemecahan persoalan yang kita hadapi. Dampaknya nyata. Pengalaman yang dialami secara bersama-sama bisa bermakna sangat berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Tidak lain dan tidak bukan, hal itu disebabkan karena keunikan diri kita yang telah membuat kita memiliki pola yang khas dan unik.

Keterlibatan kita dalam the Indonesia Secondary Education Development Program (ISEDP) pun juga bisa dimaknai dalam perspektif macam ini. Dalam sejarah hidup masing-masing individu yang terlibat dalam program ini, pasti sudah ada potongan-potongan (snapshots) pengalaman yang bila dilihat secara reflektif, akan menampilkan mosaik yang menggambarkan alasan keterlibatan kita dalam program ini.

Tidak mudah memang mereka-reka serpihan demi serpihan pengalaman kecil untuk membentuk satu mosaik yang layak untuk dinikmati. Diperlukan keberanian dan kejujuran – yang kadang terlalu mahal harganya – untuk mengakui kedirian kita apa adanya. Dan dalam tulisan ini, saya mencoba menguraikannya melalui berbagai pengalaman yang saya coba maknai dari perspektif pengalaman pribadi. Apapun nada yang terdengar dari uraian pengalaman personal ini, entah itu sumbang atau tidak terlalu nyaman untuk dinikmati, saya harap itu diterima sebagai realitas faktual. Di sini, saya mencoba untuk jujur pada diri sendiri. Saya tidak memungkiri kemungkinan interpretasi apapun karena pengalaman yang terdengar terlalu personal ini. Namun tidakkah banyak perubahan besar dalam sejarah di dunia justru muncul dan diperkuat dari naratif personal macam ini? Tulisan pribadi yang sangat personal dari seorang budak pelarian Frederick Douglas pada awal Abad XIX di Amerika Serikat telah memfasilitasi gerakan penghapusan perbudakan Kulit Hitam di Amerika Serikat.

***

Tahun 1994, sewaktu kaki ini pertama kali menginjak wilayah Universitas Sanata Dharma (USD), api di dada meletup-letup hebat. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dan satu-satunya yang mendapat kesempatan meraih gelar S1, saya akan belajar bahasa Inggris – di salah satu tempat “terhebat” untuk mengasah keterampilan dan pengetahuan Bahasa Inggris. Untuk apa? Saya tidak berani mengatakan mau menjadi guru, sekalipun saya sendiri sengaja mengambil Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Alasannya sederhana, PBI USD merupakan tempat terbaik untuk belajar Bahasa Inggris yang pernah saya dengar. Selain itu, saya tidak yakin apakah profesi mengajar memang sesuai dengan ciri khas, aspirasi, semangat, dan juga cita-cita hidup saya. Tentu, motivasi yang paling besar adalah keinginan untuk menguasai bahasa Inggris. Tidak lebih. Dan setelah itu, mau jadi apa, entahlah. Satu hal lain yang masih tersimpan di lubuk hati dalam-dalam, waktu itu saya sendiri ingin jadi wartawan, yang tulisannya banyak dan bisa membantu membuka mata publik terhadap berbagai persoalan hidup.

Namun, sejarah hidup membuktikan lain. Selama sembilan semester, saya selesaikan studi S1 di PBI. Tidak seideal dengan waktu yang saya bayangkan sebelumnya. Tapi hal yang sampai sekarang masih saya kenang, waktu itu pencapaian akademis jauh mengatasi apa yang semula saya targetkan di semester satu. Namun demikian, saya bukanlah sesosok kutu buku yang menutup diri dari interaksi dengan orang lain. Selama masa studi itu pula saya telah bergelut dengan berbagai pengalaman mengajar dan berinteraksi dengan orang lain. Pernah saya menjadi salah satu guru ekstrakurikuler di SMA I Teladan Jogja selama satu tahun (Semester 4 dan 5). Pernah juga terlibat dalam kegiatan English Action Days – satu kompetisi Bahasa Inggris tahunan yang diadakan untuk siswa-siswa SMA. Pernah juga menjadi koordinator tata tertib dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru (Semester 6). Pernah mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak SD Kanisius Demangan (Semester 7 dan 8). Pernah juga mengajar Bahasa Indonesia untuk orang-orang asing di sebuah lembaga bahasa di Demangan (Semester 8 dan 9). Di samping itu, sayapun juga sempat menerima terjemahan – suatu pekerjaan yang sangat menyita waktu, berat, dan kadang dengan bayaran jauh di bawah standar. Bahkan pernah seorang kolonel yang sedang kuliah S2 di salah satu universitas ternama di Jogja pergi dengan terjemahan satu bab dengan tidak membayar!

Berbagai pengalaman yang saya alami selama kuliah S1 telah mengajari saya untuk selalu siap untuk berubah dan diubah. Kapanpun, di manapun, dan dengan konsekuensi apapun, kerelaan untuk membantu, keterbukaan terhadap masukan, dan kesediaan untuk berkorban dan mengupayakan yang lebih baik menjadi agenda utama yang selalu menggerakkan saya. Dengan semangat itu pula, saya tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan hidup yang datang silih berganti.

Namun, jalan hidup tidak dengan sendirinya jelas begitu saya menyelesaikan studi. Berbekal beragam pengalaman di sana-sini dan juga cita-cita terpendam untuk menjadi wartawan, saya tidak memiliki rencana pasti ke mana langkah kaki ini hendak saya ayunkan. Sekalipun tawaran untuk menjadi staf pengajar di alma mater datang sebelum studi selesai, saya belum berani membuat keputusan yang pasti. Melihat kebimbangan macam ini, seperti biasanya, kata-kata lugas dari Bapak menampar kesadaran saya, “Tidak ada salahnya menjadi orang penuh syukur. Ketika banyak orang bingung mencari pekerjaan, kamu justru ditawari pekerjaan. Tidakkah itu rahmat yang sudah selayaknya disyukuri?” Pertanyaan retoris yang khas dari Bapak. Dia memang jarang menghendaki jawaban verbal dari anak-anaknya. Dia menghendaki diri saya untuk merenungkan pesannya.

Memang, Bapak selalu menggunakan kata-kata lugas. Apa adanya. Tanpa tedheng aling-aling. Tahun 1999, pengangguran merebak sebagai akibat krisis moneter yang membawa dampak tragis bagi jutaan penduduk Indonesia. Banyak yang kehilangan pekerjaan. Bahkan banyak dari orang-orang yang sudah cukup mapan harus kehilangan rumah dan tempat usaha mereka karena aksi anarkisme satu tahun sebelumnya. Trauma masih menjadi pengalaman nyata. Begitu banyak orang butuh pekerjaan, tetapi diri saya?

Jadilah saya seorang guru. Cita-cita untuk mengadu nasib menjadi seorang wartawan untuk sementara saya tinggalkan. Namun, menerima posisi guru sebagai profesi bukan berarti bahwa persoalan selesai. Selalu saja ada yang mengganjal. Dan kegalau-cemasan macam ini bukan tanpa alasan. Seperti yang dialami oleh siapapun yang memasuki dunia profesi keguruan, ada waktu-waktu ketidaknyamanan dan ketidakpastian yang saya rasakan. Bahkan, menurut penelitian, rata-rata para guru membutuhkan setidaknya enam tahun untuk menemukan cara terbaik untuk mengajar.

Dua tahun pertama mengajar di alma mater pun juga dipenuhi dengan ketidakpastian, ketidakyakinan, dan juga ketakut-raguan. Dalam kondisi rentan macam ini, tidak salah kalau saya pun sekedar melanjutkan tradisi yang saya lihat dan rasakan. Saya mengajar sesuai dengan cara dosen mengajar saya sebelumnya. Apa yang dikatakan baik dan diterima umum saya jalankan. Apa yang dianggap tidak baik pun saya hindari. Dengan kata lain, saya sendiri tidak lebih dari sekedar memfotokopi apa yang saya terima sebelumnya. Di situ belum ada tinjauan kritis. Hanya sekedar mekanis. Kapan harus membagikan silabus. Kapan ujian tengah semester. Kapan ujian akhir. Kapan nilai harus dikeluarkan. Semuanya serba mekanis. Disiplin keras saya jalankan. Tidak ada kompromi sama sekali. Mahasiswa PBI angkatan 1999 menjadi saksi hidup atas pengalaman mengajar saya pada semester pertama mereka. Mereka merasakan betapa disiplin-nan-kaku saya jalankan tanpa mengenal kompromi. Kelas menjadi tegang. Para mahasiswa tidak cukup menikmati proses pembelajaran.

Di waktu-waktu berikutnya, saya baru menyadari bahwa apa yang saya lakukan tersebut merupakan fenomena alamiah dalam lingkup pendidikan. Di mata para tokoh mazhab teori kritis seperti Foucault dan Bordieu, praktek pengajaran dan pembelajaran tanpa kesadaran dan tinjauan kritis dari pelaku pendidikan tersebut menjadi legitimasi terhadap berlangsungnya fenomena pendidikan sebagai reproduksi kultural. Pendidikan gagal mengemban misi sebagai agen perubahan, namun alat yang canggih untuk mempertahankan status quo.
Pada tataran praktis, saya sendiri tidak merasa nyaman dalam posisi saya sebagai seorang guru yang minim pengalaman. Saya merasa ada yang hilang. Untuk satu hal, dalam hati saya bertanya, “Layakkah seorang lulusan S1 mengajar mahasiswa-mahasiswa S1? Tidakkah itu berarti orang buta menuntun orang buta?” Saya merasa belum cukup bekal. Akhirnya, seperti orang-orang lain, saya pun mulai berjibaku mencari beasiswa untuk studi lanjut. Percobaan pertama tampaknya lancar. Lamaran yang saya ajukan ke Groningen Universiteit di Negeri Belanda langsung diterima. Hati ini berbunga-bunga. Namun, itu terbukti hanya menjadi kegembiraan semu dan terlalu dini. Ada e-mail yang masuk mailbox. Informasinya jelas. “Setelah dicek oleh NUFFIC (semacam lembaga penilai transkrip nilai di Belanda),” begitu penjelasannya, “dengan ini, pihak Universitas Groningen mencabut kembali keputusan penerimaan Anda di bidang Euroculture.” Mengecewakan. Namun saya tidak putus asa.
Tahun berikutnya, saya mencoba mengajukan lamaran beasiswa ke AUSAID – beasiswa yang disediakan oleh Pemerintah Australia. Tidak ada kabar sama sekali. Pada tahun yang sama pula, Rm. Paul Suparno, S.J., yang waktu itu masih menjabat sebagai dekan FKIP USD, mengundang beberapa dosen FKIP untuk mencoba melamar beasiswa dari Boston University. Bersama dua kolega yang lain, akhirnya saya mencobanya. Kali ini, Dewi Fortuna nampaknya sedang baik hati. Beasiswa dari keluarga Stephens tersedia untuk saya. Beasiswa untuk mengenang Kelly Elizabeth Stephens yang meninggal akibat kecelakaan ketika mendaki Gunung Anak Rakata di Selat Sunda itu sebelumnya telah diterima oleh dua senior saya dari USD. Pak Barli dari PBI dan Bu Wanti dari Pendidikan Matematika. Keduanya masih di Boston waktu saya tiba di sana. Tiga minggu sebelum peristiwa yang menggegerkan dunia, 11 September 2001, saya menginjakkan kaki di Boston.

Di sebuah universitas yang didirikan pada tahun 1839 ini, saya mengalami berbagai pengalaman unik yang pada gilirannya akan memoles diri saya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, saya merasakan seperti apa sesungguhnya sebuah kelas yang benar-benar mendorong perkembangan siswa-siswanya. Seorang profesor yang lebih layak disebut sebagai nenek begitu mudah memuji daripada menemukan kesalahan dari para mahasiswanya. Untuk pertama kalinya, saya merasa “merinding” karena sang profesor tersebut mengakui bahwa saya akan tumbuh menjadi seorang penulis yang baik nantinya. Dan itu dikatakannya di depan kelas! Saya merasa diuwongke.

Pencarian makna tidak pernah berakhir. Pengalaman diuwongke selama kuliah di negeri orang mengubah pandangan saya terhadap pola relasi yang semestinya terjalin antara dosen dan mahasiswanya. Memang, saya masih dikenal dengan tuntutan yang tinggi terhadap usaha dan komitmen mahasiswa dalam belajar. Saya pun tidak pernah menurunkan kualitas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dalam ujian pendadaran skripsi. Namun, saya berupaya keras untuk tidak menjatuhkan mental mahasiswa yang maju ujian skripsi. Saya belajar untuk menciptakan situasi yang nyaman, sehingga mahasiswa justru merasa bebas untuk berekspresi. Tanpa harus merasa tertekan karena terteror oleh situasi yang tidak nyaman. Saya lebih memilih untuk mendengarkan dan mengapresiasi apapun upaya yang dilakukan oleh mahasiswa. Ini merupakan hal yang tidak mudah, mengingat budaya kita justru mengajarkan kita untuk segera menemukan kekurangan daripada menghargai kebaikan – sekecil apapun bentuk kebaikan yang telah dilakukannya.

Dua tahun selesai studi lanjut, ada bonus pengalaman yang luar biasa. Saya mendapatkan kesempatan untuk belajar hal yang lain. Menjadi pejabat! Sungguh di luar dugaan. Saya belum pernah menduduki jabatan apapun, namun kemudian melompat untuk menduduki posisi sebagai Pembantu Dekan III di FKIP. Saya merasa beruntung bisa langsung belajar dari sosok Pak Sarkim yang di mata saya sangat komplet. Kemampuan, komitmen, tanggung jawab, dan energi yang seakan tidak ada habisnya berhasil mengubah citra FKIP yang tua menjadi segar, penuh vitalitas, dan juga kepercayaan diri. Kantor dekanat juga menjadi tempat yang nyaman dengan gelak tawa yang segar di sela-sela kesibukan dan berbagai macam tuntutan yang harus segera ditangani. Dua kolega yang lain, yaitu Pak Adimassana sebagai PD I dan Bu Retno Priyani sebagai PD II, adalah dua sosok yang selalu mengedepankan toleransi. Suasana kerja di sekretariat dekanat pun lebih bernuansa segar, bukannya dibatasi oleh sekat-sekat psikologis akibat relasi atasan-bawahan yang kaku.

Saya memang tidak terlalu lama duduk di kursi PD III, karena jabatan itu dihapus dengan diberlakukannya sistem baru. Namun, pengalaman bekerja selama kurang lebih 18 bulan di tingkat dekanat telah meninggalkan bekas yang luar biasa mendalam. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya berlatih untuk melihat persoalan dari sudut pandang yang lebih luas (helicopter view). Harus saya akui, ilmu linguistik terapan dan pengajaran Bahasa Inggris yang telah saya geluti selama ini memang dengan mudah menjebak saya ke dalam hal yang sangat-sangat detail. Tidak salah tentu saja, karena kemampuan dan keterampilan untuk memperhatikan hal-hal yang sangat mendasar itulah yang dibutuhkan untuk penguasaan Bahasa Inggris. Namun, hidup ini terlalu kompleks dan tidak bisa serta merta direduksi ke dalam satu area saja. Oleh karena itu, belajar untuk melihat persoalan secara lebih luas dan komprehensif wajib dilakukan untuk menjamin keseimbangan.

Waktu bergulir tanpa henti. Kehidupan pun mengalir. Pencarian makna hidup pun selalu saja menemukan ruang geraknya. Hampir empat tahun berlalu sesudah saya menyelesaikan program S2. Rupanya, waktu empat tahun mengajar telah memberikan berbagai pengalaman dan kepercayaan diri untuk mencoba peruntungan lain: studi doktoral. Saya sudah cukup meyakini tentang apa yang saya hendak pelajari untuk program doktoral. Di program S2 saya mengambil spesifikasi pengajaran keterampilan menulis. Di program Language, Literacy, and Cultural Studies, School of Education, Boston University, saya tahu bahwa keterampilan membaca (reading skills) telah mulai dipelajari sejak tahun 1890-an. Keterampilan menulis (writing skills) sendiri baru mulai dipelajari pada tahun 1970-an, bersamaan dengan keterampilan wicara (speaking skills). Sementara keterampilan menyimak (listening skills) sendiri merupakan bidang yang paling ketinggalan, karena baru mulai dipelajari pada pertengahan 1980-an. Baru ada sedikit peneliti yang secara khusus mengembangkan ilmu dalam bidang terakhir ini.

Setidaknya saya memiliki beberapa rancangan strategis yang hendak saya jalankan. Pertama, dengan belum berkembangnya penelitian dalam bidang keterampilan menyimak ini, saya memiliki peluang untuk mengeksplorasinya. Saya akan tumbuh menjadi ahli dalam bidang yang satu ini. Kedua, intuisi saya membuat saya percaya bahwa keterampilan menyimak memainkan peranan utama untuk peningkatan kualitas dan kompetensi guru. Ketiga, perkembangan teknologi informasi (TI) telah memungkinkan berbagai persoalan teknis dapat dipecahkan dengan cepat dan sederhana. Saya sudah memiliki koleksi lebih dari 15 gigabytes yang saya unduh dari internet untuk materi menyimak ini. Semuanya gratis! Mengubah audio files untuk disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa juga bukan perkara rumit. Pelatihan keterampilan menyimak pun tidak harus membutuhkan laboratorium bahasa yang lengkap, mahal, dan rumit. Dengan modal satu MP3 player yang harganya terjangkau saja, keterampilan ini sudah bisa dilatihkan. Keempat, konteks penelitian pun sudah saya identifikasi. Kerja sama FKIP USD dengan Pemerintah Kabupaten Belu menjadi jalan masuk. Saya sudah dua kali mendampingi guru-guru Bahasa Inggris di wilayah kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara termuda Timor-Timor ini. Strategi sudah mulai saya atur. Saya mulai mengenal wilayah itu. Saya mengenal para gurunya. Saya sempat berdiskusi dengan Bapak Bupati dan Wakil Bupati tentang berbagai kemungkinan pengembangan profesionalisme guru.

Persoalan klasik muncul di sini. Siapakah yang akan membiayai penelitian macam ini? Pihak Yayasan di mana saya bernaung tidak akan pernah memberi dukungan finansial bagi para dosennya untuk studi di luar negeri, kecuali untuk ke negara-negara tetangga yang paling dekat, seperti Malaysia dan Filipina. Oleh karena itu, pilihan yang paling mungkin adalah mencari beasiswa ke Australia. Sejauh ini pihak Australia sangat peduli dengan kawasan Timur Indonesia yang tertinggal jauh. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah itu akan lebih menarik bagi Negeri Kangguru ini. Karenanya, saya mencoba melakukan kontak dengan beberapa universitas di Australia. Proposal sepanjang 10 halaman saya kirimkan. Tanggapan sangat positif datang dari seorang profesor di Deakin University, Victoria. Suatu tanda baik. Tinggal satu hal yang saya butuhkan: hasil TOEFL atau IELTS.
Akhirnya, dalam kondisi kesehatan yang sama sekali tidak bersahabat saya berangkat ke Surabaya untuk mengambil TOEFL. Tanggal 1 September 2006, atau 10 hari sesudah meninggalnya ayah, saya mengikuti Internet-based TOEFL (iBT). Waktu itu saya terserang batuk parah, akibat hampir tiap malam saya bolak-balik Kalasan-Pegunungan Menoreh Kulon Progo, di mana saya dibesarkan. Tanpa persiapan sama sekali, saya datang ke tempat ujian. Satu hal yang layak untuk dicatat, saya menjumpai mukjizat yang luar biasa. Batuk parah membuat saya kehilangan suara. Batuk kering menyerang ketika saya mengerjakan soal-soal reading. Di bagian listening, kondisi tidak lebih baik. Tenggorokan terasa sangat gatal. Batuk rupanya tidak mau berhenti. Namun, semangat tidak pernah meluruh. Memang, hati ini sangat was-was ketika bagian speaking tiba. Mampukah saya berbicara untuk enam jenis persoalan yang diajukan pada bagian ini? Akankah batuk juga menyerang saya dengan membabi buta seperti pada dua bagian sebelumnya? Namun, kekerasan hati untuk tetap berjuang sampai titik darah penghabisan tetap tidak tergoyahkan. Saya mencoba untuk menguatkan diri saya. Sejauh ini saya selalu berupaya untuk memberikan yang baik bagi siapapun yang membutuhkan bantuan. Semenjak kecil, orang tua saya mengajarkan makna ngundhuh wohing pakarti. Itu pula yang saya yakini. Kalau saya berbuat baik terhadap siapapun, saya juga akan menuai hal yang baik. Dan keyakinan tersebut betul-betul menemukan kepenuhannya. Untuk enam soal speaking, batuk yang dengan ganas menyerang sebelumnya, seakan lenyap ditelan bumi. Tenggorokan tidak segatal sebelumnya. Bahkan, yang luar biasa, suara yang sudah dua hari hilang tiba-tiba kembali dalam sekejap. Enam jenis soal yang diajukan bisa saya jawab dengan relatif lancar, sekalipun tidak optimal. Namun itu sudah lebih dari cukup. Saya bernafas lega. Mukjizat itu datang ketika saya sendiri sudah tidak memiliki apa-apa untuk saya banggakan. Saya meyakini Tuhan sendiri yang turun tangan memecahkan persoalan yang saya hadapi. Dan ketika bagian writing datang, batuk itu hadir lagi. Namun, saya sudah tidak menganggap batuk sebagai hambatan yang berarti. Menulis bukan persoalan yang terlalu rumit untuk dikerjakan. Bagaimanapun juga, kegiatan menulis, entah itu dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Inggris, sudah menjadi menu sehari-hari dalam hidup saya.

Akhirnya, terlepas dari pengalaman berjibaku dalam mengerjakan TOEFL, hasilnya toh tidak akan pernah saya gunakan untuk melamar ke AUSAID. Hasil test itu tidak pernah saya kirimkan, baik ke Deakin University maupun ke kantor AUSAID di Jakarta. Alasannya sederhana, jauh-jauh hari sebelum hasil test itu tiba, Rm. Wiryono, Rektor USD, mengundangku dan menanyakan kesediaan untuk bergabung ke dalam ISEDP ini.

Tidak bisa dipungkiri, tawaran untuk bergabung ke dalam team ISEDP merupakan suatu kejutan yang menyenangkan. Ketika sedang mencari peluang studi lanjut, ternyata saya diberi peluang untuk mengembangkan diri melalui program ambisius ini. Namun, tetap saja saya senantiasa bertanya-tanya. Mengapa diri saya? Tidakkah ada yang “lebih” dari diri saya, dalam hal senioritas dan dalam hal kepandaian? Bukankah saya baru memiliki pengalaman sedikit dibandingkan dengan beberapa senior saya? Pertanyaan seperti ini sejauh ini belum secara jelas saya dapatkan jawabannya. Hanya samar-samar. Masih buram. Namun, ini bukan kali pertama saya tidak mendapatkan jawaban yang jelas atas pertanyaan yang saya ajukan. Sewaktu saya mendapatkan beasiswa Kelly Elizabeth Stephens Memorial (2001 – 2003), saya pun bertanya hal yang sama. Dan jawabannya pun tidak pernah jelas. Oleh karena itu, bagaikan seorang Hamlet yang mencoba mencari makna. Saya pun bersoliloqui: “Merupakan hal yang luar biasa bagi saya untuk mendapat beasiswa. Tidak ada pilihan lain kecuali harus selalu menyukuri terhadap apa yang saya telah dapatkan. Saya meyakini bahwa saya bukan orang yang terbaik. Karena pasti ada yang jauh lebih baik dari pada saya, namun barangkali mereka tidak seberuntung saya. Alangkah bodohnya saya bila tidak memiliki rasa syukur dengan bekerja dan belajar sebaik mungkin.”

Hidup manusia memiliki historisitas. Ada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Soliloqui seperti ini tidak datang dengan sendirinya pada diri saya. Entah sampai berapa puluh kali Bapak saya mengulang-ulang cerita kemalangan, kesakitan, dan perjuangan keras yang dialaminya. Dari cerita yang diulang-ulang itu, saya belajar pasrah-sumarah, namun bukan dalam arti deterministis – pasrah bongkokan begitu saja. Perasaan ringkih (vulnerable) sangat dibutuhkan untuk membaca tanda-tanda jaman. Apa yang kami dapatkan bukan semata-mata karena kemampuan, kehebatan, dan usaha kami semata-mata. Karena kebaikan dari Yang di Atas saja kita bisa melakukan banyak hal. Bapak memang mengajarkan kami untuk betul-betul memaknai apapun yang kami hadapi, entah itu pengalaman baik ataupun buruk, sebagai bagian dari rencana Dia sendiri untuk hidup kami. Tidak terlalu berlebihan bila kebiasaan macam itu telah menjadi bagian tak terpisahkan, dan dari sana saya mampu menimba semangat untuk maju, sekalipun banyak hal yang kadang nampak tidak begitu ramah terhadap diri saya.
Begitu mendapat tawaran untuk bergabung dalam ISEDP ini pun, saya kembali bertanya pada diri saya: “Mau apa saya? Haruskah saya menyia-nyiakan kesempatan ini? Haruskah saya memandang rendah tugas perutusan ini?” Sejarah masa lalu saya mengajarkan untuk selalu berjuang. Sepahit apapun realitas yang harus kami tanggung.

Tantangan pertama tentu saja datang dari keluarga. Berpisah dalam waktu tiga tahun untuk studi lanjut? Secara manusiawi, tentu sangat berat. Bagaimana mungkin kami akan melewati waktu-waktu keterpisahan untuk jangka waktu yang terlalu panjang ini? Entahlah. Kami tidak tahu. Yang pasti, kami pernah melewati masa-masa sulit. Tujuh minggu menikah, dan saya tinggalkan istri sendirian. Bedanya, sekarang sudah ada anak, yang Musim Panas 2007 lalu sempat marah dan tidak mau berbicara setiap waktu saya menelpon rumah. Alasannya sederhana. Saya tidak segera pulang dan menghabiskan waktu untuk bermain dengannya. Waktu itu, dia hanya saya tinggal selama dua bulan. Bagaimana bila periodenya jauh lebih panjang? Semoga, dia bisa diberi pengertian nantinya.

Tantangan lain tentu saja dari kajian bidang studi yang akan saya ambil. Sekalipun masih dalam bidang pendidikan, namun spesifikasi antara studi sebelumnya dan studi yang sekarang jauh jaraknya. Akibatnya, waktu tempuh studi untuk bidang baru akan jauh lebih panjang. Apa yang saya peroleh selama S2 di Boston University tidak diakui sebagai bagian dari program S3 di LUC ini. Karena itu, saya memang harus memulainya dari awal lagi. Sementara, bila program studi sebelumnya sama dengan program sekarang, S2 dianggap sebagai 50% dari apa yang dipelajari dalam program S3. Satu bentuk pengorbanan lain. Juga perlu keberanian untuk keluar dari comfort zone.

Namun, terpisah dari sejumlah pengorbanan yang mau tidak mau harus dibayar tersebut, keterlibatan dalam ISEDP ini sangat menjanjikan. Secara personal, seperti yang telah saya rasakan dalam pengalaman tujuh minggu di Chicago Summer 2007 yang lalu, saya merasakan perubahan yang sangat luar biasa. Bagaikan segerombolan katak yang dimasukkan ke dalam panci dengan air mendidih di dalamnya, kami berontak. Dengan bekal Bahasa Inggris yang masih jauh dari memadai, kami harus mengikuti mata kuliah tingkat pasca sarjana di Loyola University Chicago. Kami benar-benar merasakan besarnya dampak belajar dalam kebersamaan. Kami menjadi kritis terhadap praktek-praktek sosio-kultural yang telah membentuk kami. Dengan harapan, dalam kebersamaan itu kami memiliki referensi lebih banyak untuk menerjemahkan berbagai hal yang kami pelajari di Chicago nantinya. Kembali ke Indonesia untuk berbagi ilmu dengan sesama anak bangsa. Tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil.

Losing my camcorder

August 18, 2007

Severe fatigue can impair your judgment. That’s what we usually hear about the impact of tiredness. I made a very silly mistake when I was physically tired due to a long flight back home to Indonesia. We departed from O’Hare International Airport Chicago on Wednesday, August 15, 2007. The 16-hour flight from O’Hare to Hong Kong was very tiring. It was just too long. We had a three-hour stop at Hong Kong. Using the same aircraft, we continued our flight to Singapore. This four-hour-flight only added boredom. And then we had to wait another 9 hours for the next flight using Garuda.

Flying with other 11 people in my group made me less alert. I felt so secure. I did not need to pay attention the details about anything. So, when we finally checked in for our domestic flight (i.e. from Jakarta to Yogyakarta), I did not really pay attention to the things around me. And the silly mistake happened here. I carelessly put my hand-carry bag together with my baggage. I didn’t have any key to lock my hand-carry bag. All my money was in that hand-carry bag. My DV camcorder was also in that bag. Without being locked! I put the bag mechanistically into the scale. It was 29.7 kg – a perfect weight for domestic flight that allows me to carry a 30-kg luggage.

About two hours later, my mind started to work. I was so struck by my late awareness. Oh gosh … my camcorder … my money?? All my rupiahs and dollars are there! When things are hopeless, the only thing you can expect is to hope that the bad thing would not happen. I felt so tortured by the late departure from Jakarta. I tried to develop hypothesis to rationalize my positive hope. “Well,” I started to talk to myself, “today is very busy. There are just too many passengers today. Fridays are always a peak day for the domestic flight. Moreover, today is August 17, which is a day-off since we celebrate the Independence Day. The best thing to happen is of course: the crews working to ship the luggage must be very busy. I think they do not have any slightest time to find something precious from hundreds of bags they handle.” That was the only rationalization that I made. I started to calm down. I found inner peace. “Well, if I lost my camcorder, I have to accept that. It was my only mistake. I could not blame anybody else. I was the only one to blame, since I’m fully aware that it was me who triggered a bad thing to occur. I let somebody else to do harm on me.”

So, I waited for the good thing to happen, but without neglecting that the worst thing might also happen!

August 19, 2007

Exactly, poor health, severe fatigue and tiredness can impair our judgment. The old airplane, MD 82 operated by Lion Airliner, landed safely at Adisutjipto airport. When I got my blue hand-carry bag, I spot the little black bag on it. I also found my money untouched. They were safe. I felt good to see that the bad thing did not happen.

At 6.30 p.m. I safely arrived at home. I was overjoyed to see my kid, Rio. He showed his happiness by dancing and hugging me tightly. About 9 pm, I was too tired. So, I went to sleep. About midnight, my wife woke me up, asking the whereabouts of my camcorder. I was struck again. I got up, checking my blue bag. I found nothing. “I have taken everything out of this bag,” my wife told me.

My eyes were still heavy. And I could not think clearly yet. And I only said that I was the one to blame for the loss. I could not think of something else when fatigue came. And then after about one hour regretting the bad luck, I went to sleep. The rest of the night was a torture for my wife. She loves the camcorder. She remembered the details of our struggle to get this precious camcorder when we got it in 2003. At that time, we were about to leave home after two years studying at Boston University. We spent US$800 for the camcorder. We waited for the whole day for the delivery service from UPS to ship my order. Since I had to work at 6 pm, I could not wait UPS any longer. It was the landlord of our apartment to receive it. He stored it on the front door my room. We were very happy to see the beautiful camcorder from a venerated technology producer: Sony.

The dawn broke, I was still in bed. And the conversation was still around the lost camcorder. “Well, the ability to accept both good and bad luck in a moderate manner is the most distinctive characteristic of a mature person.” I started to develop a theory. “We have experienced various kinds, both unhappy and happy things in our life. And we could make the right decision for those things. We did not spend a lot of time mourning of the bad luck though. Or we did not spend time by being too overjoyed when good luck came. We have been pretty stable. Our experiences have told us to be moderate in whatever situation.” That was my remark on the loss of my camcorder.

“I think so,” my wife replied. “But, still, it is too difficult for me to accept this. And that made me restless the whole night. I could not sleep well.”

However, life went on. Our day was filled with a great joy. My son was so happy to see me. He often hugged me. He often touched me. He often kissed me. I cannot deny the big impact of my being away for two months. He missed me so much. When the evening came, we planned to enjoy the favorite meatball. I took my jacket from the closet. And my heart was filled with a greater joy. My little black bag was stored in the closet. I took it and handed it in to my wife. She was so surprised.

The things became clearer. Again, my fatigue inhibited me from thinking reasonably. When I took out the black bag from the blue bag, I directly stored it in the closet. I did not want my son to see the camcorder and play with it. I did it automatically without remembering doing it. So, when my wife asked me the whereabouts of my camcorder the earlier midnight, I could not think of it. I was totally tired and fatigue so I could not figure out the things that I subconsciously did.