Sunday, June 1, 2008

Rokok Tali Jagat Raya

Pagi ini, seperti biasanya kepalaku penuh dengan ide. Helm merah dengan kaca gelap menutupi wajahku, dan memberikan perlindungan, tidak hanya saja dari debu atau angin yang menghempas wajahku sewaktu motor aku kebut, tetapi juga dari dari tatapan orang-orang lain. Soliloqui … berbicara pada diri sendiri. Itulah yang aku selalu lakukan. Aku selalu menggunakan waktu 15-menit perjalanan dari rumah sebagai kampus sebagai kesempatan untuk berdialog dengan diri sendiri. Self-talking, itulah yang aku lakukan.

Self-talk merupakan strategi yang luar biasa untuk menggali apa saja yang aku kehendaki, cita-citakan, dan juga sekaligus memunculkan rencana-rencana strategis yang harus aku jalankan. Namun bukan berarti bahwa aku sendiri lalu terbenam dalam diriku sendiri semata-mata. Self-talk juga menjadi kesempatan untuk tetap terfokus dengan apa yang terjadi di sekelilingku. Menyadari konteks di mana kita berada, dan mengambil kesempatan yang tidak akan pernah datang dua atau tiga kali untuk melakukan sesuatu yang sederhana, namun tetap bermakna dalam hidup ini.

Kejadian pagi ini pun menjadi kesempatan untuk berlatih mengambil tindakan dengan cepat ketika dihadapkan pada suatu hal sangat sederhana. Kejadiannya di pertigaan UIN. Seperti biasanya, perjalananku harus terhenti karena lampu merah menyala. Sejumlah mobil sudah berjajar di depan, dan aku jumpai bahwa ada ruang yang cukup di sebelah kanan mobil-mobil itu. Pertama, aku lewati sebuah mobil Innova. Hati-hati, agar spion mobil tidak bergesekan dengan stang bagian kiriku. Di depanku ada mobil Chevrolet tua (melihat ketuaannya, mobil ini mengingatkanku pada mobil-mobil sisa-sisa PD II). Di atas bak yang terbuka, duduk sekitar tujuh orang dengan pakaian kerja. Dari sisi kanan, sebuah bungkus rokok melayang. Tepat di depanku.

Motor aku perlambat. Aku pungut bungkus rokok itu. Sang sopir yang ada di mobil agak terkejut. Aku tersenyum lebar. “Ada tempat sampah untuk bungkus rokok ini, pak.” Bungkus rokok itu aku masih di tanganku. Lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Gas motor aku tarik. Dan aku merasakan sebuah kemenangan. Berbagi pengetahuan kecil.

Aku tidak tahu apakah pesan “pendidikan” yang aku sampaikan melalui bungkus rokok kosong itu benar-benar sampai. Namun, yang pasti, aku belajar banyak hari ini. Aku melakukan aksi tertentu yang konkrit. Aksi yang tidak aku pikirkan lebih dulu. Hanya spontan. Dan aku merasa bangga telah melakukannya. Tanpa ba .. bi .. bu .. aku lakukan sesuatu dengan spontanitas yang sangat khas.

Hal lain yang aku pelajari: bungkus rokok tersebut “berjudul” Tali Jagat Raya. Tahu harganya berapa? Di label bea cukai tertera Rp. 3.975,-. Apa artinya? Murahan. Ya memang itu rokok murahan. Harga rata-rata satu bungkus yang “tidak murahan” tentu saja dua kali lipat harga itu. Rp. 7000-an. Ya, bapak sopir tersebut memilih (atau terpaksa) untuk tidak beli yang mahal. Pertanyaan menariknya adalah: Apakah harga rokok yang murahan juga terkait dengan perilaku tidak peduli lingkungan seperti yang ditunjukkan oleh bapak sopir dalam mobil Chevrolet tua itu? Apakah tidak peduli dengan kebersihan juga identik dengan kemiskinan?

Ternyata tidak. Kepedulian terhadap kebersihan sama halnya dengan kasus skandal seks, atau perselingkuhan, atau love affairs. Kedua hal itu tidak pernah mengenal status sosial. Semakin tinggi pendidikan, tidak ada jaminan bahwa dia akan mampu mengendalikan diri dari godaan perselingkuhan. Semakin tinggi status sosial, tidak ada jaminan bahwa dia juga akan lebih mampu mengendalikan nafsu sufiahnya. Soal kepedulian sosial dan kebersihan lingkungan pun tidak berbeda. Pernah suatu kali aku menjumpai, dari sebuah mobil bagus yang melaju di depanku meluncurlah tissue bekas pakai. Itu terjadi di tengah jalan. Artinya, orang yang menikmati status sosial tinggi (paling tidak dilihat dari berbagai fasilitas yang mereka miliki) tidak dengan sendirinya memiliki kepekaan untuk peduli dengan lingkungannya. Orang miskin pun bukan berarti tidak memiliki kepekaan akan kebersihan lingkungan.

Pertanyaannya: apa yang membuat orang benar-benar tergerak untuk berbuat lebih baik demi kemaslahatan bersama?