Saturday, May 31, 2008

Berdamai dengan idealisme

27 Mei 2008, pk. 01.52

Ketika aku membaca kembali apa yang aku tulis para minggu ketiga Maret lalu, aku merasakan menemukan diriku yang berbeda pada akhir Mei ini. Ada beberapa tulisan yang sangat berbau “judgmental” di sekitar bulan Maret lalu. Saya seakan-akan menemukan berbagai kesalahan di dalam diri orang lain, dan dengan ringannya memasangi label atas mereka. Aku adalah sosok idealis yang memang mudah menemukan kesalahan dalam diri orang lain. Dan aku akui, aku cukup malu dengan temuan itu. Ya, aku menulis tentang detachment yang kalau dibaca sangat menghakimi! Aku juga menulis kritik yang sangat tajam tentang ketakutan sejumlah orang untuk berteriak secara lantang ketika ada seorang atasan yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri untuk berjalan-jalan keluar negeri. Aku juga menulis tentang gagalnya sejumlah orang yang telah meraih gelar doktor untuk membawa perubahan yang signifikan bagi program studi. Dan semuanya terasa terlalu tajam, tanpa tedheng aling-aling dan tentu saja bisa saja sangat menyakitkan.

Ada sejumlah pengalaman unik yang aku jumpai dalam beberapa terakhir ini, terutama ketika aku membaca kembali buku dari Parker Palmer yang berjudul To know as we are known dan membaca dengan pelan-pelan buku the Secret karya Rhonda Byrne (dipinjami pak Sarkim). Kedua buku tersebut menjadi alat penegas dari satu rangkaian acara book club oleh Oprah Winfrey yang mengangkat buku A New Earth karya Eckhart Tolle. Sepuluh seri rekaman yang berdurasi selama kurang lebih 90 menitan memang belum selesai aku dengarkan. Namun, dampak yang aku peroleh memang luar biasa. Aku sangat rajin menikmati proses pembelajaran yang mengejutkan sekaligus menampar kesadaran.

Pada hari ini, begitu mulai menyadari dan mengolah makna labeling dan ego serta true self yang dihadirkan dalam diskusi Oprah Winfrey dan Eckhart Tolle, aku mulai merasakan bahwa sebenarnya aku bisa menentukan pilihan-pilihan untuk berpikir kritis, atau katakanlah idealis, tanpa mengorbankan idealisme tersebut. Stuart Yeh pernah menulis apa arti dari seseorang yang berpikir kritis: kemampuan untuk hadir secara seimbang dalam dua pandangan yang saling berseberangan. Paling tidak hari Selasa, 27 Mei 2008, saya mengolah betul makna kekuatan berpikir kritis seperti yang tercermin dalam rethoric studies ini.

Beginilah hasil permenungan yang dapat aku simpulkan dari goresan-goresan tangan sesudah rapat persiapan visitasi.

Argumentasi – kemampuan untuk menunjukkan kemampuan berpikir kritis dinilai sebagai salah satu parameter dan sekaligus teknik pembelajaran yang efektif. Pola pemikiran argumentatif tidak hanya bermanfaat agar kita tetap kritis, tetapi juga menjadi alat untuk menjamin pola hubungan sosial yang lebih fair, adil, dan tentu saja beradab. Mengapa?

Tadi pagi, begitu saya mendengar bahwa salah seorang yang kami kenal di kampung akan mengadakan perhelatan besar-besaran sebagai perayaan sunatan, muncul dalam kepala saya penilaian yang tajam: perhelatan yang sulit diterima akal sehat! Dalam hati kecil, saya berpendapat bahwa keputusan mengadakan perhelatan itu sendiri bukanlah hal yang bijaksana untuk dilakukan dalam jaman seperti ini. Mengapa? Pertama, tentu terjadi pemborosan sumber daya tidak perlu. Daripada menghamburkan uang untuk pesta-pesta, kenapa tidak untuk hal-hal lain yang lebih bernilai investasi? Ditabung untuk dana pendidikan, misalnya? Kedua, beban sosial yang ditanggung masyarakat tentu tinggi. Memutuskan mengadakan perhelatan, menurut hemat saya, seakan-akan ‘memaksa orang lain untuk membiayai pemborosan’ karena orang-orang kampung, relasi dan pihak-pihak lain terpaksa harus berkontribusi dengan ‘kondangan’. Menurut pemikiran saya, biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat sebagai akibat keputusan perhelatan macam itu terlalu mahal untuk dibayar.

Sampai pada titik ini, saya mencoba untuk diam sesaat. Tiba-tiba saya ingat apa yang dikatakan Eckhart Tolle yang menyatakan bahwa manusia sering terjebak untuk ‘melabeli’ orang-orang, kondisi, lingkungan, atau pengalaman nyata yang mereka jumpai. Meletakkan label pada hal-hal yang dijumpai tentu saja tidak serta merta negatif, namun sering terjadi bahwa kebiasaan label-melabeli ini justru menutup pintu ‘aliveness’ (begitu hidupnya realitas objektif) dari berbagai hal yang kita jumpai. Dengan kebiasan label-melabeli tersebut, kita sudah memasang patokan atau standar yang lebih berfungsi sebagai filter untuk menyaring apapun yang masuk dan kita tangkap melalui indera-indera kita. Sehingga, apa yang kita benar-benar mampu kita tangkap bukannya kepenuhan pengalaman yang sangat hidup dan alamiah serta genuine, tetapi sesuatu yang sudah skewed dan membuat kita tidak mendapatkan gambar orisinal dari realitas yang kita jumpai. Telah terjadi proses otomatisasi yang membuat kita cepat mengambil kesimpulan, dan menerima banyak hal sebagai kebenaran, tanpa benar-benar mempertimbangkan arti sesungguhnya yang bisa kita gali.

Ketika menyadari realitas manusia yang suka label-melabeli ini, saya akhirnya benar-benar mampu melihat secara jernih bahaya yang menunggu dari kebiasaan macam ini. Ketika pemikiran kritis tidak diasah secara sungguh-sungguh dan secara bertanggung jawab, dengan mudah kita terjebak ke dalam pragmatisme berlebihan. Orang yang berpikir kritis adalah orang yang bisa menghadirkan dua sudut pandang yang saling berseberangan. Dalam kondisi seperti ini, sekalipun secara intuitif kita memiliki preferensi tertentu, kita tidak mudah dengan begitu saja mengamini suatu pandangan yang langsung kita setujui. Kita mundur sejenak, dan melihat persoalan dengan lebih kompleks.

Dalam kaitannya dengan hajatan sunatan yang dipestakan, barangkali akan lebih bijaksana kalau saya menjalankan strategi macam ini. Pertama-tama tentu dengan bertanya: mengapa ada mekanisme hajatan yang dipestakan? Dari proses bertanya itu, saya akhirnya menjumpai tiga alasan: (a) pengakuan sosial, (b) simbol dan sarana perekat interaksi sosial, dan (c) ekonomi. Bagaimanapun juga, hajatan yang dirayakan dalam pesta menjadi sarana untuk mendapatkan pengakuan sosial. Merayakan pernikahan di Wisma Kagama tentu membawa dampak pengakuan sosial yang berbeda dengan merayakan pernikahan di Hotel Sheraton. Wisma Kagama bagaimanapun juga kalah kelas dan tentu saja kalah wuah … Pengakuan sosial merupakan salah satu kebutuhan manusia. Di samping itu, pesta memainkan peran sebagai simbol dan sekaligus perekat interaksi sosial. Dalam suasana pesta, berbagai macam orang dari berbagai kalangan bisa saja bertemu dan berinteraksi. Kenalan-kenalan yang tersebar ke dalam berbagai lingkup sosial memiliki kesempatanuntuk saling bertemu, dan bisa jadi akan memperluas interaksi sosial tersebut. Dan yang tidak kalah penting adalah: pesta-pesta selalu merangsang pergerakan uang. Konsumsi makanan pasti akan jauh lebih meningkat. Berbagai pelayanan yang ada di dalam masyarakat akan dimobilisasi. Pemusik, penyanyi, pembawa acara, sound system, event organizer, jasa transportasi, busana, boga, dan tata panggung serta dekorasi pasti akan ‘kecipratan’ rejeki dengan pesta-pesta macam ini.

Itulah perjalanan diri saya untuk selalu belajar. Belajar untuk kritis tanpa harus menghakimi … dan pada waktu yang sama tidak kehilangan idealisme … Perjalanan masih panjang, namun sekarang pola-polanya tampaknya mulai kelihatan menjadi lebih jelas lagi!

No comments: