Friday, October 26, 2007

Pergulatan mencari makna hidup

Belajar dengan sepenuh hati
Berbagi dengan suka cita
Beraksi dengan berani

Hidup tidak lebih dari upaya mencari makna dan jati diri (struggle for existence). Apa yang terjadi pada hari ini bukanlah sekedar kebetulan, karena semua hal di dunia memiliki masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Beragam pengalaman hidup yang telah membentuk diri kita telah menciptakan pola pikir, pola bertindak, dan strategi pemecahan persoalan yang kita hadapi. Dampaknya nyata. Pengalaman yang dialami secara bersama-sama bisa bermakna sangat berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Tidak lain dan tidak bukan, hal itu disebabkan karena keunikan diri kita yang telah membuat kita memiliki pola yang khas dan unik.

Keterlibatan kita dalam the Indonesia Secondary Education Development Program (ISEDP) pun juga bisa dimaknai dalam perspektif macam ini. Dalam sejarah hidup masing-masing individu yang terlibat dalam program ini, pasti sudah ada potongan-potongan (snapshots) pengalaman yang bila dilihat secara reflektif, akan menampilkan mosaik yang menggambarkan alasan keterlibatan kita dalam program ini.

Tidak mudah memang mereka-reka serpihan demi serpihan pengalaman kecil untuk membentuk satu mosaik yang layak untuk dinikmati. Diperlukan keberanian dan kejujuran – yang kadang terlalu mahal harganya – untuk mengakui kedirian kita apa adanya. Dan dalam tulisan ini, saya mencoba menguraikannya melalui berbagai pengalaman yang saya coba maknai dari perspektif pengalaman pribadi. Apapun nada yang terdengar dari uraian pengalaman personal ini, entah itu sumbang atau tidak terlalu nyaman untuk dinikmati, saya harap itu diterima sebagai realitas faktual. Di sini, saya mencoba untuk jujur pada diri sendiri. Saya tidak memungkiri kemungkinan interpretasi apapun karena pengalaman yang terdengar terlalu personal ini. Namun tidakkah banyak perubahan besar dalam sejarah di dunia justru muncul dan diperkuat dari naratif personal macam ini? Tulisan pribadi yang sangat personal dari seorang budak pelarian Frederick Douglas pada awal Abad XIX di Amerika Serikat telah memfasilitasi gerakan penghapusan perbudakan Kulit Hitam di Amerika Serikat.

***

Tahun 1994, sewaktu kaki ini pertama kali menginjak wilayah Universitas Sanata Dharma (USD), api di dada meletup-letup hebat. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dan satu-satunya yang mendapat kesempatan meraih gelar S1, saya akan belajar bahasa Inggris – di salah satu tempat “terhebat” untuk mengasah keterampilan dan pengetahuan Bahasa Inggris. Untuk apa? Saya tidak berani mengatakan mau menjadi guru, sekalipun saya sendiri sengaja mengambil Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Alasannya sederhana, PBI USD merupakan tempat terbaik untuk belajar Bahasa Inggris yang pernah saya dengar. Selain itu, saya tidak yakin apakah profesi mengajar memang sesuai dengan ciri khas, aspirasi, semangat, dan juga cita-cita hidup saya. Tentu, motivasi yang paling besar adalah keinginan untuk menguasai bahasa Inggris. Tidak lebih. Dan setelah itu, mau jadi apa, entahlah. Satu hal lain yang masih tersimpan di lubuk hati dalam-dalam, waktu itu saya sendiri ingin jadi wartawan, yang tulisannya banyak dan bisa membantu membuka mata publik terhadap berbagai persoalan hidup.

Namun, sejarah hidup membuktikan lain. Selama sembilan semester, saya selesaikan studi S1 di PBI. Tidak seideal dengan waktu yang saya bayangkan sebelumnya. Tapi hal yang sampai sekarang masih saya kenang, waktu itu pencapaian akademis jauh mengatasi apa yang semula saya targetkan di semester satu. Namun demikian, saya bukanlah sesosok kutu buku yang menutup diri dari interaksi dengan orang lain. Selama masa studi itu pula saya telah bergelut dengan berbagai pengalaman mengajar dan berinteraksi dengan orang lain. Pernah saya menjadi salah satu guru ekstrakurikuler di SMA I Teladan Jogja selama satu tahun (Semester 4 dan 5). Pernah juga terlibat dalam kegiatan English Action Days – satu kompetisi Bahasa Inggris tahunan yang diadakan untuk siswa-siswa SMA. Pernah juga menjadi koordinator tata tertib dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru (Semester 6). Pernah mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak SD Kanisius Demangan (Semester 7 dan 8). Pernah juga mengajar Bahasa Indonesia untuk orang-orang asing di sebuah lembaga bahasa di Demangan (Semester 8 dan 9). Di samping itu, sayapun juga sempat menerima terjemahan – suatu pekerjaan yang sangat menyita waktu, berat, dan kadang dengan bayaran jauh di bawah standar. Bahkan pernah seorang kolonel yang sedang kuliah S2 di salah satu universitas ternama di Jogja pergi dengan terjemahan satu bab dengan tidak membayar!

Berbagai pengalaman yang saya alami selama kuliah S1 telah mengajari saya untuk selalu siap untuk berubah dan diubah. Kapanpun, di manapun, dan dengan konsekuensi apapun, kerelaan untuk membantu, keterbukaan terhadap masukan, dan kesediaan untuk berkorban dan mengupayakan yang lebih baik menjadi agenda utama yang selalu menggerakkan saya. Dengan semangat itu pula, saya tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan hidup yang datang silih berganti.

Namun, jalan hidup tidak dengan sendirinya jelas begitu saya menyelesaikan studi. Berbekal beragam pengalaman di sana-sini dan juga cita-cita terpendam untuk menjadi wartawan, saya tidak memiliki rencana pasti ke mana langkah kaki ini hendak saya ayunkan. Sekalipun tawaran untuk menjadi staf pengajar di alma mater datang sebelum studi selesai, saya belum berani membuat keputusan yang pasti. Melihat kebimbangan macam ini, seperti biasanya, kata-kata lugas dari Bapak menampar kesadaran saya, “Tidak ada salahnya menjadi orang penuh syukur. Ketika banyak orang bingung mencari pekerjaan, kamu justru ditawari pekerjaan. Tidakkah itu rahmat yang sudah selayaknya disyukuri?” Pertanyaan retoris yang khas dari Bapak. Dia memang jarang menghendaki jawaban verbal dari anak-anaknya. Dia menghendaki diri saya untuk merenungkan pesannya.

Memang, Bapak selalu menggunakan kata-kata lugas. Apa adanya. Tanpa tedheng aling-aling. Tahun 1999, pengangguran merebak sebagai akibat krisis moneter yang membawa dampak tragis bagi jutaan penduduk Indonesia. Banyak yang kehilangan pekerjaan. Bahkan banyak dari orang-orang yang sudah cukup mapan harus kehilangan rumah dan tempat usaha mereka karena aksi anarkisme satu tahun sebelumnya. Trauma masih menjadi pengalaman nyata. Begitu banyak orang butuh pekerjaan, tetapi diri saya?

Jadilah saya seorang guru. Cita-cita untuk mengadu nasib menjadi seorang wartawan untuk sementara saya tinggalkan. Namun, menerima posisi guru sebagai profesi bukan berarti bahwa persoalan selesai. Selalu saja ada yang mengganjal. Dan kegalau-cemasan macam ini bukan tanpa alasan. Seperti yang dialami oleh siapapun yang memasuki dunia profesi keguruan, ada waktu-waktu ketidaknyamanan dan ketidakpastian yang saya rasakan. Bahkan, menurut penelitian, rata-rata para guru membutuhkan setidaknya enam tahun untuk menemukan cara terbaik untuk mengajar.

Dua tahun pertama mengajar di alma mater pun juga dipenuhi dengan ketidakpastian, ketidakyakinan, dan juga ketakut-raguan. Dalam kondisi rentan macam ini, tidak salah kalau saya pun sekedar melanjutkan tradisi yang saya lihat dan rasakan. Saya mengajar sesuai dengan cara dosen mengajar saya sebelumnya. Apa yang dikatakan baik dan diterima umum saya jalankan. Apa yang dianggap tidak baik pun saya hindari. Dengan kata lain, saya sendiri tidak lebih dari sekedar memfotokopi apa yang saya terima sebelumnya. Di situ belum ada tinjauan kritis. Hanya sekedar mekanis. Kapan harus membagikan silabus. Kapan ujian tengah semester. Kapan ujian akhir. Kapan nilai harus dikeluarkan. Semuanya serba mekanis. Disiplin keras saya jalankan. Tidak ada kompromi sama sekali. Mahasiswa PBI angkatan 1999 menjadi saksi hidup atas pengalaman mengajar saya pada semester pertama mereka. Mereka merasakan betapa disiplin-nan-kaku saya jalankan tanpa mengenal kompromi. Kelas menjadi tegang. Para mahasiswa tidak cukup menikmati proses pembelajaran.

Di waktu-waktu berikutnya, saya baru menyadari bahwa apa yang saya lakukan tersebut merupakan fenomena alamiah dalam lingkup pendidikan. Di mata para tokoh mazhab teori kritis seperti Foucault dan Bordieu, praktek pengajaran dan pembelajaran tanpa kesadaran dan tinjauan kritis dari pelaku pendidikan tersebut menjadi legitimasi terhadap berlangsungnya fenomena pendidikan sebagai reproduksi kultural. Pendidikan gagal mengemban misi sebagai agen perubahan, namun alat yang canggih untuk mempertahankan status quo.
Pada tataran praktis, saya sendiri tidak merasa nyaman dalam posisi saya sebagai seorang guru yang minim pengalaman. Saya merasa ada yang hilang. Untuk satu hal, dalam hati saya bertanya, “Layakkah seorang lulusan S1 mengajar mahasiswa-mahasiswa S1? Tidakkah itu berarti orang buta menuntun orang buta?” Saya merasa belum cukup bekal. Akhirnya, seperti orang-orang lain, saya pun mulai berjibaku mencari beasiswa untuk studi lanjut. Percobaan pertama tampaknya lancar. Lamaran yang saya ajukan ke Groningen Universiteit di Negeri Belanda langsung diterima. Hati ini berbunga-bunga. Namun, itu terbukti hanya menjadi kegembiraan semu dan terlalu dini. Ada e-mail yang masuk mailbox. Informasinya jelas. “Setelah dicek oleh NUFFIC (semacam lembaga penilai transkrip nilai di Belanda),” begitu penjelasannya, “dengan ini, pihak Universitas Groningen mencabut kembali keputusan penerimaan Anda di bidang Euroculture.” Mengecewakan. Namun saya tidak putus asa.
Tahun berikutnya, saya mencoba mengajukan lamaran beasiswa ke AUSAID – beasiswa yang disediakan oleh Pemerintah Australia. Tidak ada kabar sama sekali. Pada tahun yang sama pula, Rm. Paul Suparno, S.J., yang waktu itu masih menjabat sebagai dekan FKIP USD, mengundang beberapa dosen FKIP untuk mencoba melamar beasiswa dari Boston University. Bersama dua kolega yang lain, akhirnya saya mencobanya. Kali ini, Dewi Fortuna nampaknya sedang baik hati. Beasiswa dari keluarga Stephens tersedia untuk saya. Beasiswa untuk mengenang Kelly Elizabeth Stephens yang meninggal akibat kecelakaan ketika mendaki Gunung Anak Rakata di Selat Sunda itu sebelumnya telah diterima oleh dua senior saya dari USD. Pak Barli dari PBI dan Bu Wanti dari Pendidikan Matematika. Keduanya masih di Boston waktu saya tiba di sana. Tiga minggu sebelum peristiwa yang menggegerkan dunia, 11 September 2001, saya menginjakkan kaki di Boston.

Di sebuah universitas yang didirikan pada tahun 1839 ini, saya mengalami berbagai pengalaman unik yang pada gilirannya akan memoles diri saya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, saya merasakan seperti apa sesungguhnya sebuah kelas yang benar-benar mendorong perkembangan siswa-siswanya. Seorang profesor yang lebih layak disebut sebagai nenek begitu mudah memuji daripada menemukan kesalahan dari para mahasiswanya. Untuk pertama kalinya, saya merasa “merinding” karena sang profesor tersebut mengakui bahwa saya akan tumbuh menjadi seorang penulis yang baik nantinya. Dan itu dikatakannya di depan kelas! Saya merasa diuwongke.

Pencarian makna tidak pernah berakhir. Pengalaman diuwongke selama kuliah di negeri orang mengubah pandangan saya terhadap pola relasi yang semestinya terjalin antara dosen dan mahasiswanya. Memang, saya masih dikenal dengan tuntutan yang tinggi terhadap usaha dan komitmen mahasiswa dalam belajar. Saya pun tidak pernah menurunkan kualitas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dalam ujian pendadaran skripsi. Namun, saya berupaya keras untuk tidak menjatuhkan mental mahasiswa yang maju ujian skripsi. Saya belajar untuk menciptakan situasi yang nyaman, sehingga mahasiswa justru merasa bebas untuk berekspresi. Tanpa harus merasa tertekan karena terteror oleh situasi yang tidak nyaman. Saya lebih memilih untuk mendengarkan dan mengapresiasi apapun upaya yang dilakukan oleh mahasiswa. Ini merupakan hal yang tidak mudah, mengingat budaya kita justru mengajarkan kita untuk segera menemukan kekurangan daripada menghargai kebaikan – sekecil apapun bentuk kebaikan yang telah dilakukannya.

Dua tahun selesai studi lanjut, ada bonus pengalaman yang luar biasa. Saya mendapatkan kesempatan untuk belajar hal yang lain. Menjadi pejabat! Sungguh di luar dugaan. Saya belum pernah menduduki jabatan apapun, namun kemudian melompat untuk menduduki posisi sebagai Pembantu Dekan III di FKIP. Saya merasa beruntung bisa langsung belajar dari sosok Pak Sarkim yang di mata saya sangat komplet. Kemampuan, komitmen, tanggung jawab, dan energi yang seakan tidak ada habisnya berhasil mengubah citra FKIP yang tua menjadi segar, penuh vitalitas, dan juga kepercayaan diri. Kantor dekanat juga menjadi tempat yang nyaman dengan gelak tawa yang segar di sela-sela kesibukan dan berbagai macam tuntutan yang harus segera ditangani. Dua kolega yang lain, yaitu Pak Adimassana sebagai PD I dan Bu Retno Priyani sebagai PD II, adalah dua sosok yang selalu mengedepankan toleransi. Suasana kerja di sekretariat dekanat pun lebih bernuansa segar, bukannya dibatasi oleh sekat-sekat psikologis akibat relasi atasan-bawahan yang kaku.

Saya memang tidak terlalu lama duduk di kursi PD III, karena jabatan itu dihapus dengan diberlakukannya sistem baru. Namun, pengalaman bekerja selama kurang lebih 18 bulan di tingkat dekanat telah meninggalkan bekas yang luar biasa mendalam. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya berlatih untuk melihat persoalan dari sudut pandang yang lebih luas (helicopter view). Harus saya akui, ilmu linguistik terapan dan pengajaran Bahasa Inggris yang telah saya geluti selama ini memang dengan mudah menjebak saya ke dalam hal yang sangat-sangat detail. Tidak salah tentu saja, karena kemampuan dan keterampilan untuk memperhatikan hal-hal yang sangat mendasar itulah yang dibutuhkan untuk penguasaan Bahasa Inggris. Namun, hidup ini terlalu kompleks dan tidak bisa serta merta direduksi ke dalam satu area saja. Oleh karena itu, belajar untuk melihat persoalan secara lebih luas dan komprehensif wajib dilakukan untuk menjamin keseimbangan.

Waktu bergulir tanpa henti. Kehidupan pun mengalir. Pencarian makna hidup pun selalu saja menemukan ruang geraknya. Hampir empat tahun berlalu sesudah saya menyelesaikan program S2. Rupanya, waktu empat tahun mengajar telah memberikan berbagai pengalaman dan kepercayaan diri untuk mencoba peruntungan lain: studi doktoral. Saya sudah cukup meyakini tentang apa yang saya hendak pelajari untuk program doktoral. Di program S2 saya mengambil spesifikasi pengajaran keterampilan menulis. Di program Language, Literacy, and Cultural Studies, School of Education, Boston University, saya tahu bahwa keterampilan membaca (reading skills) telah mulai dipelajari sejak tahun 1890-an. Keterampilan menulis (writing skills) sendiri baru mulai dipelajari pada tahun 1970-an, bersamaan dengan keterampilan wicara (speaking skills). Sementara keterampilan menyimak (listening skills) sendiri merupakan bidang yang paling ketinggalan, karena baru mulai dipelajari pada pertengahan 1980-an. Baru ada sedikit peneliti yang secara khusus mengembangkan ilmu dalam bidang terakhir ini.

Setidaknya saya memiliki beberapa rancangan strategis yang hendak saya jalankan. Pertama, dengan belum berkembangnya penelitian dalam bidang keterampilan menyimak ini, saya memiliki peluang untuk mengeksplorasinya. Saya akan tumbuh menjadi ahli dalam bidang yang satu ini. Kedua, intuisi saya membuat saya percaya bahwa keterampilan menyimak memainkan peranan utama untuk peningkatan kualitas dan kompetensi guru. Ketiga, perkembangan teknologi informasi (TI) telah memungkinkan berbagai persoalan teknis dapat dipecahkan dengan cepat dan sederhana. Saya sudah memiliki koleksi lebih dari 15 gigabytes yang saya unduh dari internet untuk materi menyimak ini. Semuanya gratis! Mengubah audio files untuk disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa juga bukan perkara rumit. Pelatihan keterampilan menyimak pun tidak harus membutuhkan laboratorium bahasa yang lengkap, mahal, dan rumit. Dengan modal satu MP3 player yang harganya terjangkau saja, keterampilan ini sudah bisa dilatihkan. Keempat, konteks penelitian pun sudah saya identifikasi. Kerja sama FKIP USD dengan Pemerintah Kabupaten Belu menjadi jalan masuk. Saya sudah dua kali mendampingi guru-guru Bahasa Inggris di wilayah kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara termuda Timor-Timor ini. Strategi sudah mulai saya atur. Saya mulai mengenal wilayah itu. Saya mengenal para gurunya. Saya sempat berdiskusi dengan Bapak Bupati dan Wakil Bupati tentang berbagai kemungkinan pengembangan profesionalisme guru.

Persoalan klasik muncul di sini. Siapakah yang akan membiayai penelitian macam ini? Pihak Yayasan di mana saya bernaung tidak akan pernah memberi dukungan finansial bagi para dosennya untuk studi di luar negeri, kecuali untuk ke negara-negara tetangga yang paling dekat, seperti Malaysia dan Filipina. Oleh karena itu, pilihan yang paling mungkin adalah mencari beasiswa ke Australia. Sejauh ini pihak Australia sangat peduli dengan kawasan Timur Indonesia yang tertinggal jauh. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah itu akan lebih menarik bagi Negeri Kangguru ini. Karenanya, saya mencoba melakukan kontak dengan beberapa universitas di Australia. Proposal sepanjang 10 halaman saya kirimkan. Tanggapan sangat positif datang dari seorang profesor di Deakin University, Victoria. Suatu tanda baik. Tinggal satu hal yang saya butuhkan: hasil TOEFL atau IELTS.
Akhirnya, dalam kondisi kesehatan yang sama sekali tidak bersahabat saya berangkat ke Surabaya untuk mengambil TOEFL. Tanggal 1 September 2006, atau 10 hari sesudah meninggalnya ayah, saya mengikuti Internet-based TOEFL (iBT). Waktu itu saya terserang batuk parah, akibat hampir tiap malam saya bolak-balik Kalasan-Pegunungan Menoreh Kulon Progo, di mana saya dibesarkan. Tanpa persiapan sama sekali, saya datang ke tempat ujian. Satu hal yang layak untuk dicatat, saya menjumpai mukjizat yang luar biasa. Batuk parah membuat saya kehilangan suara. Batuk kering menyerang ketika saya mengerjakan soal-soal reading. Di bagian listening, kondisi tidak lebih baik. Tenggorokan terasa sangat gatal. Batuk rupanya tidak mau berhenti. Namun, semangat tidak pernah meluruh. Memang, hati ini sangat was-was ketika bagian speaking tiba. Mampukah saya berbicara untuk enam jenis persoalan yang diajukan pada bagian ini? Akankah batuk juga menyerang saya dengan membabi buta seperti pada dua bagian sebelumnya? Namun, kekerasan hati untuk tetap berjuang sampai titik darah penghabisan tetap tidak tergoyahkan. Saya mencoba untuk menguatkan diri saya. Sejauh ini saya selalu berupaya untuk memberikan yang baik bagi siapapun yang membutuhkan bantuan. Semenjak kecil, orang tua saya mengajarkan makna ngundhuh wohing pakarti. Itu pula yang saya yakini. Kalau saya berbuat baik terhadap siapapun, saya juga akan menuai hal yang baik. Dan keyakinan tersebut betul-betul menemukan kepenuhannya. Untuk enam soal speaking, batuk yang dengan ganas menyerang sebelumnya, seakan lenyap ditelan bumi. Tenggorokan tidak segatal sebelumnya. Bahkan, yang luar biasa, suara yang sudah dua hari hilang tiba-tiba kembali dalam sekejap. Enam jenis soal yang diajukan bisa saya jawab dengan relatif lancar, sekalipun tidak optimal. Namun itu sudah lebih dari cukup. Saya bernafas lega. Mukjizat itu datang ketika saya sendiri sudah tidak memiliki apa-apa untuk saya banggakan. Saya meyakini Tuhan sendiri yang turun tangan memecahkan persoalan yang saya hadapi. Dan ketika bagian writing datang, batuk itu hadir lagi. Namun, saya sudah tidak menganggap batuk sebagai hambatan yang berarti. Menulis bukan persoalan yang terlalu rumit untuk dikerjakan. Bagaimanapun juga, kegiatan menulis, entah itu dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Inggris, sudah menjadi menu sehari-hari dalam hidup saya.

Akhirnya, terlepas dari pengalaman berjibaku dalam mengerjakan TOEFL, hasilnya toh tidak akan pernah saya gunakan untuk melamar ke AUSAID. Hasil test itu tidak pernah saya kirimkan, baik ke Deakin University maupun ke kantor AUSAID di Jakarta. Alasannya sederhana, jauh-jauh hari sebelum hasil test itu tiba, Rm. Wiryono, Rektor USD, mengundangku dan menanyakan kesediaan untuk bergabung ke dalam ISEDP ini.

Tidak bisa dipungkiri, tawaran untuk bergabung ke dalam team ISEDP merupakan suatu kejutan yang menyenangkan. Ketika sedang mencari peluang studi lanjut, ternyata saya diberi peluang untuk mengembangkan diri melalui program ambisius ini. Namun, tetap saja saya senantiasa bertanya-tanya. Mengapa diri saya? Tidakkah ada yang “lebih” dari diri saya, dalam hal senioritas dan dalam hal kepandaian? Bukankah saya baru memiliki pengalaman sedikit dibandingkan dengan beberapa senior saya? Pertanyaan seperti ini sejauh ini belum secara jelas saya dapatkan jawabannya. Hanya samar-samar. Masih buram. Namun, ini bukan kali pertama saya tidak mendapatkan jawaban yang jelas atas pertanyaan yang saya ajukan. Sewaktu saya mendapatkan beasiswa Kelly Elizabeth Stephens Memorial (2001 – 2003), saya pun bertanya hal yang sama. Dan jawabannya pun tidak pernah jelas. Oleh karena itu, bagaikan seorang Hamlet yang mencoba mencari makna. Saya pun bersoliloqui: “Merupakan hal yang luar biasa bagi saya untuk mendapat beasiswa. Tidak ada pilihan lain kecuali harus selalu menyukuri terhadap apa yang saya telah dapatkan. Saya meyakini bahwa saya bukan orang yang terbaik. Karena pasti ada yang jauh lebih baik dari pada saya, namun barangkali mereka tidak seberuntung saya. Alangkah bodohnya saya bila tidak memiliki rasa syukur dengan bekerja dan belajar sebaik mungkin.”

Hidup manusia memiliki historisitas. Ada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Soliloqui seperti ini tidak datang dengan sendirinya pada diri saya. Entah sampai berapa puluh kali Bapak saya mengulang-ulang cerita kemalangan, kesakitan, dan perjuangan keras yang dialaminya. Dari cerita yang diulang-ulang itu, saya belajar pasrah-sumarah, namun bukan dalam arti deterministis – pasrah bongkokan begitu saja. Perasaan ringkih (vulnerable) sangat dibutuhkan untuk membaca tanda-tanda jaman. Apa yang kami dapatkan bukan semata-mata karena kemampuan, kehebatan, dan usaha kami semata-mata. Karena kebaikan dari Yang di Atas saja kita bisa melakukan banyak hal. Bapak memang mengajarkan kami untuk betul-betul memaknai apapun yang kami hadapi, entah itu pengalaman baik ataupun buruk, sebagai bagian dari rencana Dia sendiri untuk hidup kami. Tidak terlalu berlebihan bila kebiasaan macam itu telah menjadi bagian tak terpisahkan, dan dari sana saya mampu menimba semangat untuk maju, sekalipun banyak hal yang kadang nampak tidak begitu ramah terhadap diri saya.
Begitu mendapat tawaran untuk bergabung dalam ISEDP ini pun, saya kembali bertanya pada diri saya: “Mau apa saya? Haruskah saya menyia-nyiakan kesempatan ini? Haruskah saya memandang rendah tugas perutusan ini?” Sejarah masa lalu saya mengajarkan untuk selalu berjuang. Sepahit apapun realitas yang harus kami tanggung.

Tantangan pertama tentu saja datang dari keluarga. Berpisah dalam waktu tiga tahun untuk studi lanjut? Secara manusiawi, tentu sangat berat. Bagaimana mungkin kami akan melewati waktu-waktu keterpisahan untuk jangka waktu yang terlalu panjang ini? Entahlah. Kami tidak tahu. Yang pasti, kami pernah melewati masa-masa sulit. Tujuh minggu menikah, dan saya tinggalkan istri sendirian. Bedanya, sekarang sudah ada anak, yang Musim Panas 2007 lalu sempat marah dan tidak mau berbicara setiap waktu saya menelpon rumah. Alasannya sederhana. Saya tidak segera pulang dan menghabiskan waktu untuk bermain dengannya. Waktu itu, dia hanya saya tinggal selama dua bulan. Bagaimana bila periodenya jauh lebih panjang? Semoga, dia bisa diberi pengertian nantinya.

Tantangan lain tentu saja dari kajian bidang studi yang akan saya ambil. Sekalipun masih dalam bidang pendidikan, namun spesifikasi antara studi sebelumnya dan studi yang sekarang jauh jaraknya. Akibatnya, waktu tempuh studi untuk bidang baru akan jauh lebih panjang. Apa yang saya peroleh selama S2 di Boston University tidak diakui sebagai bagian dari program S3 di LUC ini. Karena itu, saya memang harus memulainya dari awal lagi. Sementara, bila program studi sebelumnya sama dengan program sekarang, S2 dianggap sebagai 50% dari apa yang dipelajari dalam program S3. Satu bentuk pengorbanan lain. Juga perlu keberanian untuk keluar dari comfort zone.

Namun, terpisah dari sejumlah pengorbanan yang mau tidak mau harus dibayar tersebut, keterlibatan dalam ISEDP ini sangat menjanjikan. Secara personal, seperti yang telah saya rasakan dalam pengalaman tujuh minggu di Chicago Summer 2007 yang lalu, saya merasakan perubahan yang sangat luar biasa. Bagaikan segerombolan katak yang dimasukkan ke dalam panci dengan air mendidih di dalamnya, kami berontak. Dengan bekal Bahasa Inggris yang masih jauh dari memadai, kami harus mengikuti mata kuliah tingkat pasca sarjana di Loyola University Chicago. Kami benar-benar merasakan besarnya dampak belajar dalam kebersamaan. Kami menjadi kritis terhadap praktek-praktek sosio-kultural yang telah membentuk kami. Dengan harapan, dalam kebersamaan itu kami memiliki referensi lebih banyak untuk menerjemahkan berbagai hal yang kami pelajari di Chicago nantinya. Kembali ke Indonesia untuk berbagi ilmu dengan sesama anak bangsa. Tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil.

2 comments:

Humming_Heart said...

luarbiasa!!! saya suka membaca kisah hidup seseorang dengan harapan dapat memetik hikmah darinya. Salutt pak for your life experiences.
Jika saya ingin belajar lagi di USD-pada jurusan yang sama sedangkan saya punya kwalifikasi pengalaman kerja 10th dan lulusan DIII-jurusan B.Ing di ABAYO th 2000apakah hal ini masih memungkinkan? mohon advise dan sarannya di Tugi.Songidah@newmont.com- sangat dinantikan response baliknya pada email tsb. Semoga bapk berkenan dan dengan senang hati menjawab email dari saya. Salam

Unknown said...

mantafz . . . .