Friday, October 26, 2007

Kejamnya rumah sakit

18 Oktober 2007
Akhirnya satu potong drama dalam kehidupan kami berakhir. Hari Minggu, 15 Oktober 2007 siang – begitu Rio kencing bercampur darah – hati kami terasa tercabik-cabik. Suara Rio yang biasanya ringan penuh canda-tawa-ria, tiba-tiba bergetar penuh kesakitan. Satu dua tetes kencing campur darah masih terlihat. Aku peluk dia penuh rasa sayang. Hatiku teriris oleh tangis kesakitan dan degup jantungnya yang berdetak begitu cepat.
Drama masih berlanjut. Kami membawa Rio ke rumah sakit swasta ternama di kotaku. Harus aku akui, aku buta sama sekali dengan urusan kesehatan. Dan kebutaan tersebut tidak memungkinkan aku tetap kritis dalam memahami persoalan. Oleh karena itu, kehadiran seorang teman yang kebetulan adalah seorang paramedis dari sebuah rumah sakit pemerintah di Semarang sangat membantu. Dia dengan setia menemani kami yang kebingungan.
Pihak RS memberi informasi yang jelas. Anak kami harus diopname. Pada hari kedua Lebaran, tidak ada dokter ahli bedah yang stand by. Yang memberi rekomendasi dokter umum yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, Rio kami bawa pulang – dengan resiko apapun yang bisa terjadi. Alasannya jelas, dengan diopname pun, Rio tidak dengan sendirinya sembuh. Artinya, opname pun sekedar bobok manis, tanpa ada tindakan khusus untuk penyembuhan. Dan sekalipun ada, itu tidak lain hanya sekedar mengurangi rasa sakit. Operasinya saja baru bisa hari Selasa jam 2 siang. Itu artinya bahwa kami harus menginap di RS selama dua hari.
Selain itu, alah mak … kami terkesiap dengan prakiraan biaya yang harus ditanggung. Untuk operasi saja diperkirakan sampai mencapai Rp. 6.500.000,- untuk kelas 1 dan utama. Untuk kelas II biaya turun satu juta rupiah. Belum lagi biaya inapnya yang mencapai minimal Rp. 155.000/hari. Untuk kelas I, biayanya pun menjerat leher: Rp. 400.000,-/hari. Masih ditambah lagi biaya perawatan, laborat dan beban psikis yang harus kami tanggung.
Hati kecil ku menjerit. Kenapa begitu mahal? Tapi dengan cepat aku mencoba untuk mencari jawaban. Sekilas, aku teringat beberapa waktu lalu ada buku nakal yang ditulis oleh seorang yang sangat gerah melihat praktek-praktek kesehatan di negeri ini. Kalau tidak salah judulnya Orang Miskin Dilarang Sakit. Barangkali aku memang perlu membaca buku itu.
Pikiranku melayang bebas. Bagaimanapun juga, dengan gaji terpotong sampai 60% untuk cicilan rumah, kami mau tidak mau harus hidup dengan sangat hemat. Semua pengeluaran harus diperhitungkan. Kebutuhan-kebutuhan sosial yang tidak jarang cukup besar memang tidak bisa dihindari. Namun untuk kebutuhan dasar, kami memang mencoba untuk mengencangkan ikat pinggang. Gaji yang aku peroleh hanya cukup untuk tiap bulannya. Itupun dengan hampir tidak ada simpanan sama sekali. Apalagi, mulai bulan September lalu, kami memutuskan untuk mengikuti program asuransi. Jadi, gaji memang menjadi terlalu kecil untuk dipakai memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Memang, untuk satu hal, kami sudah cukup aman. Rumah yang kami punyai sudah lebih dari cukup. Dengan luas areal tanah mencapai 300 m2 dan sekitar 140m2 luas bangunannya, kami sudah cukup nyaman. Dan itulah yang membuat kami merasa aman. Bagaimanapun juga, dengan hasil gaji yang kecil, kami sudah tinggal di rumah sendiri. Sekalipun kami harus mencicil pinjaman dari Bank untuk melunasi hutang pembuatan rumah kami, kami pun sudah siap dengan resiko hidup sederhana.
Namun, sakitnya anak tentu tidak masuk skenario. Apalagi setelah membuat kalkulasi singkat bila Rio sampai tiga hari menginap di RS, angka yang muncul memang membuatku terperangah. Minimal Rp. 10 juta. Aku tidak habis pikir. Harus aku akui, aku masih punya uang sejumlah itu. Tabungan khusus yang aku sisihkan secara khusus untuk istri cukup. Bahkan aku masih menyimpan uang US$ 1.400,-. Tapi itu untuk jaga-jaga ketika aku pergi sekolah lagi nantinya. Bukan untuk hal mendadak seperti ini.
Dalam kebingungan tanpa batas, dan juga keprihatinan atas tidak adilnya dunia terutama dalam kaitannya dengan urusan kesehatan macam ini, akhirnya aku mengontak kakak ipar istriku yang bekerja di salah satu RS pemerintah. Terus terang saja, kami sudah merasa was-was bahkan ketika mendengar nama RS itu disebut. Begitu banyak cerita menyeramkan dari sosok RS pemerintah. Entah itu menyangkut dengan kebersihan bangsal, kinerja para dokter mudanya yang belum tentu berpengalaman, pelayanan yang sangat birokratis-rumit-dan tidak ramah. Ada berjibun alasan untuk mengatakan tidak. Namun, angka rupiah yang harus kami tanggung di salah satu RS swasta tersebut membuat kami memberanikan diri untuk mengadu nasib ke RS pemerintah.
Dan memang itulah yang kami lakukan. Apakah hasilnya lebih baik? Tentu terlalu dini untuk menjawab itu semua. Yang jelas, dari perhitungan matematis finansial, hasilnya jauh lebih memuaskan. Kami harus membayar Rp. 2,080.000,- untuk total pengobatan. Angka itu “hanya” 20% dari jumlah keseluruhan yang diasumsikan harus kami bayar di sebuah RS swasta ternama tersebut.
Untuk satu hal kami sudah bisa bernapas lega. Satu urusan selesai. Rio kami bawa pulang begitu dampak anestesinya sudah beranjak pergi darinya . Dengan ditemani Gun dan Lian, kami susuri jalan beraspal pinggir selokan. Rio tampak begitu lemah di pangkuan mamanya. Aku pun tidak punya alasan untuk terburu-buru. Waktunya yang tersedia cukup panjang. Jam 2 siang, hari Rabu, 17 Oktober 2007, kami meninggalkan RS. Sementara aku akan ada kelas jam 4 sore. Masih cukup waktu. Sengaja kami tidak memakai taksi, karena toh jalanan lebih banyak macetnya. Mudik Lebaran masih memadati jalanan. Selain memang tidak ada harga yang murah untuk segala jenis pelayanan, termasuk taksi.
Untuk hal lain, aku masih terbebani. Bayangan keprihatinan seorang penulis Orang Miskin Dilarang Sakit betul-betul aku rasakan. Aku merasa malu. Kenapa aku baru berempati begitu mengalaminya? Aku menyadari kebodohan diriku sebagai manusia yang lebih sering memakai “proximity reasons” untuk menjelaskan berbagai fenomena dalam hidup. Bila terjadi bencana di suatu tempat yang jauh, ada kecenderungan untuk membela diri, “Ah bencananya kan tidak di sini. Kenapa harus begitu peduli.” Dan bila bencananya terjadi di dekat kita, ada kecenderungan untuk berkilah, “Bencana itu kan tidak terjadi pada keluarga kami. Itu kan orang lain.”
Ini lah realitas dalam hidup. Teman paramedis yang dengan setia menunggui kami dalam proses pemeriksaan hari Minggu sore di Instalasi Gawat Darurat itu sempat mengeluarkan pernyataan ironis. “Dokter yang jadi bosku itu,” begitu katanya pada istriku, “mendapat bonus Rp. 25 juta/bulan dari berbagai “deal-deal” seperti resep-resep dan lain-lainya. Bonus itu artinya uang di luar gaji lho.” Dia juga sempat tersenyum pahit menertawakan dirinya karena dia juga bukan seorang malaikat yang selalu bersih. Karena bagaimanapun juga dia ikut “kecipratan” rejeki dengan bekerja di sebuah RS pemerintah di Semarang. Ada sejumlah uang “haram” yang dia peroleh tiap bulannya di luar gajinya. Bagaimanapun juga dia ikut dalam sistem yang tidak bisa ditentangnya. Dia mau tidak mau ikut membesarkan suatu praktek “pemerasan” terhadap orang-orang yang miskin tersebut.
Yah, dalam permenunganku ini, barangkali yang paling tepat untuk menggambarkan hidup kita sebagai manusia adalah seperti ini: kita masuk ke dalam lingkaran permainan. Permainan macam apa yang hendak kita ikuti? Aku sendiri sudah merasa “diplot” untuk ikut permainan di sebuah institusi pendidikan tinggi swasta. Dari kecil aku dididik dengan keras, dan diajari untuk lebih menghargai kerja keras daripada sejumlah uang yang aku peroleh. Selain itu, dengan dibesarkan di daerah pegunungan, pekerjaan fisik pun juga bukan suatu hal yang layak untuk dihindari. Ngepel, nyuci, dan membersihkan rumah sendiri – untuk family welfare – bukanlah hal yang berat untuk dilakukan. Aku belum merasa perlu punya pembantu dan mesin cuci. Kami masih bisa melakukannya sendiri.
Orang lain barangkali “diplot” untuk mengikuti pola kehidupan yang lain. Orang tua yang memiliki ambisi luar biasa. Mendidik anaknya untuk kerja keras. Menilai keberhasilan hidup dari hal-hal yang terukur, entah itu dalam jumlah gaji besar ataupun hal-hal yang bisa terraba (tangible) seperti properti atau kendaraan. Dikirimkan ke sekolah kedokteran dengan biaya yang teramat sangat besar. Pendidikan kedokteran adalah investasi besar. Dan karena investasinya besar, oleh karena itu perolehannya pun juga besar. Atau lebih pasti lagi: karena investasinya besar, oleh karena itu perolehannya pun juga HARUS lebih besar. Dengan demikian, apapun kenyataannya, hasilnya pun juga HARUS besar. Apakah itu merupakan suatu kebenaran umum? Entahlah. Namun, yang terjadi sekarang ini, pelayanan kesehatan benar-benar mencekik dan tidak bisa diterima dengan akal sehat!
Apakah bidang kesehatan bisa dikatakan sebagai sebuah mafia? Entahlah. Aku sendiri tidak berani melabelinya dengan istilah itu. Namun, realitasnya barangkali memang demikian. Aku sendiri, sebagai orang yang pernah hidup di negeri orang dan mencicipi pendidikan tinggi yang lumayan prestisius, tetaplah orang bodoh ketika harus berurusan dengan masalah kesehatan. Nah, kami-kami yang bodoh ini menjadi sasaran empuk dari sistem yang ada. Alasannya sederhana: kami tidak punya nilai tawar. Kami tidak punya pengetahuan yang memadai untuk membuat posisi kami lebih kuat. Jadi, tidak ada salahnya sebenarnya kalau kami selalu dikadali.
Namun, tentu tidak adil juga menghakimi posisi dokter. Posisi seorang dokter tidaklah terlalu istimewa dalam sistem yang tidak adil ini. Dia hanya satu sekrup dari mekanisme “assembly line” yang ada dalam sistem pengobatan. Dia dipakai sebagai alat yang paling mujarab untuk promosi dan penjualan produk-produk obat dari berjibun pabrik obat yang dengan rakusnya ingin mengeruk keuntungan. Mereka saling bersaing, bahkan barangkali saling sikut-menyikut bila diperlukan. Dokter dimanja dengan berbagai bonus bila mampu memasarkan produk-produk yang mereka hasilkan. Dilihat dari satu sisi ini, dokter tampak justru sebagai korban. Korban sistem yang tidak adil.
Cukup menarik ketika seorang mahasiswa Extension Course berkomentar dengan cerita ku ini. Seorang temannya yang jadi dokter memilih untuk tidak jadi korban dari sistem ini. Setiap kali merekomendasikan obat, dia selalu membuka konsultasi tentang berbagai kemungkinan. Dan dia tidak mau menerima tips secara berlebihan dan tidak adil ini. Dia sangat paham betul tentang politik kadal-kadalan yang dibuat oleh sistem kesehatan ini. Namun, suara hati nurani yang kecil benar-benar dia dengarkan. Suara itu tidak lagi kecil, karena selalu mengingatkan dia untuk memiliki empati dengan orang lain, terutama dengan mereka yang sakit. Empati yang datang bukan semata-mata karena “proximity reasons”. Tetapi lebih dari kemurnian hati. Dari kesediaan hati untuk mendengarkan orang lain.
Masih adakah hati untuk mendengarkan keluhan orang lain? Tanyakan pada Ebiet G. Ade, dan dia akan menyuruh kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Dan dunia ini tidak cukup memberi makan untuk seluruh umat manusia, karena ada begitu orang yang mengambil lebih dari jatah yang semestinya cukup untuk diri mereka. Begitu Mahatma Gandhi mengingatkan kita. Bersediakah kita mendengarkan?

1 comment:

Kristian said...

Pak Markus, Nice to be able to keep in touch with you again. Emang Sakit dinegeri ini dilarang keras. Ditempatku di Kab. LANDAK, Rumah sakitnya tidak layak. Saya pernah nganter keluarga dari kampung yang sekarat tapi dokter jaga DIUGD gak ada, Tba2 datang eh... waktu memeriksa ada tlpn masuk di malh angkat telpon. I mau tinju dia rasanya. Emang ancur birokrasi kita.

www.kristian7777.blogspot.com