Friday, October 26, 2007

Memang, menghakimi lebih mudah daripada memahami

Menurutku, judul skripsi dari salah seorang mahasiswa yang mau maju pendadaran skripsi bulan Oktober ini cukup unik. Aku sendiri lupa dengan formulasi detailnya, namun secara umum seperti ini … developing a set of instructional materials … to teach life values … bla bla bla … Uniknya, bila aku merasa tertantang dengan judul yang “berani dan khas” macam itu, justru wacana komunitas dalam sebuah Ruang Dosen di sebuah Prodi yang “hebat” sebaliknya. “Ini ngapain sih anak … kok gaya-gaya dengan judul yang aneh-aneh. Sok-sokan melulu. Anak-anak sekarang ini aneh-aneh saja.” Intinya, si anak dinilai salah karena ngowahi padatan – menghancurkan tradisi. Kreativitas adalah dosa. Komentar yang miring, dan bahkan ditelingaku sangat miring. Tidak adil. Aku merasakan lidahku terasa kelu. Ludah terasa getir. Dan aku merasa tidak berdaya. Diam. Membisu. Apalagi suara-suara yang lain, dengan nada yang beragam, menimpali. Ada yang sangat menyetujui dengan pendapat yang dilontarkan. Ada yang mencoba menetralisir. Namun, bagiku sama saja.

Bung, dunia memang sudah berubah!
Benar. Perlu kejujuran dan keberanian untuk mengakui bahwa dunia sudah berubah. Anak-anak tumbuh dengan kecepatan yang jauh lebih cepat daripada yang kita duga. Nutrisi yang jauh lebih bermutu membuat pertumbuhan fisik mereka lebih cepat. Siklus menstruasi sudah menyambangi anak-anak perempuan di SD. Juga pola relasi antar manusia. Sekarang ini semangat egalitarian jauh lebih berterima. Relasi bos dan anak buah tidak “saklek” instruktif semata. Ada komunikasi, negosiasi, dan upaya saling memahami. Bukannya mempertahankan posisi bos sebagai sosok tak tersentuh (intangible). Dengan segala keputusan yang tidak bisa salah!

Harus diakui, gerakan dan semangat egalitarian itu sudah menyelinap ke mana-mana. Tidak hanya di tempat kerja. Namun juga di rumah. Di sekolah. Di ruang kelas. Dalam kondisi macam ini, timbul pertanyaan menarik. Seberapa mampu kita menangkap nuansa jaman yang sedang bergerak ini? Akankah kita gagal membaca tanda-tanda jaman yang sudah berubah ini? Kegagalan ditandai dengan ketidakmampuan memaknai perubahan. Kegagalan muncul dalam kebiasaan memandang hal yang ada dari sudut pandang negatif. Kegagalan berkembang pesat ketika seluruh wacana komunitas tidak kritis, hanya sekedar ingin aman dan tidak berani mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kegagalan akan menjadi nasib buruk bila kita senantiasa memandang bahwa sesuatu yang datang dari orang-orang yang lebih muda harus selalu dikritisi habis-habisan.

Butuh usaha bersama
Dari situative perspective yang muncul dari karya Vygotsky pada tahun 1930-an, diyakini bahwa kemampuan dan kemajuan dalam hal berpikir, memahami persoalan, mencari pemecahan atas persoalan yang dihadapi, dan menyikapi terhadai hasil proses tersebut, sangat ditentukan oleh wacana komunitas. Secara sederhana, bila wacana komunitas lebih menyukai gosip-gosip slapstick gaya tayangan liputan selebritis, pada tingkat itu pula lah kemampuan berpikir kita berkembang. Sebaliknya, bila wacana komunitas lebih menyukai perkembangan dan hal-hal positif lainnya, kemampuan kognisi kita pun juga berorientasi ke sana.

Hidup adalah pilihan. Begitu orang bijak bilang. Tidak salah memang, karena kita memiliki kebebasan untuk bersikap dalam kondisi apapun yang kita hadapi. Seperti apa sikap yang mau kita ambil dalam peningkatan profesionalisme sebagai guru? McLaughlin and Talbert (1994) mengajarkan setidaknya tiga aspek yang mestinya akan berkembang dalam lingkup komunitas profesional. Kita diharapkan mengembangkan ketrampilan technical culture. Itu artinya kita memiliki kemampuan untuk menjalankan hal-hal teknis yang rutin dalam mengajar. Bisa membuat perencanaan yang baik. Bisa menjalankan proses pembelajaran yang memadai. Bisa mengadakan evaluasi belajar yang tepat dan memberikan umpan balik (koreksi) tepat waktu. Hal berikutnya, dan ini yang paling sulit, adalah kemampuan dan keberanian untuk mengembangkan service ethics. Ada dua aspek yang perlu diangkat di sini, yaitu high expectations dan care. Artinya apa? Dari dalam diri kita, kita sudah meyakini bahwa anak didik kita memiliki potensi dan kemungkinan untuk berkembang. Potensi dan kemungkinan itu baru bisa menemukan titik-titik kepenuhannya bila kita betul-betul care. Memiliki semangat untuk memahami mereka Dengan segala kerendahan hati mendengarkan apapun yang mereka hadapi dan kesulitan yang menghambat mereka. Sejelek apapun mereka, mereka tetap sosok-sosok yang tidak sepantasnya dipandang rendah. Dan ini letak kesulitannya, karena ini mengandaikan perubahan paradigma hidup.

Dampak dari aspek kedua ini jelas. Kita tidak selayaknya membentak-bentak siswa seakan-akan kita adalah dewa yang paling benar sendiri. Kalaupun ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita, mengapa tidak membuka forum komunikasi? Akan jauh lebih bijaksana bila kita bisa menerapkan pola komunikasi interaktif. Tidak mudah, dan banyak dari kita akan dengan segera mengesampingkan rekomendasi ini. Namun, bagiku, tidak ada alasan sedikitpun untuk menolak ide ini. Menghargai harkat dan martabat manusia atau nguwongke orang lain adalah salah satu credo yang membuat alasan bagiku untuk selalu berjuang terus.

Hal ketiga yang ditawarkan oleh McLaughlin dan Talbert (1994) adalah profesional growth. Ini bukan hal yang terlalu sulit, karena kita sudah melakukannya. Makin banyak dosen yang mengadakan penelitian. Dengan difasilitasi dengan laptop dan ketersediaan jaringan teknologi informasi, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak meningkatkan kualitas kita sebagai dosen.
Sekali lagi, pilihan mana yang kita mau ambil? Pilihan yang mengedepankan hal-hal positif, bersifat substansial dan menentukan arah perkembangan kita dalam menciptakan masyarakat yang lebih menghargai, menghormati perbedaan, dan mendorong kemajuan? Atau sebaliknya, pilihan yang mengedepankan hal-hal sensasional, yang sekedar menyenangkan hati ini sesaat, yang justru tidak mendorong daya kritis kita berkembang pesat?

Untuk satu hal, aku berseberangan dengan Alm. Riswandha Imawan, seorang profesor progresif dari UGM yang meninggal pada usia muda. Eagles fly alone. Begitu slogannya. Aku tidak setuju. Itu seruan elitis. Diasumsikan bahwa hanya ada sedikit orang yang layak untuk maju dan berkembang. Sebaliknya, kita harus menciptakan lingkup kerja yang dinamis, yang memungkinkan siapapun merasa nyaman untuk maju. Sekalipun yang dibuatnya berbeda, kita toh tetap harus menerima perbedaan sebagai berkat, bukan musibah dan ancaman.

No comments: