Sunday, June 3, 2007

latihan jujur

Hari ini, lamu lalu lintas sedang tidak bersahabat. Setiap kali aku mulai mendekatinya, lampu menyala merah. It terjadi di semua persimpangan jalan yang aku lalui pagi ini. Pertama, di dekat bandara, kedua di pertigaan Ring Road, ketiga di pertigaan Janti, keempat di pertigaan UIN. Keempat-empatnya ruapnya berkonspirasi untuk mencegahku datang tepat waktu. Tidak heran, aku terlambat enam menit di kelas. Kertas ujian sudah dibagikan. Sebagian besar mahasiswa bahkan sudah mulai mengerjakan soal. Untuk satu hal, aku tidak punya alasan untuk takut dimarahi dosennya. Karena aku bukan lagi mahasiswa di kelas itu. Aku berperan sebagai partner dalam mengawasi ujian. Namun, aku juga tidak selayaknya merasa bebas dari rasa bersalah. Soal lampu lalu lintas yang konspiratif masih bisa aku gunakan sebagai alasan untuk keterlambatanku. Aku masih bisa mengelabui rekanku dengan mengkambinghitamkan lampu lalu lintas. Namun hati kecilku menegur. Tidak jujur kalau hanya mempersoalkan lampu merah. Mestinya aku lebih berani mengakui bahwa tadi pagi aku tidak cepat-cepat mandi. Mestinya aku lebih berani menyalahkan diriku yang terlalu asyik membaca koran yang terlambat datang. Ya ... kejujuran kecil itu barangkali terlalu sederhana untuk menjadi kesadaran publik. Namun, begitu pena ini aku biarkan menari bebas di atas kertas, aku menjadi malu bahwa aku sering menutup mata terhadap gelitik nurani-hati-kecil yang mengajakku untuk jujur.

1 comment:

Indri said...

yap.. sebagai manusia kita kan emang suka sama self-defense mechanism ^_^