Thursday, May 24, 2007

Kasus UN: Giliran Nurani Pemerintah yang Diuji

Ke-58 anggota Education Forum yang mengajukan gugatan (citizen lawsuit) terhadap pemerintah sehubungan dengan ketidakadilan yang mereka rasakan sebagai akibat kebijakan Ujian Nasional (UN) boleh berteriak gembira. Gugatan mereka dikabulkan (22 Mei 2007). Dalam putusannya, pengadilan menilai pemerintah telah lalai memenuhi hak asasi anak di bidang penddiikan. Disamping itu juga, sebelum UN digelar, pemerintah wajib meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta meninjau ulang sistem pendidikan nasional saat ini. Namun rupanya, sikap gembira dalam menyikapi kemenangan itu bisa saja berakhir dengan kehampaan. Menanggapi keputusan itu, Mendiknas bersikukuh untuk terus akan mempertahankan UN (the Jakarta Post, 23 Mei 2007).

Korban target politik jangka pendek

Dari tinjauan sosiologis kritis, keputusan mempertahankan UN sebagai alat ukur keberhasilan belajar secara nasional adalah hal wajar. Pemerintah mempunyai alasan untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh, serta apa yang layak dan tidak layak. Persoalan yang sering muncul adalah ketika kebijakan publik cenderung berorientasi pada pencapaian target-target politik jangka pendek. Kita terlalu sering mendengar celotehan “ganti menteri pendidikan, pasti akan ganti kurikulum.” Fenomena macam ini tidak lain adalah manifestasi dari target-target politik jangka pendek dari pemimpin politik yang sedang berkuasa.

Kasus UN pun juga demikian halnya. Keberhasilan belajar dalam angka statistik selalu menakjubkan. Seakan-akan, semakin tinggi standar angka kelulusan, kita diyakinkan untuk percaya bahwa kualitas pendidikan yang begitu kompleks sudah membaik dengan sendirinya. Catatan-catatan numerik statistik sebagai alat propaganda bahwa pemerintah telah berbuat “benar dan baik” menjadi alat pengesah yang ampuh dari pemerintah.

Dilihat dari proses pembelajaran UN memang membawa dua dampak negatif yang sangat serius. Pertama, UN menjauhkan siswa dari pengalaman pembelajaran yang membebaskan (liberatory). Demi mencapai tujuan “angka skor minimal,” berbagai upaya dilakukan, seperti menghafal, dan drill soal-soal ujian di masa lalu. Berbagai pihak di luar murid, seperti orang tua, sekolah, dan bahkan Diknas pun terjebak dalam sindroma seperti ini. Seperti yang sudah didiskusikan di banyak tempat, bahkan banyak sekolah yang menyewa instruktur-instruktur bimbingan belajar untuk melatih para siswanya mengerjakan soal-soal ujian.

Padahal, anak sudah semestinya mengalami pembelajaran yang betul-betul mampu membekali mereka dalam hidup. Hafalan jangka pendek tidak cukup membekali anak untuk memecahkan persoalan hidup yang sangat kompleks. Karena terbiasa distimulasi dengan soal-soal ujian, anak tidak dilatih untuk bereksplorasi, mencari koneksi atas berbagai fenomena, kreatif dan kritis serta adaptif.

Kedua, UN juga menjadi alat yang paling tepat untuk menjauhkan anak didik dari nilai-nilai kejujuran, semangat kerja keras, berani bertanggung jawab, dan ketekunan. Berbagai pelanggaran yang terjadi di sana-sini yang dilakukan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh berbagai pihak terkait, jelas-jelas mengajarkan pada siswa tentang tidak perlunya integritas dalam hidup ini.

Singkat kata, dengan dua dampak negatif yang akhirnya justru berakibat pada runtuhnya nilai-nilai yang hendak diperjuangkan oleh pendidikan sendiri, akankah pemerintah berani bertindak “strategis?” Tentu, makna “strategis” di sini harus dimengerti dari kacamata kepentingan siswa, bukan kepentingan propaganda politis semata.

Berperang dari dalam

Bila dicermati lebih lanjut mengenai sikap Depdiknas, yang tampak justru persoalan ruwet penuh kontroversi. Di satu sisi, hal-hal negatif seperti yang sudah disinggung di atas, telah benar-benar dipahami oleh insan-insan yang berada dalam departemen ini. Literatur-literatur utama yang dikeluarkan oleh Depdiknas dalam rangka sosialisasi KBK 2004 menjadi contoh konkrit tentang pemahaman mengenai kesadaran tersebut. Di sana terlihat bahwa belajar dalam arti sesungguhnya ditandai dengan kegiatan yang terfokus pada siswa (student-centered), melibatkan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari (contextual teaching and learning), menekankan pada pengembangan kecakapan hidup (broad-based education oriented to life-skills), dan menekankan pada proses (process-based learning). Penekanan pada tingkat proses ini layak digarisbawahi, karena pada dasarnya, model evaluasi yang disarankan oleh Depdiknas sendiri lebih mengacu pada pencapaian tiap individu. Sebagai alat ukurnya, yang disarankan adalah penilaian berbasis portofolio dan kinerja (portfolio and performance based assessments).

Di lain pihak, justru Depdiknas sendiri juga yang melanggar “aturan main” yang dikeluarkannya sendiri. UN yang selama ini diterapkan justru bertentangan dengan idealisme yang dicerminkan dalam literatur-literatur tersebut, dan tentu saja memang selalu mengundang berbagai kontroversi. Pertama, tipe pilihan ganda yang dipakai jarang menyentuh tingkat berpikir yang lebih kompleks. Anak tidak diajak untuk berpikir analitis, sintesis, dan evaluatif (higher-order thinking skills). Anak hanya diajak untuk menyentuh tingkat pengetahuan dasar dan pemahaman minimal. Kedua, timbul pertanyaan mengenai keabsahan UN sebagai alat ukur kelulusan. Bagaimana mungkin proses pembelajaran selama tiga tahun hanya diukur selama 120-an menit, dan ditentukan oleh tiga mata pelajaran? Dalam hal ini, posisi guru yang mestinya memiliki hak prerogatif dalam menentukan lulus-tidaknya siswa – karena merekalah yang paling tahu proses belajar dari hari ke hari – sama sekali tidak diberi ruang gerak. Ketiga, UN diduga memiliki tingkat validitas prediktif yang rendah pula. Artinya, mereka yang mencapai nilai baik di UN bukan berarti dia memiliki peluang lebih baik untuk berhasil. Yang gagal pun tidak berarti bahwa nasib mereka pun juga akan lebih buruk. Ada begitu banyak contoh bahwa yang memiliki potensi untuk berhasil di masa depan, justru gagal dalam UN. Sementara, yang serba minimalis, bisa saja lulus.

Singkat kata, begitu kasus UN masuk wilayah pengadilan, akankah nurani seperti yang tercermin dari literatur-literatur keluaran Depdiknas sendiri akan mengusik kesadaran dari pihak pemerintah. Kita tunggu apakah nurani para pembesar bangsa ini juga terketuk? Kita tunggu saja kebijakan dan komentar-komentar mereka. Akankah kualitas pendidikan yang belum membaik ini justru makin diperparah dengan prinsip mediokritas gaya UN seperti sekarang ini?

2 comments:

Anonymous said...

The ambition of Clomid therapy in treating infertility is to establish normal ovulation rather than give rise to the growth of numerous eggs. In olden days ovulation is established, there is no emoluments to increasing the dosage above . Numerous studies show that pregnancy regularly occurs during the to begin three months of infertility analysis and treatment beyond six months is not recommended. Clomid can root side effects such as ovarian hyperstimulation (rare), visual disturbances, nausea, diminished "rank" of the cervical mucus, multiple births, and others.

Clomid is again prescribed by generalists as a "opening activity" ovulation induction therapy. Most patients should be subjected to the fertility "workup" previously to to genesis any therapy. There could be varied causes of infertility in appendix to ovulatory disorders, including endometriosis, tubal malady, cervical circumstance and others. Also, Clomid analysis should not be initiated until a semen criticism has been completed.
Clomid and Other Ovulation Inducti
Somali pirates time minus their attacks against worldwide ships in and all all more than the Impression of Aden, teeth of the discouragement of stepped-up supranational naval escorts and patrols - and the increased dereliction mandate of their attacks. Below-stairs agreements with Somalia, the U.N, and each other, ships relationship to fifteen countries for the time being protecting the area. Somali pirates - who be subjected to won themselves more $200 million in unshackle since at cock crow 2008 - are being captured more oft-times recompense the plat being, and handed more than to authorities in Kenya, Yemen and Somalia in the handling of trial. Composed here are some right-minded exposed photos of piracy downturn the skim of Somalia, and the epidemic efforts to limitation it in.
[url=http://team-ocala.com/members/follicles-grow-with-clomid-68/default.aspx]follicles grow with clomid[/url]
[url=http://aboutturkey.com/members/where-to-buy-clomid-vancouver-bc-60/default.aspx]where to buy clomid vancouver bc[/url]
[url=http://suffolktogether.com/community/members/what-hormone-is-in-clomid-78/default.aspx]what hormone is in clomid[/url]
[url=http://www.alexthissen.nl/members/estrogen-dominance-and-clomid-challenge-test-86/default.aspx]estrogen dominance and clomid challenge test[/url]
tel:95849301231123

Anonymous said...

Yes if the truth be known, in some moments I can phrase that I jibe consent to with you, but you may be considering other options.
to the article there is stationary a suspect as you did in the decrease delivery of this request www.google.com/ie?as_q=fireflies lyrics on demand ?
I noticed the phrase you have not used. Or you use the dreary methods of helping of the resource. I suffer with a week and do necheg