Thursday, June 28, 2007

io kangen bapak ...

Lukisan hitam putih keluargaku memang belum sempat aku pasang di dinding. Di situ tergambar wajahku yang agak chubby dengan senyum lebar, dan mata sipit. Di sisi kananku istriku sedang menggendong anakku, si Io yang tampak sedang tidak bahagia, sedikit njaprut. Lukisan itu memiliki makna khas. Diberikan sebagai kenang-kenangan oleh seorang mahasiswi yang hampir gagal menyelesaikan skripsi. Malam sebelum keberangkatanku, 19 Juni 2007, dengan menyewa sebuah pick-up, dia datang membawa lukisan berukuran kurang lebih 75 cm x 1,25 m. Terkaget-kaget kami dibuatnya. Tapi itu lah yang dia katakan. Dengan mata berbinar dan sekaligus berkaca-kaca, dia mengatakan betapa hidupnya telah begitu berarti selama satu tahun terakhir ini. Ada banyak yang telah dipelajari selama penulisan skripsi. Aku tersenyum, dan juga bersyukur, bahwa sosok yang keras kepala tersebut telah menjelma menjadi sosok yang siap untuk mendengarkan dan belajar.

Kini, lukisan itu teronggok di kamar tidur utama. Belum terpasang di dinding. Dan sore ini, aku merasakan getaran yang sangat kuat untuk menelpon keluargaku. Apa jawaban yang aku peroleh? Io tidak cukup antusias untuk menjawab telpon. Mungkin dia merasa kurang mantap saja. Setelah dua tiga kali bicara, dia berikan telpon ke mamanya. Dan mamanya kemudian menceritakan hal yang tiba-tiba membuat diriku tercenung sejenak. "Mas, Io lucu sekali," begitu katanya, "Ingat foto yang dicetakkan mas Bambang? Io selipkan fotonya di sisi lukisan. Katanya, Io sangat kangen sama kamu." Aku tersenyum. Getir. Sepercik rasa pedih tertoreh di hati. Ingin rasanya aku peluk dia, bercanda, bermain bola, dan jalan-jalan menyusuri pematang sawah seperti biasanya.

Dalam hati kecil aku menangis. Aku bayangkan betapa sosok anak berusia 32 bulan merindukan sosok seorang ayah yang tampil sebagai seorang pahlawan. Hero. Bisa mengerjakan banyak hal. Bisa memecahkan semua persoalan. Kreatif dalam bermain dan membuat alat-alat mainan. Aku bayangkan sosok Io yang mungil merindukanku. Ya, aku ingat bagaimana dia begitu senang dengan hasil karya baling-baling kertas yang aku buat yang dia bisa pakai untuk mainan. Sederhana. Tapi itu memberi kesan yang dalam. Bagi dia, yang menarik bukannya mainan yang aneh-aneh. Tapi mainan yang sederhana yang dibuatkan oleh ayahnya.

Salah satu persoalan yang mendasar ketika seorang ayah meninggalkan keluarga untuk suatu kepentingan tertentu adalah hilangnya sosok hero dalam keluarga. Bila tidak disikapi dengan positif, dan anak tidak didampingi dengan baik, kehilangan macam itu tentunya akan memberikan dampak serius dalam perkembangan emosional dan psikologis untuk waktu-waktu mendatang. Pandangan macam ini tentu diangkat dari perspektif psikologi perkembangan. Namun, rupanya pandangan ini tidak sepenuhnya cukup untuk menjelaskan fenomena yang sangat rumit dalam kehidupan ini. Ada dimensi spiritual yang rupanya bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena tersebut dengan lebih komprehensif.

Dari sisi spiritual ini, manusia sudah sepantasnya merasakan kehidupan di dunia ini sebagai rangkaian tugas perutusan. Aku dipanggil untuk menjadi seorang ayah, seorang dosen, seorang kepala rumah tangga, dan teman bagi kolega-kolegaku. Tentu tidak mudah menggenapi seluruh tugas perutusan tersebut dengan gilang-gemilang untuk waktu yang bersamaan. Dalam banyak hal, harus ada pengorbanan di sana-sini untuk memastikan bahwa tugas perutusan yang dipasang di pundak ini benar-benar terlaksana dengan optimal. Untuk menjadi dosen yang nantinya bisa memberi kontribusi yang lebih banyak untuk kehidupan, aku memang tidak boleh menutup mata dengan pengorbanan yang harus dibuat. Meninggalkan keluarga, mengesampingkan comfort zone demi sebuah cita-cita, dan berusaha untuk tampil optimal dalam kondisi apapun adalah bentuk-bentuk dari pengorbanan itu.

Aku mencoba untuk meyakini, sekalipun Io tidak tumbuh berdampingan dengan diriku, dia akan tumbuh tegar dan kuat, sekuat dan setegar orang tuanya yang tidak mudah menyerah pada persoalan perasaan. Aku meyakini, bahwa apa yang aku lakukan ini tidak lebih dari sekedar menjalani apa yang telah dirancang oleh Yang Di Atas. Kehendak bebasku lah yang menentukan apakah aku berhasil atau tidak dalam menjalani tugas perutusan ini. Dan ketika tabir kehidupan ditutup, yang akan ditanyakan St. Petrus adalah seberapa besar aku bertanggung jawab dengan kehendak bebasku tersebut. Kehendak bebas yang menentukan bentuk akhir dari sebuah rencana Yang Di Atas.

1 comment:

Indri said...

I hope Pak Markus bisa bawa keluarganya nanti. Family is everything for me tapi memang kadang membutuhkan pengorbanan untuk mencapai yang lebih baik.