Thursday, May 24, 2007

PENDIDIKAN ALTERNATIF HOMESCHOOLING: ANCAMAN ATAU POTENSI?

Seorang ibu protes karena jawaban kreatif anaknya yang masih duduk di kelas tiga SD dinilai salah oleh gurunya. Menurut sang ibu yang lulus doktoral di luar negeri itu, anaknya menjadi takut berpendapat, enggan berpartisipasi di kelas, dan tidak bersemangat dalam belajar. Di samping itu, ibu tersebut juga mencatat bahwa ada sejumlah anak yang berperilaku menyimpang. Karena secara fisik lebih kuat dari anak-anak lainnya, mereka suka mengancam dan mengutip “pajak” dari teman-temannya yang lebih lemah, entah itu dalam bentuk uang atau makanan kecil.

Gerakan pendidikan alternatif sekolahrumah (homeschooling) muncul dari berbagai persoalan seperti yang digambarkan dalam ilustrasi di atas. Banyak orang tua – terutama mereka yang berpendidikan, mengeluhkan lemahnya profesionalitas guru. Guru-guru yang lemah dalam keterampilan pedagogis dan penguasaan materi justru sering menumpulkan potensi siswa. Di samping itu, pola relasi di sekolah, yang sering tidak bisa dikontrol dan dimonitor oleh guru maupun sekolah, sering menumbulkan rasa kekhawatiran yang berlebihan.

Dewasa ini, sekolahrumah memang menjadi salah satu pilihan untuk pendidikan alternatif, terutama bagi keluarga yang memiliki modal, waktu, dan energi yang cukup untuk itu. Ada beragam model sekolahrumah, namun secara sederhana, sekolahrumah bisa digambarkan sebagai berikut. Anak dididik langsung oleh orang tuanya di rumah, dan anak tidak terafiliasi di sekolah formal. Peran orang tua sangat sentral, karena mereka bisa memodifikasi kurikulum, mengembangkan materi pembelajaran, memakai berbagai metode penyampaian, dan memanfaatkan berbagai macam penilaian belajar. Seperti di berbagai negara lain, di Indonesia pun ada sejumlah komunitas yang mewadahi kegiatan ini. Dengan berkembangnya teknologi informasi, orang tua dan anak tidak kehabisan materi pembelajaran. Namun demikian, narasumber biasanya didatangkan ke rumah bila memang anak memerlukan informasi lebih.

Namun, seberapa besar kemungkinan pengembangan pendidikan alternatif macam ini? Dampak macam apa yang akan diterima oleh siswa dan orang tua yang bersangkutan, serta sekolah pada umumnya? Seberapa jauh trend sekolahrumah ini bertahan?

Gerakan anti pendidikan massal

Pendidikan massal (mass education) muncul ketika industri manufaktur tumbuh subur. Pada era industrialisasi macam itu, orang-orang dituntut sekedar memiliki ketrampilan baca-tulis yang minim, seperti untuk memahami instruksi dalam menjalankan mesin dan mengisi pembukuan atas transaksi bisnis. Mengingat minimnya pendidikan formal, banyak anak-anak tumbuh dengan ketrampilan melek huruf yang kurang memadai. Hanya kelompok masyarakat elit yang mampu mendatangkan tutor ke rumah mereka. Dalam perkembangannya, pendidikan massal berkembang menjadi tradisi yang kuat. Karena sumber informasi terbatas, ilmu-ilmu masih diajarkan melalui hafalan. Akibatnya pengalaman belajar yang mendorong daya pikir serta pengembangan nalar kritis belum berkembang dalam pendidikan massal ini.

Tantangan dalam era informasi dewasa ini sangat berbeda dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Keberhasilan ditentukan oleh penguasaan, pengolahan, dan pemanfaatan informasi. Globalisasi telah mengubah wajah dunia yang semula terkotak-kotak oleh ruang dan waktu, kini menjadi sebuah desa raksasa. Berbagai kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun, dapat diketahui dengan cepat. Teknologi informasi yang tercermin dari telepon seluler, koneksi internet, dan komputer pribadi telah membuat pembelajaran yang mengedepankan hafalan dan ingatan semata-mata tidak cukup membekali siswa untuk memasuki dunia dengan wajah baru ini.

Tidak bisa dipungkiri bahwa semakin banyak orang tua murid yang menyadari realitas objektif dari dunia baru ini. Pendidikan formal yang cenderung lamban menanggapi cepatnya perubahan informasi dirasakan tidak cukup. Gerakan sekolahrumah berperan sebagai pendidikan alternatif untuk memfasilitasi pembelajaran yang lebih menarik, mendalam, dan juga bertanggung jawab bagi anak-anak.

Di satu sisi, perkembangan macam ini merupakan hal yang baik. Artinya, orang tua lebih berperan dalam pendidikan anak. Hubungan orang tua dengan anak pun juga menjadi lebih intensif. Anak juga memiliki peluang untuk memuaskan rasa ingin tahu tanpa harus terbatasi oleh aturan-aturan di kelas. Seperti yang diklaim oleh para orang tua yang menjalankan sekolahrumah, anak-anak terhindar dari konflik dengan anak-anak lain yang bisa jadi membahayakan.

Di lain pihak, sekolahrumah ini membawa dampak ikutan yang tidak kalah serius. Sulit dipungkiri bahwa anak bisa jadi tumbuh sebagai sosok yang sulit bersosialisasi. Terbatasnya ruang gerak yang mereka alami juga bisa membuat kepekaan sosial anak tidak terasah. Mereka menjadi “imun” atas isu-isu kemiskinan, sakit, kepedihan, kekurangan, dan realitas negatif lain dalam masyarakat.

Beberapa prasyarat

Melihat plus dan minusnya dari sekolahrumah, model pendidikan alternatif ini rupanya hanya cocok bila beberapa prasyarat berikut ini terpenuhi. Pertama, orang tua harus memiliki modal finansial dan latar belakang pendidikan yang memadai. Model pendidikan alternatif ini tidak murah. Akses internet, penyediaan sumber-sumber belajar, biaya tutorial dari narasumber yang terpilih adalah sejumlah dana yang harus disiapkan. Kedua, orang tua juga harus membangun jaringan dengan berbagai pihak, seperti pelaku sekolahrumah yang lain, untuk berbagi materi dan berinteraksi antara sesama anak sekolahrumah. Interaksi nyata dengan anak-anak seusia yang lain di luar rumah merupakan kebutuhan dasar demi perkembangan sosial anak. Ketiga, Dinas Pendidikan sudah semestinya mewadahi dan memberikan rambu-rambu untuk pelaksanaan rumahsekolah macam ini. Bagaimana nasib peserta sekolahrumah bila mereka akhirnya tidak berhak mendapatkan ijazah?

Berbagai pendidikan alternatif, seperti rumahsekolah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan yang lainnya, tidak akan pernah mampu menggeser keberadaan sekolah formal (mainstream). Namun, model-model tersebut juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Orang tua, guru, sekolah, dan Dinas Pendidikan pun sudah selayaknya belajar dari gerakan-gerakan seperti itu. Kelompok-kelompok seperti itu biasanya dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki idealisme dan kepercayaan diri yang tinggi. Mereka berani membuat berbagai terobosan dalam pembelajaran tanpa harus merasa dibatasi oleh beragam aturan main. Mereka berani menentukan kurikulum sendiri, mengembangkan metode pembelajaran yang kontekstual, dan membuat alat ukur pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan. Layak dicatat juga, mereka juga tidak segan-segan berbagi pengalaman kepada khalayak umum. Sebagai ilustrasi, dengan mesin pencari google.com, silahkan ketik kata kunci “homeschooling Indonesia” anda akan mendapatkan lebih dari 210.000 links yang menyediakan informasi tentang sekolahrumah ini.

No comments: