Thursday, May 24, 2007

Rm. Mangunwijaya: Pembaharuan Pendidikan dan Keberlanjutannya

Rm. Mangunwijaya (1929 – 1999) bagi sebagian besar orang adalah sesosok splendor veritatis – sosok yang penuh dengan warna-warni pelangi sebagai cermin keutamaan kemanusiaan. Pergulatan hidupnya tercermin dalam beragam karya monumental. Novel Burung-burung Manyar (1979) menyabet penghargaan “The South-East Asian Award” (1986). Sentuhan arsitektur yang berbasis masyarakat terpinggirkan di tebing Kali Code telah membuatnya dianugerahi Aga Khan (1990-1992). Kepeduliannya terhadap karya pendidikan telah terwujud dalam Sekolah Dasar Eksperimental Kanisius Mangunan (SDKEM) dan Lembaga Dinamika Edukasi Dasar (DED).

Karya terobosan

Karya dan sumbangan Rm. Mangun dalam bidang pendidikan inilah yang menjadi objek penelitian dari Y. Dedi Pradipto dalam buku Belajar sejati vs. kurikulum nasional: Kontestasi kekuasaan dalam pendidikan dasar (2007). Memakai pisau analisis antropologi sosial, Dedi Pradipto mencoba untuk menghadirkan sosok Rm. Mangun lengkap dengan berbagai terobosan yang beliau coba ajukan untuk membantu persoalan kronis dalam dunia pendidikan.

Kajian penelitian dalam buku ini didasarkan pada fakta bahwa pemerintah menciptakan sistem untuk menjaga “kelangsungan” hidupnya. Dinamika dalam penciptaan kondisi macam ini termanifestasi dalam berbagai aturan main. Kurikulum dan Ujian Akhir Nasional (UAN) adalah dua contoh manifestasi pengaruh pemerintah tersebut. Kurikulum secara luas dapat dimaknai sebagai apa yang boleh dan tidak boleh untuk dikuasai oleh anak didik.

Sementara, UAN lebih merupakan manifestasi dari target politik jangka pendek pemerintah, bukan untuk pemberdayaan anak didik. Yang menjadi korban tentu saja pertama-tama adalah siswa. Karena mereka tidak diberi ruang gerak untuk mengeksplorasi alam, memuaskan rasa ingin tahu mereka, dan mencari apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Pihak-pihak di sekitar anak, entah itu orang tua, guru, dan kepala sekolah, dan bahkan Dinas Pendidikan pun, ramai-ramai “mencekoki” anak dengan pengetahuan dan hafalan jangka pendek. Bagi Rm. Mangun, pembelajaran yang tidak mengedepankan pengalaman “belajar sejati” justru akan menjadikan anak sebagai korban, bukan sebagai pihak yang diberdayakan.

Rm. Mangun mencoba untuk keluar dari lingkaran setan dampak kekuasaan yang termanifestasi melalui kurikulum yang sarat dengan pengetahuan namun miskin dalam pemaknaan itu. Karena itu, dengan memanfaatkan sebuah SD Kanisius Mangunan, Sleman yang hampir mati, pada tahun 1994, Rm. Mangun mengadakan terobosan (groundbreaking) dengan tiga sasaran. Pertama, Rm. Mangun menciptakan kurikulum yang khas. Kepedulian dan kedekatannya dengan wong cilik telah mendorongnya untuk mengangkat kemiskinan kronis sebagai laboratorium eksperimental untuk mengentaskan anak miskin. Kedua, sebagai partner kerja dari SDKEM, Rm. Mangun juga mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang berperan sebagai think tank untuk mendukung dari program-program pembelajaran di SDKEM. Di DED inilah berbagai persoalan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar diangkat, didiskusikan, dibagikan, dipahami secara bersama, disikapi secara kritis, dan akhirnya dicarikan solusinya. Ketiga, Rm. Mangun juga tidak enggan untuk menggandeng berbagai rekanan, mengembangkan jaringan, dan menyebarkan temuan-temuan dalam berbagai eksperimen tersebut ke berbagai forum. Hasil-hasil dari praktik baik pembelajaran yang memfasilitasi belajar sejati dibagikan dan diterapkan di berbagai konteks sekolah lain.

Dengan tiga hal yang dilakukan secara konsisten tersebut, usaha-usaha Rm. Mangun akhirnya mulai menuai perhatian. Setidaknya ada tiga kontribusi besar yang dihadirkan dari perjuangan Rm. Mangun selama ini. Pertama, pihak Departemen Pendidikan tergugah untuk mengadopsi kurikulum pendidikan dasar yang telah diujicobakan oleh Rm. Mangun. Kurikulum berorientasi pada tema yang dipakai di SD sekarang ini adalah hasil eksplorasi dan eksperimentasi dari Rm. Mangun dan teman-teman.

Kedua, sejauh ini, baik SDKEM maupun DED menjadi acuan bagi berbagai sekolah di berbagai penjuru di negeri ini dalam hal pengembangan model-model materi pembelajaran dan pendekatannya. Banyak yang sudah datang, belajar, dan mengadopsi model-model pendekatan pembelajaran yang memungkinkan “belajar sejati” dapat terwujud.

Ketiga, SDKEM dan DED berhasil mengubah wajah persekolahan yang serba pesimistis, kekurangan, dan tidak berdaya. Dengan pola interaksi yang sehat antara guru dan siswanya, kebebasan untuk berekspresi dan bereksplorasi, anak didorong untuk menumbuhkembangkan sikap ingin tahu dan saling harga-menghargai. Berbagai pengalaman hidup yang dijumpai dalam hidup keseharian diangkat dan dimaknai dengan penuh empati. Kemiskinan kronis sebagai realitas objektif bagi anak-anak menjadi bagian dari proses pembelajaran. Barang-barang bekas bisa dibawa ke kelas untuk menumbuhkan kesadaran tentang makna kreativitas, perlunya konservasi alam, dan kepedulian terhadap sesama. Bagi Rm. Mangun, kemiskinan bukan alasan untuk merasa pesimistis, gagal, dan tidak berprestasi.

Catatan kritis

Sulit untuk dipungkiri bahwa sosok Rm. Mangun identik dengan pemikiran yang begitu kompleks, sehingga banyak hal tidak tertangkap bahkan oleh para sahabatnya yang meneruskan karya dan kepeduliannya dalam dunia pendidikan. Hanya 30% yang tertangkap, sementara yang 70% hilang seiring dengan berpulangnya sosok ini ke pangkuan pertiwi. Nasib SDKEM dan DED pun juga kembang-kempis sepeninggal beliau. Mengapa demikian? Sosok Rm. Mangun, sebagai makhluk fana, juga hidup dalam konteks ruang dan waktu, yang menurut logika Niels Mulder (2000) masih mengacu pada masyarakat madani setengah hati. Dengan kata lain, Rm. Mangun muncul sebagai sosok kharismatis di tengah-tengah konteks masyarakat yang belum mampu berpikir secara merdeka dan bertindak secara bebas-bertanggung jawab. Dengan kata lain, Rm. Mangun yang memiliki karisma tunggal, terlalu berat menanggung idealisme, karena masyarakat yang ada di sekitarnya tidak berdiri setara dengan sosok ini. Akibatnya jelas, banyak ide dari sosok Rm. Mangun yang tidak tertangkap.

Gambaran tentang perjuangan dan kepedulian Rm. Mangun dalam mengentaskan masyarakat miskin melalui pendidikan sebenarnya tidaklah terlalu unik. Bahkan untuk negara semaju Amerika Serikat pun, persoalan kesenjangan sosial menjadi masalah yang sulit untuk dipecahkan. Berbagai kelompok masyarakat dalam lingkup inner cities, yang ditandai dengan penyalahgunaan obat terlarang, drop-out rate yang sangat tinggi, dan kriminalitas yang marak, telah membuat lingkaran setan yang tidak mudah untuk diretas.

Cukup menarik bahwa sekelompok Jesuit telah berhasil meretas persoalan macam ini. Dimulai tahun 1996, di salah satu sudut kota Chicago, mereka mendirikan sebuah SMA Cristo Rey untuk mengangkat anak-anak dari jurang kemiskinan kronis. Data-data selama satu dekade memang menakjubkan. Drop-out rate di sekolah ini hanya 6%, yang melanjutkan kuliah 82%, 11 sekolah lain yang mengadopsi model yang sama telah didirikan, di musim gugur 2007 ini, akan dibuka 7 sekolah lagi. Tahun 2008, akan dibuka lebih banyak lagi. Akhir tahun 2006, Rev. John Foley sebagai ketua Cristo Rey Network tercatat sebagai Man of the Year versy Newsweek untuk bidang pendidikan. Di sini, kita melihat kontrasnya, bagaimana gerakan pembaharuan pendidikan menjadi buntu di negeri kita. Sementara di negara lain, justru berkembang pesat.

Ada dua alasan mendasar. Pertama, bagaimanapun juga, kita belum memiliki karisma bersama (shared charisma) atau yang sering disebut sebagai budaya korporasi (corporate culture). Dalam konteks ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu program rata-rata memiliki kemampuan dan ketrampilan yang sama; kesediaan untuk bekerja sama, saling membantu, dan saling menolong. Sikap budaya yang seperti inilah yang mendesak untuk dibangun jika yang mau dicapai adalah keberhasilan.

Kedua, keberhasilan suatu program pembaharuan juga mencerminkan konteks perekonomian yang lebih luas. Anak-anak yang masuk SMA Cristo Rey memang tidak mampu membayar uang sekolah. Namun, mereka akan dilibatkan dalam Corporate Internship Program, di mana mereka akan bekerja satu minggu sekali di sebuah perusahaan. Sebagian besar dari upah yang mereka peroleh akan dipakai untuk bayar uang sekolah. Sekalipun tidak cukup, toh ini sangat membantu untuk kelanjutan dan kelangsungan hidup sekolah tersebut.

1 comment:

andreas iswinarto said...

sisi lain mangunwijaya

Dari banyak segi dan aneka warna manusia Mangunwijaya, kerjanya dan panggilan hidupnya, barangkali agak kurang tajam disoroti Mangunwijaya dalam ‘Kebermainannya’, Sang Homo Ludens ini. Padahal sejatinya dari ‘kebermainan’ inilah kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian dapat ditelusuri jejaknya.

Romo Mangun menulis di Kedung Ombo 6 Mei 1990 sebagai berikut :
“…. kebermainan manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia yang seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berporses emansipatorik; dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana kemerdekaan.
Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, gembira, puas”.

(dari pengantar Mangunwijaya untuk buku Johan Huizinga Homo Ludens : Fungsi dan Hakekat Permainan Dalam Budaya, LP3ES 1990)

Mangun melalui Atik dalam novel Burung-burung Manyar mengungkapkan lebih jauh tentang penghayatan jati diri dan dimensi kualitas kemanusiaan ini yang menurut saya berangkat dari kebermainan sang homo ludens ini…

Silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/03/burung-burung-manyar-mangunwijaya-dalam.html