Thursday, May 24, 2007

Kasus UN: Giliran Nurani Pemerintah yang Diuji

Ke-58 anggota Education Forum yang mengajukan gugatan (citizen lawsuit) terhadap pemerintah sehubungan dengan ketidakadilan yang mereka rasakan sebagai akibat kebijakan Ujian Nasional (UN) boleh berteriak gembira. Gugatan mereka dikabulkan (22 Mei 2007). Dalam putusannya, pengadilan menilai pemerintah telah lalai memenuhi hak asasi anak di bidang penddiikan. Disamping itu juga, sebelum UN digelar, pemerintah wajib meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta meninjau ulang sistem pendidikan nasional saat ini. Namun rupanya, sikap gembira dalam menyikapi kemenangan itu bisa saja berakhir dengan kehampaan. Menanggapi keputusan itu, Mendiknas bersikukuh untuk terus akan mempertahankan UN (the Jakarta Post, 23 Mei 2007).

Korban target politik jangka pendek

Dari tinjauan sosiologis kritis, keputusan mempertahankan UN sebagai alat ukur keberhasilan belajar secara nasional adalah hal wajar. Pemerintah mempunyai alasan untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh, serta apa yang layak dan tidak layak. Persoalan yang sering muncul adalah ketika kebijakan publik cenderung berorientasi pada pencapaian target-target politik jangka pendek. Kita terlalu sering mendengar celotehan “ganti menteri pendidikan, pasti akan ganti kurikulum.” Fenomena macam ini tidak lain adalah manifestasi dari target-target politik jangka pendek dari pemimpin politik yang sedang berkuasa.

Kasus UN pun juga demikian halnya. Keberhasilan belajar dalam angka statistik selalu menakjubkan. Seakan-akan, semakin tinggi standar angka kelulusan, kita diyakinkan untuk percaya bahwa kualitas pendidikan yang begitu kompleks sudah membaik dengan sendirinya. Catatan-catatan numerik statistik sebagai alat propaganda bahwa pemerintah telah berbuat “benar dan baik” menjadi alat pengesah yang ampuh dari pemerintah.

Dilihat dari proses pembelajaran UN memang membawa dua dampak negatif yang sangat serius. Pertama, UN menjauhkan siswa dari pengalaman pembelajaran yang membebaskan (liberatory). Demi mencapai tujuan “angka skor minimal,” berbagai upaya dilakukan, seperti menghafal, dan drill soal-soal ujian di masa lalu. Berbagai pihak di luar murid, seperti orang tua, sekolah, dan bahkan Diknas pun terjebak dalam sindroma seperti ini. Seperti yang sudah didiskusikan di banyak tempat, bahkan banyak sekolah yang menyewa instruktur-instruktur bimbingan belajar untuk melatih para siswanya mengerjakan soal-soal ujian.

Padahal, anak sudah semestinya mengalami pembelajaran yang betul-betul mampu membekali mereka dalam hidup. Hafalan jangka pendek tidak cukup membekali anak untuk memecahkan persoalan hidup yang sangat kompleks. Karena terbiasa distimulasi dengan soal-soal ujian, anak tidak dilatih untuk bereksplorasi, mencari koneksi atas berbagai fenomena, kreatif dan kritis serta adaptif.

Kedua, UN juga menjadi alat yang paling tepat untuk menjauhkan anak didik dari nilai-nilai kejujuran, semangat kerja keras, berani bertanggung jawab, dan ketekunan. Berbagai pelanggaran yang terjadi di sana-sini yang dilakukan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh berbagai pihak terkait, jelas-jelas mengajarkan pada siswa tentang tidak perlunya integritas dalam hidup ini.

Singkat kata, dengan dua dampak negatif yang akhirnya justru berakibat pada runtuhnya nilai-nilai yang hendak diperjuangkan oleh pendidikan sendiri, akankah pemerintah berani bertindak “strategis?” Tentu, makna “strategis” di sini harus dimengerti dari kacamata kepentingan siswa, bukan kepentingan propaganda politis semata.

Berperang dari dalam

Bila dicermati lebih lanjut mengenai sikap Depdiknas, yang tampak justru persoalan ruwet penuh kontroversi. Di satu sisi, hal-hal negatif seperti yang sudah disinggung di atas, telah benar-benar dipahami oleh insan-insan yang berada dalam departemen ini. Literatur-literatur utama yang dikeluarkan oleh Depdiknas dalam rangka sosialisasi KBK 2004 menjadi contoh konkrit tentang pemahaman mengenai kesadaran tersebut. Di sana terlihat bahwa belajar dalam arti sesungguhnya ditandai dengan kegiatan yang terfokus pada siswa (student-centered), melibatkan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari (contextual teaching and learning), menekankan pada pengembangan kecakapan hidup (broad-based education oriented to life-skills), dan menekankan pada proses (process-based learning). Penekanan pada tingkat proses ini layak digarisbawahi, karena pada dasarnya, model evaluasi yang disarankan oleh Depdiknas sendiri lebih mengacu pada pencapaian tiap individu. Sebagai alat ukurnya, yang disarankan adalah penilaian berbasis portofolio dan kinerja (portfolio and performance based assessments).

Di lain pihak, justru Depdiknas sendiri juga yang melanggar “aturan main” yang dikeluarkannya sendiri. UN yang selama ini diterapkan justru bertentangan dengan idealisme yang dicerminkan dalam literatur-literatur tersebut, dan tentu saja memang selalu mengundang berbagai kontroversi. Pertama, tipe pilihan ganda yang dipakai jarang menyentuh tingkat berpikir yang lebih kompleks. Anak tidak diajak untuk berpikir analitis, sintesis, dan evaluatif (higher-order thinking skills). Anak hanya diajak untuk menyentuh tingkat pengetahuan dasar dan pemahaman minimal. Kedua, timbul pertanyaan mengenai keabsahan UN sebagai alat ukur kelulusan. Bagaimana mungkin proses pembelajaran selama tiga tahun hanya diukur selama 120-an menit, dan ditentukan oleh tiga mata pelajaran? Dalam hal ini, posisi guru yang mestinya memiliki hak prerogatif dalam menentukan lulus-tidaknya siswa – karena merekalah yang paling tahu proses belajar dari hari ke hari – sama sekali tidak diberi ruang gerak. Ketiga, UN diduga memiliki tingkat validitas prediktif yang rendah pula. Artinya, mereka yang mencapai nilai baik di UN bukan berarti dia memiliki peluang lebih baik untuk berhasil. Yang gagal pun tidak berarti bahwa nasib mereka pun juga akan lebih buruk. Ada begitu banyak contoh bahwa yang memiliki potensi untuk berhasil di masa depan, justru gagal dalam UN. Sementara, yang serba minimalis, bisa saja lulus.

Singkat kata, begitu kasus UN masuk wilayah pengadilan, akankah nurani seperti yang tercermin dari literatur-literatur keluaran Depdiknas sendiri akan mengusik kesadaran dari pihak pemerintah. Kita tunggu apakah nurani para pembesar bangsa ini juga terketuk? Kita tunggu saja kebijakan dan komentar-komentar mereka. Akankah kualitas pendidikan yang belum membaik ini justru makin diperparah dengan prinsip mediokritas gaya UN seperti sekarang ini?

Rm. Mangunwijaya: Pembaharuan Pendidikan dan Keberlanjutannya

Rm. Mangunwijaya (1929 – 1999) bagi sebagian besar orang adalah sesosok splendor veritatis – sosok yang penuh dengan warna-warni pelangi sebagai cermin keutamaan kemanusiaan. Pergulatan hidupnya tercermin dalam beragam karya monumental. Novel Burung-burung Manyar (1979) menyabet penghargaan “The South-East Asian Award” (1986). Sentuhan arsitektur yang berbasis masyarakat terpinggirkan di tebing Kali Code telah membuatnya dianugerahi Aga Khan (1990-1992). Kepeduliannya terhadap karya pendidikan telah terwujud dalam Sekolah Dasar Eksperimental Kanisius Mangunan (SDKEM) dan Lembaga Dinamika Edukasi Dasar (DED).

Karya terobosan

Karya dan sumbangan Rm. Mangun dalam bidang pendidikan inilah yang menjadi objek penelitian dari Y. Dedi Pradipto dalam buku Belajar sejati vs. kurikulum nasional: Kontestasi kekuasaan dalam pendidikan dasar (2007). Memakai pisau analisis antropologi sosial, Dedi Pradipto mencoba untuk menghadirkan sosok Rm. Mangun lengkap dengan berbagai terobosan yang beliau coba ajukan untuk membantu persoalan kronis dalam dunia pendidikan.

Kajian penelitian dalam buku ini didasarkan pada fakta bahwa pemerintah menciptakan sistem untuk menjaga “kelangsungan” hidupnya. Dinamika dalam penciptaan kondisi macam ini termanifestasi dalam berbagai aturan main. Kurikulum dan Ujian Akhir Nasional (UAN) adalah dua contoh manifestasi pengaruh pemerintah tersebut. Kurikulum secara luas dapat dimaknai sebagai apa yang boleh dan tidak boleh untuk dikuasai oleh anak didik.

Sementara, UAN lebih merupakan manifestasi dari target politik jangka pendek pemerintah, bukan untuk pemberdayaan anak didik. Yang menjadi korban tentu saja pertama-tama adalah siswa. Karena mereka tidak diberi ruang gerak untuk mengeksplorasi alam, memuaskan rasa ingin tahu mereka, dan mencari apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Pihak-pihak di sekitar anak, entah itu orang tua, guru, dan kepala sekolah, dan bahkan Dinas Pendidikan pun, ramai-ramai “mencekoki” anak dengan pengetahuan dan hafalan jangka pendek. Bagi Rm. Mangun, pembelajaran yang tidak mengedepankan pengalaman “belajar sejati” justru akan menjadikan anak sebagai korban, bukan sebagai pihak yang diberdayakan.

Rm. Mangun mencoba untuk keluar dari lingkaran setan dampak kekuasaan yang termanifestasi melalui kurikulum yang sarat dengan pengetahuan namun miskin dalam pemaknaan itu. Karena itu, dengan memanfaatkan sebuah SD Kanisius Mangunan, Sleman yang hampir mati, pada tahun 1994, Rm. Mangun mengadakan terobosan (groundbreaking) dengan tiga sasaran. Pertama, Rm. Mangun menciptakan kurikulum yang khas. Kepedulian dan kedekatannya dengan wong cilik telah mendorongnya untuk mengangkat kemiskinan kronis sebagai laboratorium eksperimental untuk mengentaskan anak miskin. Kedua, sebagai partner kerja dari SDKEM, Rm. Mangun juga mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang berperan sebagai think tank untuk mendukung dari program-program pembelajaran di SDKEM. Di DED inilah berbagai persoalan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar diangkat, didiskusikan, dibagikan, dipahami secara bersama, disikapi secara kritis, dan akhirnya dicarikan solusinya. Ketiga, Rm. Mangun juga tidak enggan untuk menggandeng berbagai rekanan, mengembangkan jaringan, dan menyebarkan temuan-temuan dalam berbagai eksperimen tersebut ke berbagai forum. Hasil-hasil dari praktik baik pembelajaran yang memfasilitasi belajar sejati dibagikan dan diterapkan di berbagai konteks sekolah lain.

Dengan tiga hal yang dilakukan secara konsisten tersebut, usaha-usaha Rm. Mangun akhirnya mulai menuai perhatian. Setidaknya ada tiga kontribusi besar yang dihadirkan dari perjuangan Rm. Mangun selama ini. Pertama, pihak Departemen Pendidikan tergugah untuk mengadopsi kurikulum pendidikan dasar yang telah diujicobakan oleh Rm. Mangun. Kurikulum berorientasi pada tema yang dipakai di SD sekarang ini adalah hasil eksplorasi dan eksperimentasi dari Rm. Mangun dan teman-teman.

Kedua, sejauh ini, baik SDKEM maupun DED menjadi acuan bagi berbagai sekolah di berbagai penjuru di negeri ini dalam hal pengembangan model-model materi pembelajaran dan pendekatannya. Banyak yang sudah datang, belajar, dan mengadopsi model-model pendekatan pembelajaran yang memungkinkan “belajar sejati” dapat terwujud.

Ketiga, SDKEM dan DED berhasil mengubah wajah persekolahan yang serba pesimistis, kekurangan, dan tidak berdaya. Dengan pola interaksi yang sehat antara guru dan siswanya, kebebasan untuk berekspresi dan bereksplorasi, anak didorong untuk menumbuhkembangkan sikap ingin tahu dan saling harga-menghargai. Berbagai pengalaman hidup yang dijumpai dalam hidup keseharian diangkat dan dimaknai dengan penuh empati. Kemiskinan kronis sebagai realitas objektif bagi anak-anak menjadi bagian dari proses pembelajaran. Barang-barang bekas bisa dibawa ke kelas untuk menumbuhkan kesadaran tentang makna kreativitas, perlunya konservasi alam, dan kepedulian terhadap sesama. Bagi Rm. Mangun, kemiskinan bukan alasan untuk merasa pesimistis, gagal, dan tidak berprestasi.

Catatan kritis

Sulit untuk dipungkiri bahwa sosok Rm. Mangun identik dengan pemikiran yang begitu kompleks, sehingga banyak hal tidak tertangkap bahkan oleh para sahabatnya yang meneruskan karya dan kepeduliannya dalam dunia pendidikan. Hanya 30% yang tertangkap, sementara yang 70% hilang seiring dengan berpulangnya sosok ini ke pangkuan pertiwi. Nasib SDKEM dan DED pun juga kembang-kempis sepeninggal beliau. Mengapa demikian? Sosok Rm. Mangun, sebagai makhluk fana, juga hidup dalam konteks ruang dan waktu, yang menurut logika Niels Mulder (2000) masih mengacu pada masyarakat madani setengah hati. Dengan kata lain, Rm. Mangun muncul sebagai sosok kharismatis di tengah-tengah konteks masyarakat yang belum mampu berpikir secara merdeka dan bertindak secara bebas-bertanggung jawab. Dengan kata lain, Rm. Mangun yang memiliki karisma tunggal, terlalu berat menanggung idealisme, karena masyarakat yang ada di sekitarnya tidak berdiri setara dengan sosok ini. Akibatnya jelas, banyak ide dari sosok Rm. Mangun yang tidak tertangkap.

Gambaran tentang perjuangan dan kepedulian Rm. Mangun dalam mengentaskan masyarakat miskin melalui pendidikan sebenarnya tidaklah terlalu unik. Bahkan untuk negara semaju Amerika Serikat pun, persoalan kesenjangan sosial menjadi masalah yang sulit untuk dipecahkan. Berbagai kelompok masyarakat dalam lingkup inner cities, yang ditandai dengan penyalahgunaan obat terlarang, drop-out rate yang sangat tinggi, dan kriminalitas yang marak, telah membuat lingkaran setan yang tidak mudah untuk diretas.

Cukup menarik bahwa sekelompok Jesuit telah berhasil meretas persoalan macam ini. Dimulai tahun 1996, di salah satu sudut kota Chicago, mereka mendirikan sebuah SMA Cristo Rey untuk mengangkat anak-anak dari jurang kemiskinan kronis. Data-data selama satu dekade memang menakjubkan. Drop-out rate di sekolah ini hanya 6%, yang melanjutkan kuliah 82%, 11 sekolah lain yang mengadopsi model yang sama telah didirikan, di musim gugur 2007 ini, akan dibuka 7 sekolah lagi. Tahun 2008, akan dibuka lebih banyak lagi. Akhir tahun 2006, Rev. John Foley sebagai ketua Cristo Rey Network tercatat sebagai Man of the Year versy Newsweek untuk bidang pendidikan. Di sini, kita melihat kontrasnya, bagaimana gerakan pembaharuan pendidikan menjadi buntu di negeri kita. Sementara di negara lain, justru berkembang pesat.

Ada dua alasan mendasar. Pertama, bagaimanapun juga, kita belum memiliki karisma bersama (shared charisma) atau yang sering disebut sebagai budaya korporasi (corporate culture). Dalam konteks ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu program rata-rata memiliki kemampuan dan ketrampilan yang sama; kesediaan untuk bekerja sama, saling membantu, dan saling menolong. Sikap budaya yang seperti inilah yang mendesak untuk dibangun jika yang mau dicapai adalah keberhasilan.

Kedua, keberhasilan suatu program pembaharuan juga mencerminkan konteks perekonomian yang lebih luas. Anak-anak yang masuk SMA Cristo Rey memang tidak mampu membayar uang sekolah. Namun, mereka akan dilibatkan dalam Corporate Internship Program, di mana mereka akan bekerja satu minggu sekali di sebuah perusahaan. Sebagian besar dari upah yang mereka peroleh akan dipakai untuk bayar uang sekolah. Sekalipun tidak cukup, toh ini sangat membantu untuk kelanjutan dan kelangsungan hidup sekolah tersebut.

Still on National Exams: Do we win the battle, but lose the war?

The life-cycle of the National Final Examination (NFE) is crystal-clear: when it is done, it always ends up with controversy. Many disagree with its use to determine those who pass and don’t. However, no matter how harmful the effects of the exam are and no matter how hard the criticisms are, the government remains unmoved. The national exam ritual annually repeats itself. Ideally, the exam should serve two purposes. Firstly, it provides a comprehensive and accurate portrayal of the quality of education nationwide. Secondly, based on these psychometric test results, appropriate measures are to take. The Education Department certainly could spot the poorest areas to help, and decide what appropriate policies are to take.

Unfortunately, that is not the case. So far, the NFE results are unlikely to be used to help identify the problems in different regions and to determine what help is necessary for each region. They are also not used to determine the rewards awarded to successful schools to allow sustainable development. Instead, they are merely used for a limited purpose, i.e. determining who pass and don’t. This limited use of the National Exams, or generally called as high-stakes, as shown in many incidents all over the country, has at least led to two serious negative impacts on learning process.

In the first place, meaningful learning experiences are more likely to be neglected. With the purpose of merely attaining the passing scores, many schools are forced to teach to the tests rather than make use of the effective learning period to allow students to investigate the subject matters in-depth. Merely engaging in test-taking strategy training apparently does not stimulate critical thinking and creative problem-solving skills among students. Memorizing selected materials that generally appear in the old tests does not equip students with transferrable skills in real life. This is certainly a superficial target. In the short run, it is very possible that we raise the learning “outcome” in numerical terms, but in the long run, it may be a misleading target. In other words, such a condition is best described as winning the battle, but in the same time, losing the war.

In the second place, such a product-oriented learning may develop poor attitudes toward genuine learning among students. When the emphasis in on the product, i.e. scores, many tend to neglect the process since the overemphasis on the results tends to justify the means. No matter how bad or unfair a result is obtained, as far as it is there, it is enough. The focus is merely on the form, not the essence. Furthermore, the issues on honesty, integrity, and life values do not become an integral part of the learning process. Rampant violations in the National Examination, such as a school principal stealing the test material and students collaborating during the exam or even given the answer keys, are an obvious indicator that honesty, hard work, perseverance and commitment to achieving better quality of education are easily neglected.

In brief, when the public policy is determined solely to serve short-term political targets, the outcomes will certainly be more harmful, rather than helpful. It is the students who suffer most, because they are not equipped with genuine learning experiences that lead them to be autonomous individuals. This unintended impact clearly provides a stark contrast with the real objectives of education. In this highly unpredictable world, critical thinking skills, coupled with high commitment, perseverance, and social skills (i.e. skillful team work), and supported by the spirit of honesty and integrity are the major ingredients of success. It is clear that the NFE makes the ideal qualities are getting harder to achieve for each individual.

A growing body of research show that the success of a country is not merely determined by its long standing history or its abundant natural resources. Egypt, for example, is known for its glorious records in the past. But, now, this country does not play a significant role in contemporary civilization. This is true to Indonesia as well. Without highly qualified human resources, Indonesia’s abundant natural resources will not be useful. Again, education for the whole population is one of the urgent needs to address.

Unfortunately, education is one of the most complex fields to measure. Obtaining a comprehensive and representative measurement of the educational achievement is thus always a challenge. However, many rely on product-based parameters, as shown in psychometric testing. This test method, usually employing some sorts of multiple choice types, is preferred thanks to its practicality in terms of its administration and its vast coverage. Despite its practicality, this test type is by no means flawless, since it specifically addresses limited coverage, i.e. merely gauging some amount of knowledge at the lower-order thinking skills. It does not necessarily require high-order thinking skills, such as problem-solving activities that involve inquiry-based processes, analysis, synthesis, and evaluation.

A closer look on what happens within the National Education Department itself turns to reveal a controversy. On the one hand, it supports a groundbreaking change in learning and teaching processes. As shown in the major literature released for the purpose of establishing a theoretical framework for 2004 Competency-based Curriculum, in order to boost learning process, as it claims, a number of changes were introduced. The literature is full with contemporary buzzwords such as contextualized teaching and learning, student-centered learning, broad-based education oriented to life-skills, and performance-based and portfolio-based assessments. At this point, the department seems to successfully grasp the objective reality of educational reform at classroom level that is expected to target the change in materials, methods, and conceptual beliefs (Fullan 2001). Even, in Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, which is broadly translated into school-based curriculum, it is the schools and teachers that are held accountable to determine the learning targets, what learning experiences are, and what learning assessments are. In brief, the department strongly recommends authentic learning experiences to boost the learning process.

On the other hand, it is the Department that eventually violates its own “golden rules.” No matter how meaningful the learning experiences developed by the school, the success of schooling is only determined by a single-shot national exam. This clearly indicates that the government is not really willing to provide ample room for teachers to explore, experiment, and conduct genuine learning with their students. Highly creative teachers who happen to bring groundbreaking learning experiences among students can be considered failing, when his/her students do not pass the single-shot national exam. It is a pity to see that teachers lose their prerogative rights to determine who pass and don’t, despite their being authoritative to do so. When it happens, the best that we can expect is a mediocrity syndrome in our education system, i.e. doing the most effective things to pass the exams through teaching to the tests. Teachers and schools are not wrong, since the government only targets such a short-term, short-sighted, myopic goal.

PENDIDIKAN ALTERNATIF HOMESCHOOLING: ANCAMAN ATAU POTENSI?

Seorang ibu protes karena jawaban kreatif anaknya yang masih duduk di kelas tiga SD dinilai salah oleh gurunya. Menurut sang ibu yang lulus doktoral di luar negeri itu, anaknya menjadi takut berpendapat, enggan berpartisipasi di kelas, dan tidak bersemangat dalam belajar. Di samping itu, ibu tersebut juga mencatat bahwa ada sejumlah anak yang berperilaku menyimpang. Karena secara fisik lebih kuat dari anak-anak lainnya, mereka suka mengancam dan mengutip “pajak” dari teman-temannya yang lebih lemah, entah itu dalam bentuk uang atau makanan kecil.

Gerakan pendidikan alternatif sekolahrumah (homeschooling) muncul dari berbagai persoalan seperti yang digambarkan dalam ilustrasi di atas. Banyak orang tua – terutama mereka yang berpendidikan, mengeluhkan lemahnya profesionalitas guru. Guru-guru yang lemah dalam keterampilan pedagogis dan penguasaan materi justru sering menumpulkan potensi siswa. Di samping itu, pola relasi di sekolah, yang sering tidak bisa dikontrol dan dimonitor oleh guru maupun sekolah, sering menumbulkan rasa kekhawatiran yang berlebihan.

Dewasa ini, sekolahrumah memang menjadi salah satu pilihan untuk pendidikan alternatif, terutama bagi keluarga yang memiliki modal, waktu, dan energi yang cukup untuk itu. Ada beragam model sekolahrumah, namun secara sederhana, sekolahrumah bisa digambarkan sebagai berikut. Anak dididik langsung oleh orang tuanya di rumah, dan anak tidak terafiliasi di sekolah formal. Peran orang tua sangat sentral, karena mereka bisa memodifikasi kurikulum, mengembangkan materi pembelajaran, memakai berbagai metode penyampaian, dan memanfaatkan berbagai macam penilaian belajar. Seperti di berbagai negara lain, di Indonesia pun ada sejumlah komunitas yang mewadahi kegiatan ini. Dengan berkembangnya teknologi informasi, orang tua dan anak tidak kehabisan materi pembelajaran. Namun demikian, narasumber biasanya didatangkan ke rumah bila memang anak memerlukan informasi lebih.

Namun, seberapa besar kemungkinan pengembangan pendidikan alternatif macam ini? Dampak macam apa yang akan diterima oleh siswa dan orang tua yang bersangkutan, serta sekolah pada umumnya? Seberapa jauh trend sekolahrumah ini bertahan?

Gerakan anti pendidikan massal

Pendidikan massal (mass education) muncul ketika industri manufaktur tumbuh subur. Pada era industrialisasi macam itu, orang-orang dituntut sekedar memiliki ketrampilan baca-tulis yang minim, seperti untuk memahami instruksi dalam menjalankan mesin dan mengisi pembukuan atas transaksi bisnis. Mengingat minimnya pendidikan formal, banyak anak-anak tumbuh dengan ketrampilan melek huruf yang kurang memadai. Hanya kelompok masyarakat elit yang mampu mendatangkan tutor ke rumah mereka. Dalam perkembangannya, pendidikan massal berkembang menjadi tradisi yang kuat. Karena sumber informasi terbatas, ilmu-ilmu masih diajarkan melalui hafalan. Akibatnya pengalaman belajar yang mendorong daya pikir serta pengembangan nalar kritis belum berkembang dalam pendidikan massal ini.

Tantangan dalam era informasi dewasa ini sangat berbeda dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Keberhasilan ditentukan oleh penguasaan, pengolahan, dan pemanfaatan informasi. Globalisasi telah mengubah wajah dunia yang semula terkotak-kotak oleh ruang dan waktu, kini menjadi sebuah desa raksasa. Berbagai kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun, dapat diketahui dengan cepat. Teknologi informasi yang tercermin dari telepon seluler, koneksi internet, dan komputer pribadi telah membuat pembelajaran yang mengedepankan hafalan dan ingatan semata-mata tidak cukup membekali siswa untuk memasuki dunia dengan wajah baru ini.

Tidak bisa dipungkiri bahwa semakin banyak orang tua murid yang menyadari realitas objektif dari dunia baru ini. Pendidikan formal yang cenderung lamban menanggapi cepatnya perubahan informasi dirasakan tidak cukup. Gerakan sekolahrumah berperan sebagai pendidikan alternatif untuk memfasilitasi pembelajaran yang lebih menarik, mendalam, dan juga bertanggung jawab bagi anak-anak.

Di satu sisi, perkembangan macam ini merupakan hal yang baik. Artinya, orang tua lebih berperan dalam pendidikan anak. Hubungan orang tua dengan anak pun juga menjadi lebih intensif. Anak juga memiliki peluang untuk memuaskan rasa ingin tahu tanpa harus terbatasi oleh aturan-aturan di kelas. Seperti yang diklaim oleh para orang tua yang menjalankan sekolahrumah, anak-anak terhindar dari konflik dengan anak-anak lain yang bisa jadi membahayakan.

Di lain pihak, sekolahrumah ini membawa dampak ikutan yang tidak kalah serius. Sulit dipungkiri bahwa anak bisa jadi tumbuh sebagai sosok yang sulit bersosialisasi. Terbatasnya ruang gerak yang mereka alami juga bisa membuat kepekaan sosial anak tidak terasah. Mereka menjadi “imun” atas isu-isu kemiskinan, sakit, kepedihan, kekurangan, dan realitas negatif lain dalam masyarakat.

Beberapa prasyarat

Melihat plus dan minusnya dari sekolahrumah, model pendidikan alternatif ini rupanya hanya cocok bila beberapa prasyarat berikut ini terpenuhi. Pertama, orang tua harus memiliki modal finansial dan latar belakang pendidikan yang memadai. Model pendidikan alternatif ini tidak murah. Akses internet, penyediaan sumber-sumber belajar, biaya tutorial dari narasumber yang terpilih adalah sejumlah dana yang harus disiapkan. Kedua, orang tua juga harus membangun jaringan dengan berbagai pihak, seperti pelaku sekolahrumah yang lain, untuk berbagi materi dan berinteraksi antara sesama anak sekolahrumah. Interaksi nyata dengan anak-anak seusia yang lain di luar rumah merupakan kebutuhan dasar demi perkembangan sosial anak. Ketiga, Dinas Pendidikan sudah semestinya mewadahi dan memberikan rambu-rambu untuk pelaksanaan rumahsekolah macam ini. Bagaimana nasib peserta sekolahrumah bila mereka akhirnya tidak berhak mendapatkan ijazah?

Berbagai pendidikan alternatif, seperti rumahsekolah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan yang lainnya, tidak akan pernah mampu menggeser keberadaan sekolah formal (mainstream). Namun, model-model tersebut juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Orang tua, guru, sekolah, dan Dinas Pendidikan pun sudah selayaknya belajar dari gerakan-gerakan seperti itu. Kelompok-kelompok seperti itu biasanya dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki idealisme dan kepercayaan diri yang tinggi. Mereka berani membuat berbagai terobosan dalam pembelajaran tanpa harus merasa dibatasi oleh beragam aturan main. Mereka berani menentukan kurikulum sendiri, mengembangkan metode pembelajaran yang kontekstual, dan membuat alat ukur pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan. Layak dicatat juga, mereka juga tidak segan-segan berbagi pengalaman kepada khalayak umum. Sebagai ilustrasi, dengan mesin pencari google.com, silahkan ketik kata kunci “homeschooling Indonesia” anda akan mendapatkan lebih dari 210.000 links yang menyediakan informasi tentang sekolahrumah ini.

Wednesday, May 2, 2007

Parrots in the classroom

This article was published in the Jakarta Post, Wednesday, May 2nd, 2007

Markus Budiraharjo, Yogyakarta

Rachel Davies, in her article 'Traditional' education not that bad (The Jakarta Post, April 14, 2007), argues that traditional education in Indonesia is not "that bad". In her observation, Asian students, including those from Indonesia, perform very well in Australia. They can compete well in the Australian education system, and even outperform their Australian counterparts.

Rachel's conclusion about the success stories of Indonesian students in their overseas education reminds me of my similar experience when I attended a U.S. university. However, Rachel's conclusion that Indonesian students' success in their education is determined by the "traditional" education they received in Indonesia is difficult to agree with.

Rachel's conclusion oversimplifies the complex nature of education. The students attending overseas colleges and/or universities are only from two categories, i.e. upper-class families and/or scholarship recipients. And they are only a tiny part of the total number of Indonesian students.

Thus, seeing them as representatives of the quality of the Indonesian education system is clearly misleading. They are an exception, not the norm. The wealthy families certainly send their children to attend favorite schools, equip their children with facilities, and very often invite private teachers to tutor them at home. Meanwhile, scholarship recipients are mostly the best graduates who happen to have a greater motivation to learn and better learning skills.

Claiming that their success in their overseas education is determined solely by the existing "traditional" education that they have received is thus hardly acceptable. Such a claim is only based on a series of snapshots taken randomly, and without further reflection on what the multiple realities of education in Indonesia look like.

Adequately comprehending the complex nature of education is essential, since it determines how we see the world of education itself, whether innovations are to be taken, and into what extent the change should take place. It is hard to deny as well that problems in education are very complex.

Like in many Asian countries, rote memorization is a common practice done by teachers. In such a teacher-centered class, students are merely considered a blank piece of paper ready for the teacher to write on. It is hardly deniable that they are taught discipline and a solid knowledge of the basics.

However, at the same time, they are not encouraged to explore their environment, observe the things around them and make connections. What they need to do is learn by heart the prescribed knowledge as described in poorly designed textbooks, with the expectation that this is enough to anticipate the messy world.

Is this "traditional" class really better than those liberal arts classes that allow students to explore and autonomously search for information to satisfy their inherent thirst for knowledge? Is merely parroting necessarily enough to prepare them for this fast growing world? Is teaching creatively, with the purpose of cultivating critical and inquisitive mind, less appropriate in this challenging world?

Based on his vast experiences and knowledge dealing with various people all over the world, Kishore Mahbubani questioned the existing tradition in Asia, especially with regard to the "success" of Asian people in this global world.

In his book Can Asians Think?, Mahbubani claims that Asians cannot think. In his view, the problem does not lie in intellectual capacity, since many Asian students, as shown in various studies, outperform in the hard sciences many students coming from different continents.

It is the culture and tradition that lead to two major implications, namely the role relationship between parents and their children and the high expectation of formal schooling.

In the first place, role relationship between parents and their children strongly influences the role relationship between teachers and their students. This feudalistic role relationship clearly makes the senior figures (i.e. teachers) hold an unquestionable authority over their students. Students are not provided with room to express their voices.

The fact that students come to class with preconceptions about the world is thus denied. Creativity and inquisitiveness are not encouraged. Being creative means questioning who has the power in the class. Being inquisitive is hurtful, since teachers might lose face should the students turn to be much brighter than their teachers.

With this role relationship, it is hard to expect that students are then engaged in various activities that require them to exercise higher-order thinking skills, such as analyzing and synthesizing what they know and the facts and knowledge that they just obtained. They are unlikely to investigate the interdependence of the various phenomena that they encounter in their lives.

Parents also expect too much from schooling and consequently they require too much from their children. It often happens that children are not allowed to enjoy their youth by playing and exploring their environment. Sending young children and exposing them to tough academic requirements can be counterproductive in the long run.

Many college graduates do not find learning exciting. Once they are done with their studies, they are eager to "stop" thinking and find the joy and freedom they have missed in their childhood.

This is clearly shown by the fact that most Nobel Prize winners are not from Asian countries. Why? Asian people cannot think! In the eyes of Mahbubani, even Japan and South Korea, the two Asian countries that are comparable to the U.S. and European countries in terms of technology development and economic progress, also suffer from the similar phenomenon. Despite their success in technology development, both Japan and South Korea fail to nurture basic and groundbreaking research.

If that is the case, how good is "traditional" education in Indonesia?

Markus Budiraharjo is teacher of the English Education Study Program, Sanata Dharma University, Yogyakarta. He earned his masters degree from the School of Education at Boston University, Massachusetts, in 2003. He can be reached at markbudi@staff.usd.ac.id.