Monday, April 2, 2007

Keluar dari sarang

Malam baru mulai beranjak menua ketika motorku mencapai tempat parkir. Jarum jam masih menunjukkan angka tujuh lebih tiga puluhan menit. Mataku nyalang menjumpai sosok Pak Prast yang sedang siap-siap menyetarter motor. Kenapa harus naik motor? Kenapa tidak jalan kaki? Pertanyaanku berbuah kesepakatan. Kami akan jalan kaki ke Jogja Plaza Hotel. Di tempat itu kami akan makan malam. Kami berdua diundang Pak Marcel, seorang alumnus PBI yang sekarang menjadi Pembantu Rektor IV di Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta. Sosok dari pribadi pak Marcel, dengan tubuh ceking, dengan tinggi sekitar 161 cm, membuat kita tergoda untuk memunculkan satu penilaian tertentu, yang harus diakui memang gampang-gampang sulit. Di lihat dari segi fisiknya, barangkali memang tidak ada yang terlalu istimewa. Namun, segudang pengalaman administratif sebagai pejabat teras di lingkup perguruan tinggi, dan juga pengalaman akademis dari sosok yang hampir jadi professor ini, tentu akan memberi nuansa lain. Mendengar beragam cerita darinya sepertinya mendengarkan seorang sosok yang terbang tinggi di langit ketujuh. Begitu meyakinkan. Begitu penuh perhitungan. Begitu banyak ide. … dan kami … dua sosok kroco dari PBI … tidak ada apa-apanya …

Pertemuan makan malam tersebut dihadiri oleh delapan orang. Dua tamu lain dari UAJ Yogyakarta. Sementara team dari Pak Marcel sendiri terdiri dari empat orang. Sekalipun berdelapan, aktor utama hanya dua. Pak Marcel dan Pak Peter. Mereka berbicara dengan begitu ringan. Celotehan sana-sini yang mencerminkan keragaman pengalaman profesional. Mereka terbiasa dengan hubungan dengan berbagai kedutaan. Diskusi begitu padat dengan berbagai konsep tentang hubungan universitas dengan berbagai sumber-sumber dana. Tidak dipungkiri, 60% dari diskusi serius itu dibumbui dengan berbagai istilah dan isu-isu miring. Terkesan jorok. Seronok.Tapi itu lah manusiawi. Dan hal itu pulalah yang memang dinikmati. Tanya-jawab begitu cepat, dan kami berdua memang tidak punya pilihan lain. Kami hanya bisa ternganga oleh kerumitan dan juga strategi pemecahan masalah yang diambil. Mengapa tidak mencari bantuan tenaga pengajar dari Australia? Mengapa tidak minta bantuan tenaga profesor dari Amerika? Kenapa justru pilihannya ke India, Filipina, Rusia, dan China? Kenapa kok justru mau buka stand Rusia di Atmajaya? Mengapa tidak Chekoslovakia? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Malam betul-betul sudah renta ketika kami keluar Hotel. Namun, dalam temaramnya lampu malam, kami masih cukup waspada untuk menghindari genangan air. Toh, sekalipun fisik merasakan kecapekan luar biasa, pikiran ini terus diganggu oleh berbagai pengalaman yang unik. Makan di restoran hotel, dengan situasi yang sangat berbeda dengan kebiasaan kami makan, memberi kesan tersendiri. Sekalipun aku sendiri mulai merasa tidak terlalu asing dalam situasi seperti ini. Bertemu dengan berbagai macam orang, terutama ketika ikut kunjungan ke San Francisco dan Chicago Desember 2006 lalu, dan menikmati makan di restoran dengan biaya yang tidak terbayangkan untuk kocek seorang dosen USD, memang telah memberi bekas yang sangat nyata bagiku. Di antara langkah-langkah kami menuju parkir motor di dalam area USD, terbersit kesadaran yang mendalam. Kami-kami yang ada di USD adalah sosok-sosok yang kuper … kurang pergaulan. Masih terasa betul kesenjangan antara hakekat di dunia luar dengan kemampuan dan ketrampilan yang kami punyai. Kami adalah bayi-bayi yang masih belum memiliki pengalaman berhubungan dengan berbagai realitas. Kami sadar, bekerja dengan loyalitas yang tinggi dan mengabdikan diri seutuhnya di USD dengan mengikuti dan melestarikan tradisi-tradisi yang sudah mapan tidak lah cukup untuk memastikan bahwa USD akan tetap diperhitungkan di kalayak profesional. USD butuh orang-orang yang mempunyai hati untuk menertawakan kebodohan diri sendiri. Dengan demikian orang ini memiliki kehendak untuk merombak tatanan-tatanan yang justru mengungkung perkembangan.

2 comments:

Indri said...

Yep... I agree with you ^_^

Unknown said...

Oyeah ... idem dengan Indri pak, hehe ...