Tuesday, April 3, 2007

Berharap saja tidak cukup

Memasuki pergantian hari Kamis ke Jumat bukanlah pengalaman yang menyenangkan bagiku. Itulah pengalaman pergantian hari yang sangat tidak mengenakkan. Beban dalam hidup begitu terasa berat. Terlalu berat untuk disangga. Sore itu, sepotong SMS masuk. Informasinya jelas. Dibutuhkan konfirmasi mengenai jumlah pendaftar yang hendak mengikuti wawancara untuk hari Sabtu, 3 Maret 2007.

Sepercik rasa bersalah menyusupi relung hati. Adakah aku kurang bekerja keras untuk mengundang para alumni PBI? Satu bulan yang lalu, aku ditelpon oleh Pak Marcel. Lulusan PBI era 1980-an ini membutuhkan 40-an lulusan Pendidikan Bahasa Inggris. Permintaan itu langsung aku komunikasikan kepada Pak Prast dan Bu Frida, sebagai otoritas di PBI. Tidak hanya itu, aku pun dengan cepat mengambil inisiatif untuk membuatkan rancangan kerja. Kapan pengumuman harus dikeluarkan. Kapan acara akan dilaksanakan. Dan rancangan pengumuman macam apa yang harus dipampang. Semuanya aku jalankan dengan cepat. Tidak ada alasan menunda pekerjaan. Draft pengumuman langsung aku print. Aku serahkan ke Pak Prast. Bola sudah aku umpankan ke Kaprodi.

Semuanya seakan berjalan normal. Sekalipun terjadi keterlambatan di sana-sini dalam penempelan pengumuman, tetap saja rancangan awal sudah berhasil dilaksanakan. Pengumuman dipasang. Ukurannya cukup besar. Fotokopi ukuran A3. Ditempatkan di posisi-posisi strategis. Waktu bergulir tanpa terasa. Kesibukan demi kesibukan selalu mengisi hari demi hari. Tanpa terasa, akhir bulan Februari sudah mendekat. Dan terbukti hanya tiga orang yang mendaftarkan diri.

Shock. Kaget. Kecewa. Bingung. Kenapa pengumuman tidak dibaca? Apakah anak-akan PBI memang sudah tidak perlu pekerjaan? Sehingga mereka tidak tertarik merespons pekerjaan yang dipampang dengan meyakinkan di papan pengumuman? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk hebat di kepala ini. Sulit untuk dipungkiri bahwa hal itu lah yang terjadi. Sulit sekali mencari orang yang bisa mengisi pekerjaan.

Akhirnya, Pak Marcel langsung menelpon sore itu. Terbata-bata jawabanku untuk menjelaskan hal yang sangat mengejutkan ini. Ya kalau hanya tiga orang, tidak masuk akal jadinya. Padahal tiket sudah dipesan. Berbagai persiapan sudah dibuat. Skenario sudah dirancang. Kami berempat ke Jogja hanya untuk menemui tiga orang? Kami hanya minta tolong apa jalan yang terbaik. Itu saja.

Sore yang memang sudah muram oleh mendung menggelap di langit terasa makin gelap. Aku adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap keadaan seperti ini. Aku sendiri memang belum pernah berhadapan dengan urusan undang-mengundang macam ini. Di satu sisi, aku merasa memiliki hak untuk tidak merasa perlu bersalah. Tapi, hati kecilku langsung berteriak protes. Enggak bisa dong menyalahkan ketidakpengalaman sebagai sumber masalah. Ya … aku memang tidak punya pilihan lain kecuali mengaku belum berjuang cukup untuk bergerilya mencari para alumni.

Akhirnya, dengan berbagai macam cara, aku coba hubungi satu persatu nomor bekas mahasiswa. Suasana ketermendesakan memaksaku untuk lebih asertif. Telpon fleksiku terasa memanas. Waktu air-time tidak aku pedulikan. Penjelasan panjang lebar. Permohonan dengan sangat, lagi hormat untuk menghadiri acara pada hari Sabtu 3 Maret 2007. Intinya, aku memohon kesediaan mereka untuk masih peduli dengan nama PBI sebagai almamater mereka. Jumat siang yang diwarnai dengan hujan lebat membuatku memiliki waktu lebih banyak untuk menelpon. Ada yang sudah di Bali. Ada yang di Jakarta. Ada yang kembali ke kampung halaman di Pekalongan. Ada yang sudah bekerja. Jawaban yang aku dapatkan sangat beragam. Tapi aku sendiri merasa mengalami pembelajaran yang banyak. Mencoba untuk bernegosiasi via telpon. Berusaha untuk authoratitative dengan menembak sisi afektif-emosional yang telah mereka bangun selama mereka ngangsu kawruh di PBI.

Tibalah hari H. Sabtu 3 Maret 2007 ternyata menjadi waktu yang paling membahagiakan. Ada perasaan accomplished yang begitu membanggakan. Dengan berbagai upaya dari Pak Prast, Bu Frida, dan aku, dan tentu saja dengan berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya tercatat ada 33 alumnus yang datang. Rasa syukur terasa merayapi hati ini. Bahwa perjuangan selama dua hari ternyata membawa buah manis. Di sana ada harapan. Optimisme. Saling memahami. Saling menguatkan. Aku merasa telah berbuat sesuatu untuk orang lain. Seberapapun kecil ukurannya. Rasa capek karena beban dan juga tanggung jawab untuk mengikuti rapat JETA menjadi terusir dengan sendirinya.

Satu pelajaran berharga yang aku dapatkan dari pengalaman ini adalah: tidak ada tempatnya bagi kita bila hanya berhenti pada berharap-harap saja. Sebuah pencapaian merepresentasikan serangkaian usaha, komitmen, dan juga konsistensi. Sebuah pencapaian memang tidak bisa dilepaskan dari sisi-sisi seperti itu. Pencapaian pada titik tertentu akan menjadi landasan untuk sebuah kredibilitas. Kredibilitas adalah pengakuan bahwa kita telah memiliki bermacam-ragam alasan yang mengesahkan bahwa kita sesungguhnya layak untuk dipercaya. Dan itu hanya bisa diraih oleh sepotong hati yang bermental rela belajar terus-menerus.

2 comments:

Indri said...

^_^

Unknown said...

Semua pasti akan berbuah ketika ada usaha dan tidak ada kata menyerah pak ... I know you! Anyway, sekedar masukan nanti kalo ada lagi tawar menawar kerja, hehe pak Markus bisa bikin account di Friendster. Dulunya gak begitu peduli tapi ternyata saya bisa ketemu banyak teman dan mahasiswa di sini. Tidak hanya bertemu, saya merasa Friendster lumayan banyak membantu komunikasi. So, why don't you just give it a try?